BAB I
PENDAHULUAN
Kepribadian selalu
menjadi topik bahasan yang penting. Psikologi lahir sebagai ilmu yang berusaha
memahami manusia seutuhnya, yang hanya
dapat dilakukan melalui pemahaman tentang kepribadian. Teori psikologi
kepribadian melahirkan konsep konsep seperti dinamika pengaturan tingkah laku,
pola tingkah laku, model tingkah laku dan perkembangan repertoir tingkah laku
dalam rangka mengurangi kompleksitas tingkah laku manusia.
Teori kepribadian
bersifat deskriptif dalam wujud penggambaran organisasi tingkah laku secara
sistematis dan mudah dipahami. Tidak ada tingkah laku yang terjadi begitu saja
tanpa alasan, pasti ada faktor faktor anteseden, sebab musabab, pendorong,
motivator, sasaran tujuan, ataupun latar belakangnya.
Kepribadian merupakan keseluruhan sikap,
perasaan, ekspresi, temparmen, ciri-ciri khas dan prilaku seseorang. Sikap
perasaan ekspresi dan tempramen itu akan terwujud dalam tindakan seseorang jika di hadapkan pada
situasi tertentu. Setiap orang mempunyai kecenderungan prilaku yang baku, atau
berlaku terus menerus secara konsisten dalam menghadapai situasi yang di
hadapi, sehingga menjadi ciri khas pribadinya. Ada beberapa unsur-unsur dari
kepribadian. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Dalam kepribadian
tersimpan unsure pengetahuan, perasaan dan dorongan naluri. Pengetahuan
merupakan suatu unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa orang yang sadar. Alam
sekitar manusia terdapat berbagai hal yang diterimanya melalui panca
inderanya yang masuk kedalam berbagi sel di bagian-bagian tertentu
dari otaknya. Dan didalam otak tersebutlah semuanya diproses menjadi susunan
yang dipancarkan oleh individu kealam sekitar, yang dikenal
sebagai “persepsi” yaitu; “seluruh proses akal manusia yang
sadar”. Ada kalanya suatu persepsi yang diproyeksikan kembali menjadi suatu
penggambaran berfokus tentang lingkungan yang mengandung bagian-bagian. Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran
manusia yang karena pengetahuannya dinilai sebagai keadan yang positif atau
negatif. Sedangkan dorongan naluri merupakan kesadaran manusia mengandung
berbagi perasaan berbagi perasaan lain yang tidak ditimbulkan karena
diperanguhi oleh pengetahuannya, tetapi karena memang sudah terkandung di dalam
organismenya, khususnya dalam gennya, sebagai naluri. Dan kemauan yang sudah
meruapakan naluri disebut “Dorongan”.
Dalam dunia
pendidikan teori-teori kepribadian mempunyai peranan yang sangat penting di
dalam upaya untuk memahami peserta didik. Karena tanpa melakukan pemahan yang
baik terhadap peserta didik maka sasaran pendidikan tidak dapat tercapai dengan
baik.
Berdasarkan hal
tersebut maka penulis berusaha untuk mengimplikasikan teori-teori kepribadian di dalam pelatihan
untuk mengatasi permasalahan peserta didik dari berbagai jenjang pendidikan
bagi para guru yang berkecimpung di dunia pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP DASAR TEORI-TEORI KEPRIBADIAN
1.
TEORI ERIKSON
a.
Prinsip-prinsip
Teori Erikson
Berikut adalah macam-macam prinsip teori Erikson:
a.
Manusia
mempunyai keperluan asas yang sama.
b.
Perkembangan
individu bergantung kepada tindak balas terhadap keperluan-keperluan asas.
c.
Perkembangan
manusia mengikut tahap-tahap yang tertentu.
d.
Setiap
tahap mempunyai konflik dan konflik ini mesti diatasi sebelum individu dapat
berfungsi dengan jayanya pada tahap yang berikutnya.
e.
Kegagalan
mengatasi konflik pada suatu tahap akan menjejaskan perkembangan tahap yang
berikutnya.
b.
Tahap-tahap Perkembangan Psikososial
Psikososial
dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan
seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh social yang
berinteraksi dengan individu yang menjadi matang secara fisik dan psikologis.
Untuk memahami ke delapan tahap perkembangan psikososial Erikson, kita
memerlukan sebuah pengertian tentang beberapa hal dasar.
Pertama, pertumbuhan berjalan menurut prinsip epigenetic.
Yaitu, satu bagian komponen muncul dari bagian komponen sebelumnya dan memiliki
waktunya sendiri untuk muncul namun, tidak pernah menghilangkan sepenuhnya
komponen-komponen sebelumnya.
Kedua, disetiap tahap kehidupan pendapat sebuah interaksi
hal-hal yang berlawanan-yaitu konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan
elemen distonik ( konflik).
Ketiga, disetiap tahapan, konflik antara elemn-elemen
distonik dan sintonik menghasilkan sebuah kualitas ego atau kekuatan ego, yang
disebut Erikson kekuatan dasar (basic strength).
Keempat, kekuatan dasar yang terlalu kecil disetiap tahapan
akan menghasilkan patologi inti (core phatology) ditahapan tersebut.
Kelima, meskipun erikson menyebutkan kedelapan tahapan ini
sebagai tahap-tahap psikososial, dia tidak pernah melepaskan keberadaan aspek
biologis perkembangan manusia.
Keenam, peristiwa-peristiwa ditahap-tahap sebelumnya bukan
satu-satunya penyebab perkembangan kepribadian berikutnya. Lebih tepatnya,
identitas ego dibentuk oleh multiplisitas konflik dan peristiwa-masa lalu, masa
kini dan antisipasi masa depan.
Ketujuh, selama tahap perkembangan namun, khusus dari masa
remaja kedepan, perkembangan kepribadian dicirikan oleh sebuah krisis
identitas, yang disebut Erikson “sebuah titik balik”, sebuah periode krusial
dari potensi yang semakin rapuh dan meninggi.” Karena itu, di setiap krisis,
setiap pribadi secara khusus terbuka bagi modifikas-modifikasi utama dalam
identitas, entah positif maupun negative. Berlawanan dari pengertian
populernya, krisis identitas bukan peristiwa yang membawa bencana melainkan
kesempatan untuk mengembangkan sikap penyesuaian diri yang entah bersifat
adaptif maupun kekeliruan-adaptif.
Menurut teori
psikososial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego
dalam 8 tahap perkembangan, yaitu :
1.
Masa Bayi
Masa bayi adalah masa pembentukan, dimana bayi “menerima”
bukan hanya melalui mulut, namun juga melalui organ indra yang lain.
Sebagaimana mereka menerima makanan dan
informasi sensori, bayi belajar untuk memercayai ataupu tidak memercayai
dunia luar, keadaan yang memberikan harapan tidak nyata.
a.
Gaya Sensori Oral
Tahapan ini ditandai oleh dua gaya pembentukan –
memperoleh dan menerima apa yang diberikan. Bayi dapat memperoleh walaupun
tanpa keberadaan orang lain. Mereka dapat memperoleh udara melalui paru-paru.
Akan tetapi, gaya pembentukan yang kedua menyiratkan konteks sosisal. Untuk
membuat orang lain memberi, mereka harus belajar untuk memercayai atau tidak
memercayai orang lain. Hal ini membangun krisis psikososial dasar yaitu Trust
vs Mistrust.
b.
Trust Versus Mistrust (Rasa Percaya Dasar Vs Tidak
Percaya Dasar)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira
terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Pada tahap ini bayi mengalami konflik
antara percaya dan tidak percaya. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini
adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan
untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. dan merasa terancam terus menerus. Rasa
percaya tersebut menuntut perasaan nyaman secara fisik. Pada saat itu, hubungan
bayi dengan ibu menjadi sangat penting. Ketika sadar bahwa ibu selalu
menyediakan makanan secara teratur, mereka pun mulai belajar rasa percaya
dasar.
Rasa percaya
dasar biasanya bersifat sitonik, sedangkan rasa tidak percaya mendasar bersifat
distonik. Meskipun begitu bayi harus mengembangkan kedua sikap ini. Terlalu
banyak rasa percaya membuat mereka naif dan rapuh terhadap tipu muslihat dunia,
sementara terlalu sedikit rasa percaya membawa kepada rasa frustasi, kemarahan,
kebencian, sinisme atau depresi.
c.
Harapan (Kekuatan Dasar
Bayi)
Harapan muncul dari
konflik antara rasa percaya dan rasa tidak percaya. Jika bayi mengalami
pengalaman yang tidak enak, bayi belajar untuk berharap bahwa gangguan mereka
di masa depan akan diakhiri oleh hasil yang memuaskan.
Apabila bayi tidak mengembangkan harapan yang cukup pada
masa ini, maka mereka akan menampilkan lawan dari harapan penarikan diri.
Dengan hanya sedikit harapan, mereka akan menarik diri dari dunia luar dan
memulai perjalanan menuju gangguan psikologis yang serius.
2.
Masa Kanak-Kanak Awal
Tahapan psikososial kedua adalah kanak-kanak awal, periode
yang pararel dengan tahap anal Freud berpendapat bahwa anus sebagai zona yang
paling memberikan kepuasan seksual bila tersentuh (erogeneous) selama periode
ini dan selama fase anak-sadsitis awal, anak-anak mendapat kesenangan dengan
menghancurkan atau menghilangkan obyek dan nantinya mereka mendapat kesenangan
dengan buang air besar.
Erickson berpandangan lebih luas. Baginya, anak-anak
mendapat kesenangan bukan hanya karena menguasai otot sirkular yang dapat berkotraksi, tetapi juga menguasai fungsi
tubuh lainnya, seperti buang air kecil, jalan, memegang, dan seterusnya.
a.
Gaya Otot Uretral Anal
Pada masa ini, anak belajar untuk mengendalikan tubuh
mereka, khusunya berkaitan dengan kebersihan dan pergerakan. Masa kanak-kanak
awal tidak hanya belajar toilet training tetapi juga belajar berjalan,
berpegangan dengan mainan, dan lain-lain.Mereka senang menahan feses mereka ,
mereka jugan senang mengumpulkan barang dan tiba-tiba menghancurkannya
b.
Otonomi
Versus
Perasaan Malu Dan Ragu-Ragu
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot
(anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung
mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan
pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan
malu dan ragu-ragu. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk
mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau
perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada
suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol
diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain.
c.
Keinginan (Kekuatan
Dasar Kanak-Kanak Awal)
Kekuatan dasar akan keinginan dan kemauan berkembang dari
resolusi krisis otonomi vs rasa malu dan ragu. Kekuatan keinginan yang matang
dan ukuran signifikan kehendak bebas tertahan hingga tahapan perkembangan
selanjutnya, namun mereka berasal dari keinginan awal yang timbul pada masa
kanak-kanak awal.
3.
Usia Bermain
Tahap perkembangan ketiga erikson adalah usia bermain, periode yang
meiliputi waktu yang sama dengan fase falik (phallic) sekitar usia 3-5 tahun.
Sekali lagi perbedaan timbul antara pandangan freud dan erikson. Sementara
menempatkan Oidipus Complex sebagai inti dari fase alat kelamin, erikson
percaya bahwa Oedipus Complex hanya salah satu perkembangan penting selama usia
bermain.
a.
Gaya Lokomotor Genital
Erikson melihat situasi Oedipal sebagai prototipe
“kekuatan seumur hidup akan keriangan manusia”. Dengan kata lain, Oedipus
conplex adalah drama yang dimainkan dalam imajinasi anak-anak mencakup
pengertian yang dimulai meningkat akan konsep dasar, seperti reprodusi,
pertumbuhan, masa depan, dan kematian.
b.
Inisiatif
Versus Rasa Bersalah
Tahap ketiga
adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa
disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak
menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun
(pra sekolah). Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar
punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan.
c.
Tujuan (Kekuatan Dasar
Usia Bermain)
Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan, bersaing dalam
permainan dengan tujuan menang atau mencapai puncak. Mereka menentukan sasaran
dan mengejar sasaran itu dengan tujuan. Usia bermain juga merupakan tahpan
dimana anak-anak mengembangkan hati nurani dan mulai meletakkan benar dan salah
pada tingkah laku mereka. Hati nurani di masa muda ini menjadi landasan akan
moralitas.
4.
Usia Sekolah
Konsep usia sekolah erikson meliputi perkembangan dari usia 6 tahun hingga
sekitar usia 12-13 tahun dan cocok dengan tahun-tahun masa laten dalam teori
freud. Pada usia ini, dunia sosial anak-anak meluas diluar keluarga, mencakup
kelompok teman, guru, dan panutan dewasa lainnya. Untuk anak usia sekolah,
keinginan mereka untuk mengetahui sesuatu menjadi lebih kuat dan terkait dengan
usaha dasar dan kompetensi. Pada perkembangan normal, anak-anak berusaha dengan
rajin untuk membaca dan menulis, berburu dan memancing, atau untuk mempelajari
keterampilan yang di butuhkan oleh kultur mereka.
a.
Latensi
Latensi seksual penting karena memungkinkan anak-anak
mengalihkan energi mereka untuk mempelajari teknologi kultur mereka dan
startegi akan interksi sosial mereka.
b.
Industri
versus Rasa Rendah Diri
Walaupun usia
sekolah adalah periode perkembangan seksual yang kecil, namun merupakan waktu
pertumbuhan sosial yang luar biasa. Krisis psikososial pada tahapan ini adalah
industri versus rasa rendah diri. Industri, kualitas sintonik yang berarti
kesungguhan, kemauan, untuk tetap sibuk akan sesuatu, dan untuk menyelesaikan
sebuah pekerjaan. Anak-anak usia sekolah belajar untuk bekerja dan bermain pada
sktifitas yang di arahkan agar memperoleh kemampuan bekerja dan mempelajari atuaran
dalam bekerja sama.
c.
Kompetensi (Kekuatan
Dasar Usia Sekolah)
Kekuatan dasar kompetensi adalah rasa percaya diri untuk
menggunakan kemampuan fisik dan kognitif dalam menyelesaikan masalah yang
mengiringi usia sekolah. Kompetensi diberikan landasan untuk partisipasi
kooperatif dalam kehidupan dewasa yang produktif.
5.
Remaja
Periode Remaja dari pubertas hingga masa dewasa muda, merupakan salah satu
tahapan perkembangan yang paling krusial karena akhir periode ini, seseorang
harus sudah mendapatkan rasa ego identitas yang tetap. Walaupun ego identitas
dimuali maupun di akhiri selama remaja, krisis antara identitas dan kebingungan
identitas mencapai puncaknya selama tahap ini. Dari krisis antara identitas
versus kebingungan identitas timbul kesetiaan, kekuatan dasar masa remaja.
a. Pubertas
Pubertas (puberty) adalah tahap kemasakan seksual.
Menurut Erikson penting karena pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa
yang akan datang.
b. Identitas Versus Kekacauan Identitas
Tahap
kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan
berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan
menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam
tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan
penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego,
dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan
bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini
semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan
masyarakat yang ada dalam lingkungannya.
Masa
pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat
menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak
diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku.Mereka sudah menemukan identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai
ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Ritualisasi yang nampak dalam tahap
adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
c. Kesetiaan (Kekuatan Dasar Remaja)
Kekuatan dasar
yang muncul dari krisis identitas pada tahap adolensen adalah kesetiaan (fidelity). Sisi patologis dari kesetiaan
adalah penolakan (repudiation),
menjadi bentuk yang malu-malu (diffedence)
atau penyimpangan (deviance). Difiden
adalah keadaan ekstrim tidak percaya diri, sementara devian adalah memberontak
kepada otoritas secara terbuka.
6.
Dewasa Muda
Tugas pada tahap dewasa awal hanya sesudah orang
mengembangkan perasaan yang mantap siapa dan apa yang diinginkannya maka mereka
dapat mengembangkan tingkat kebaikan cinta (love).
Tahap ini ditandai dengan perolehan keintiman (intimacy) pada awal periode dan perkembangan berketurunan (generativity) pada akhir periode.
a. Genitalitas
Banyak dari aktivitas seksual selama masa remaja adalah ungkapan pencariaan
akan identitas dan pada dasarnya harus disediakan oleh diri sendiri.
b. Keintiman Versus Keterasiangan
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui,
maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa
awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin
mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap
menyendiri. Tumbuh kerjasama dengan orang lain
namun jika tidak mempunyai kemampuan kerjasama dengan orang lain akan
tumbuh sifat terisolasi.
c. Cinta (Kekuatan Dasar Dewasa Muda)
Cinta adalah kesetiaan yang masak sebagai dampak dari
perbedaan dasar antara pria dan wanita. Kebalikan dari cinta adalah kesendirian
(exclusivity). Sedikit ekslusif
dibutuhkan dalam intumasi, yakni bahwa orang harus bisa menolak orang tertentu,
untuk mengembangkan perasaan identitas diri yang kuat. Kesendirian menjadi
patologis kalau kekuatannya sampai menghalangi kemampuan kerja sama.
Lawan dari cinta adalah ekskluasivitas, inti patalogi
padadewasa muda.
7.
Dewasa
Masa dewasa yaitu masa dimana manusia mulai mengambil bagian dalam
masyarakat dan menerima tanggung jawab dari apapun yang di berikan oleh
masyarakat. Untuk sebagaian besar orang, dewasa muda adalah tahapan
perkembangan yang paling lama, menghabiskan waktu dari usia 31-60 tahun. Masa
dewasa ditandai oleh gaya psikoseksual prokreativitas, krisis psikososial
generativitasversus stagnasi, dan kekuatan dasar rasa peduli.
a. Prokreativitas
Teori psikoseksual erikson beransumsi bahwa dorongan insting mempertahankan
spesies, dorongan ini adalah lawan dari insting binatang orang dewasa terhadap
prokreasi dan merupakan perpanjangan dari genitalitas yang menandai masa dewasa
muda. Akan tetapi prokreativitas tak sekedar mengacu pada kontak genital dengan
pasangan intim. Ia juga mencakup tanggung jawab untuk mengasuh keturunan yang
merupakan hasil kontak seksual.
b. Generativitas Versus Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke
tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun.
Salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan
antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa
(stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Maladaptif yang
kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu
untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan,
di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu
kehadirannya di tengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang
baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu
terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan
nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini
meliputi generasional dan otoritisme.
c. Rasa Peduli (Kekuatan Dasar Dewasa)
Keperdulian (care)
adalah perluasan suatu komitmen untuk merawat orang lain. Care bukan suatu tugas atau kewajiban, tetapi keinginan yang muncul
serta alami dari konflik antara generativita dengan stagnasi. Lawan dari
keperdulian adalah penolakan (rejectivity),
yang diwujudkan dalam bentuk mementingkan diri sendiri, atau pseudospeciation, yakni keyakinan bahwa
orang atau kelompok lain adalah jenis manusia yang lebih inferior dibanding
diri/kelompoknya.
8.
Usia Lanjut
Erikson berusia 40 tahun ketika ia pertama kali memikirkan konsep tahapan
ini dan semena-mena mendevisinikan usia lanjut sebagai periode usia 60 tahun
sampai akhir kehidupan. Usia lanjut bukan berarti seseorang sudah tak lagi
menghasilkan (generative). Prokreasi, dalam artian sempit menghasilkan anak,
mungkin sudah tak lagi, namun orang dalam usia lanjut tetap bisa produktif dan
kreatif dalam banyak cara lain. Usia lanjut dapat menjadi masa akan kesenangan,
keriangan dan bertanya-tanya, namun juga masa akan kepikunana,depresi, dan
keputus asaan. Gaya psikoseksual usia lanjut adalah sensualitas
tergenerilasikan, krisis psikososial integritas versus keputus asaan, dan
kekuatan dasar kebijaksanaan.
a. Sensualitas Tergeneraslisasi
Tahap terakhir dati psikoseksual adalah generalisasi
sensualitas (Generalized Sensuality): memperoleh kenikmatan dari berbagai
sensasi fisik,penglihatan, pendengaran, kecapan, bau, pelukan dan bisa juga
stimulasi genital.
b. Integritas Versus Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap
usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke
atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup
berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja
ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan..
c. Kebijaksanaan (Kkekuatan Usia Lanjut)
Orang dengan kebijaksanaan yang matang, tetap
mempertahankan integritasnya ketika kemampuan fisik dan mentalnya menurun.
Antitesis dari kebijaksanaan adalah penghinaan (disdain). Penghinaan merupakan
kelanjutan dari penolakan, sumber patologi dari fase dewasa
2.
PSIKOLOGI
BEHAVIORISME (BF. SKINNER)
1. Skinner dan Teori Kepribadian
Bagi Skinner fenomena yang kita sebut kepribadian
meliputi hanya perilaku yang terlihat, seperti bahasa yang dipancarkan seiring
hadirnya stimulus yang bisa dikuantifikasi, artinya kepribadian direduksi
kepada apa yang dilakukan manusia dalam kondisi spesifik. Skinner
mengidentifikasi dan mendeskripsikan proses-proses yang menggambarkan perilaku
tertentu diisyaratkan dan diekspresikan, dan perilaku lain dihilangkan (Olson
& Hergenhahn,2013:465). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
‘kepribadian’ tak lain adalah perilaku spesifik yang diisyaratkan dan
diekspresikan oleh manusia.
2. Behaviorisme Ilmiah
Menurut pandangan behavioristik, belajar merupakan proses perubahan
tingkah laku yang dapat diamati, yang terjadi melalui proses stimulus respon
yang disertai dengan penguatan menurut prinsip-prinsip mekanik. Dan behaviorism
adalah pandangan teoritis yang beranggapan pokok persoalan psikologi adalah
tingkah laku tanpa mengkaitkan dengan konsep-konsep tentang kesadaran dan
mentalitas. Kelahiran behaviorisme berawal dari karya-karya John B Waston pada
tahun 1913 dalam Psichological review.
Sejalan dengan Thorndike dan Watson, Skiner berpendapat bawasannya
perilaku manusia harus dipelajari secara ilmiah, karena menurutnya perilaku
dapat dipelajari dengan baik tanpa rujukan dari kebutuhan, insting dan motif.
Walaupun Skiner juga meyakini adanya kondisi internal seperti rasa lapar,
emosi, nilai-nilai, kepercayaan diri, kebutuhan agresif, keyakinan religious,
dan kebencian memang ada. Tidak hanya membuang-buang waktu saja tetapi juga
akan membatasi kemajuan behaviorisme karena menggunakan kondisi internal
sebagai penjelasan.
Menurut Skinner, ilmuwan yang menyatakan bahwa manusia makan karena
lapar berarti mengasumsikan mengenai suatu kondisi mental yang tidak penting
dan tidak dapat diobservasi, yang berada di antara fakta konkret dari
kekurangan makanan dan fakta konkret dari perilaku makan. Asumsi semacam itu
dapat mengaburkan gagasan sebelumnya dan mereduksi psikologi ke dalam ranah
filsafat (kosmologi). Bertentangan dengan itu, Skinner menegaskan bahwa
psikologi harus menghindari factor-faktor internal mental dan membatasi dirinya
pada peristiwa nyata yang dapat diobservasi (Feist&Feist,2016:164).
3. Pengkondisian
Prinsip dari pengkondisian operan seperti yang diungkapkan oleh
Skiner adalah “jika bermunculan sebuah operan diikuti oleh penyajian sebuah
stimulus yang menguatkan, maka kekuatannya akan bertambah” (Skiner, 1938,
hlm.21). aturan yang sangat kuat ini tidak lebih sederhana dar : jika anda
ingin menguatkan sebuah respon atau pola perilaku tertentu, berikanlah ia
penghargaan !.
Maka untuk memodifikasi sebuah perilaku yang harus diperhatikan ada
2 elemen yaitu perilaku dan sebuah penguat. Kata Skiner, akan terlihat bahwa
kepribadian tidak lebih dari pada pola-pola perilaku konsisten yang sudah
diperkuat lewat pengkondisian operan.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengkondisian operan
ini menurut Olson & Hergenhahn (2013:468) yaitu :
a.
Akuisisi
Untuk membuktikan pengkondisian operan, Skiner membuat eksperimen
“Kotak Skiner”, dalam eksperimen ini Skiner menggunakan hewan-hewan kecil
seperti tikus atau merpati, aparatus dalam bilik disusun sedemikian rupa hingga
mekanisme pemberian makananpun diaktifkan. Dalam kotak ini, respon menekan tuas
adalah respon operan yang diinginkan, dan pelet makanan adalah penguatnya. Dan
hasilnya inilah yang dikatakan oleh Skiner bahwa ketika respon diikuti oleh
penguat, frekuendi menekan tuas bertambah.
b.
Pembentukan
Pembentukan mempunyai 2 komponen yaitu : 1. Penguatan defarensial
(perbedaan), artinya beberapa respon diperkuat dan beberapa respon tidak. Dan
2. Penguatan aproksimasi suksesif, artinya respon diperkuat jika mendekati
respon yang diinginkan.
Menurut operan, cara terbaik mengajarkan sebuah keterampilan yang
kompleks adalah dengan membagi-baginya menjadi komponen-komponen dasarnya dan
secara bertahap membentuknya hingga eksis, satu langkah kecil dari satu waktu.
Proses pembentukan penting sekali bagi pendidikan dan pengasuhan anak.
c.
Pemunahan
Jika penguatnya dihilangkan maka perilaku operan akan melemah dan
ini adalah disebut pemunahan. Skiner menjelaskan bawasannya Pemunahan juga
mempengaruhi kepribadian, perilaku yang mendapat penghargaan akan terus ada,
dan perilaku yang tidak mendapatkan penghargaan akan melemah dan nantinya akan
punah atau lenyap.
d.
Operan Diskriminatif
Adalah sebuah respon operan yang dibuat di bawah seperangkat
situasi, namun tidak di perangkat situasi lainnya. stimulus pemilah/pembeda
disebut stimulus diskriminatif (SD). Sedangkan stimulus yang
memunculkan respon operan diskriminatif adalah stimulus penguat (SR)
Menurut prinsp-prinsip pengkondisian operan, rsepon apapun yang
secara konsisten diperkuat disitusi tertentu akan diulangi di situasi tersebut
ketika muncul kembali. Kecenderungan untuk meningkatkan respon operan ini dalam
situasi yang sama dan sudah diperkuat disebut generalisasi stimulus.
e.
Penguatan Sekunder
Pada titik ini penguat primer dan penguat sekunder harus dipilah.
Jika penguat primer berhubungan dengan kelangsungan hidup, meliputi : makanan,
air, oksigen, pemunahan dan aktivitas seks dan penguat primer tidak netral
secara biologis. Maka penguat sekunder sebaliknya, stimuli yang awalnya netral secara biologis,
karenanya tidak menguatkan selain memperoleh sifat penguatannya lewat
pengasosiasian mereka dengan penguat primer.
Dalam mempelajari tingkah laku operan Skiner tidak hanya
memperhatikan prinsip-prinsip pengkondisian melainkan prosedur pengkondisian
juga. Diantaranya adalah :
a.
Mencatat
Tingkah Laku Operan
Pandangan Skiner, hukum-hukum fungsional dari tingkah laku paling
baik dikembangkan dengan memusatkan pada faktor-faktor yang meningkatkan dan
atau mengurangi probabilitas kemunculan respon dilain waktu dari pada
menciptakan stimulus spesifik yang memacu respon. Dengan demikian tingkah laku organisme perlu
dikur dan dicatat bagitu tinglah laku itu muncul.
b.
Jadwal
Perkuatan
Adalah aturan yang menentukan dalam keadaan bagaimana atau kapan
perkuatan-perkuatan akan disampaikan. Tingkatan diperoleh dan dipertahankannya
tingkah laku operan merupakan fungsi dari penggunaan jadwal perkuatan. Skiner
menyampaikan bahwasannya jadwal perkuatan adalah hasil dari penyelesaian
kesulitan prakti yang dihadapinya.
c.
Tingkah
Laku Takhyul
Adalah tingkah laku yang disandarkan pada hubungan respon dan
perkuatan. Skiner berpendapat tingkah laku takhyul itu akan selalu muncul dalam
keadaan individu percaya bahwa tingkah laku tertentu yang diungkapkannya
merupakan penyebab dari kejadian yang telah dialaminya. Perilaku takhayu
dihasilkan oleh penguatan tak bersyarat.
d.
Shaping
Penghampiran sinambung atau Shaping adalah pembentukan suatu
respon melalui pemberian perkuatan atas respon-respon lain yang mengarahkan
atau mendekati respon yang ingin dibentuk.
e.
Pemerkuat
Sekunder
Pemerkuat itu terdiri dari dua jenis yaitu pemerkuat primer dan
pemerkuat sekunder. Pemerkuat primer, adalah kejadian atau objek yang memiliki
sifat memperkuat secara inheren. Sedangkan pemerkuat sekunder adalah suatu hal,
kejadian, atau objek yang memiliki nilai pemerkuat respon melalui kaitan yang
erat dengan pemerkuat primer bedasarkan pengalaman pengkondisian atau proses
belajar pada organisme.
f.
Penggunaan
Stimulus Aversif
Yang dimaksud stimulus aversif adalah stimulus yang tidak
menyenangkan, tidak diharapkan, dan selalu ingin dihindari oleh organisme.dalam
hal ini Skiner mempunyai dua metode yang berbeda sehubungan dengan stimulus
aversif yaitu pemberian hukuman dan pemerkuat negatif.
4. ORGANISME MANUSIA
Skinner percaya bahwa perilaku manusia dibentuk oleh tiga kekuatan: (1) Seleksi Alam, (2)
Evolusi Budaya, dan (3) Sejarah seseorang atas penguatan yang
diterimanya/kondisi internal.
1. Seleksi Alam
Menurut Skinner kepribadian manusia adalah hasil dari sejarah evolusi yang
panjang. Sebagai individuperilaku kita ditentukan oleh komposisi genetis dan
terutama oleh sejarah pribadi kita atas penguatan yang diterima. Akan tetapi
sebagai spesies kita dibentuk oleh factor-faktor dari kemampuan bertahan hidup,
seleksi alam mempunyai peranan penting dalam kepribadian manusia (Feist &
Feist,2016:177)
2. Evolusi Budaya
Mereka masyarakat yang berkembang praktek-praktek budaya tertentu (misalnya
pembuatan alat dan bahasa) cenderung untuk bertahan hidup. Saat ini,
kehidupan hampir semua orang berbentuk, sebagian, dengan alat-alat modern (komputer,
media, berbagai moda transportasi, dll) dan dengan menggunakan bahasa mereka.
Namun, manusia tidak membuat keputusan koperasi untuk melakukan apa yang
terbaik bagi masyarakat mereka, tetapi mereka masyarakat yang anggotanya
berperilaku kooperatif cenderung untuk bertahan hidup.
3.
Kondisi Internal ; dorongan, kesadaran diri, emosi,
tujuan dan intensi
Skinner mengakui keberadaan bagian dalam seperti drive dan kesadaran diri, namun ia menolak gagasan bahwa mereka
dapat menjelaskan perilaku. Untuk Skinner, drive merujuk pada efek dari kekurangan dan kekenyangan dan dengan
demikian terkait dengan kemungkinan perilaku tertentu, tetapi mereka tidak
penyebab perilaku.
4. Perilaku Kompleks
Perilaku manusia tunduk pada prinsip yang sama pengkondisian operan sebagai
perilaku hewan sederhana, tetapi jauh lebih kompleks dan sulit untuk
memprediksi atau mengontrol. Skinner menjelaskan kreativitas sebagai hasil
dari perilaku acak atau kebetulan yang terjadi akan dihargai. Skinner
percaya bahwa sebagian besar perilaku kita tidak sadar atau otomatis dan yang
tidak memikirkan pengalaman tertentu memperkuat.
5. Kontrol Perilaku Manusia
Pada akhirnya, semua perilaku seseorang dikendalikan oleh
lingkungan. Masyarakat melakukan kontrol atas anggota mereka melalui
hukum, peraturan, dan kebiasaan yang melampaui berarti satu orang dari
countercontrol. Ada empat metode dasar kontrol sosial: (1) pengkondisian
operan, termasuk penguatan positif dan negatif dan hukuman; (2) menjelaskan
kontinjensi, atau menggunakan bahasa untuk menginformasikan orang-orang dari
konsekuensi dari perilaku mereka; (3) kekurangan dan kekenyangan,
teknik yang meningkatkan kemungkinan bahwa orang akan berperilaku dengan
cara tertentu, dan (4) pengekangan fisik, termasuk memenjarakan
penjahat. Meskipun Skinner menyangkal adanya kehendak bebas, dia mengakui
bahwa orang memanipulasi variabel dalam lingkungan mereka sendiri dan dengan
demikian beberapa latihan ukuran pengendalian diri, yang memiliki beberapa
teknik: (1) pengekangan fisik, (2) bantuan fisik, seperti alat-alat ; (3)
mengubah rangsangan lingkungan; (4) mengatur lingkungan untuk memungkinkan
melarikan diri dari rangsangan permusuhan; (5) obat, dan (6) melakukan sesuatu
yang lain.
3. TEORI PERSON CENTERED (Teori Rogers)
Berikut beberapa hal yang terkait dalam
teori Roger (Feist & Feist, 2014):
a. Asumsi-Asumsi
Dasar
Rogers merumuskan dua asumsi dasar teori person-centered, yaitu kecenderungan
formatif dan kecenderungan mengaktualisasi.
1. Kecenderungan
Formatif
Rogers yakin bahwa
terdapat kecenderungan bagi semua hal, baik organis maupun anorganis, untuk
berkembang dari suatu bentuk yang lebih sederhana menuju lebih kompleks. Bagi
seluruh alam semesta ini, proses kreatiflah yang bekerja bukan proses
disintegratif. Rogers menyebut proses
ini kecenderunagn formatif (formative
tendency) dan mengambil banyak contoh dari alam.
2. Kecenderungan
Aktualisasi
Kecenderungan untuk mengaktualisasikan
adalah dorongan memotivasi dasar tunggal. Kecenderungan ini adalah proses aktif
yang merepresentasikan kecenderungan bawaan organisme untuk mengembangkan
kapasitasnya yang mengarah ke mempertahankan, meningkatkan, dan mereproduksi
dirinya. Kecenderungan untuk mengaktualisasikan bersifat operatif di segala waktu
pada semua organisme dan merupakan ciri pembeda apakah organisme itu hidup atau
mati.
b. Diri
dan Aktualisasi Diri
Kunci konsep
struktural dari teori rogerian adalah the
self. The self adalah aspek pengalaman fenomenologis. Pengalaman
fenomenologis adalah salah satu aspek dari pengalaman kita yang ada di dunia
yaitu pengalaman sadar tentang diri sendiri (Pervin, 2011:211). Self/Diri
adalah apa yang manusia rasakan didalam dirinya. Self merupakan satu-satunya
struktur kepribadian yang sebenarnya. Dengan kata lain self terbentuk melalui
deferiensiasi medan fenomena dan melalui introjeksi nilai-nilai tertentu serta
di distorsi pengalaman. Self bersifat integral dan konsisten. Aktualisasi diri adalah proses
menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi
psikologis yang unik. Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah
aktualisasi diri.
Konsep diri (self
concept) menurut Rogers adalah konsep dimana dimana “aku“ merupakan pusat
referensi seluruh aspek di setiap pengalaman yang disadari. Konsep diri (self concept) adalah kesadaran batin
yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku
dari yang bukan aku. Dibagi menjadi 2:
a.
Konsep Diri Real : kenyataaan yang
ada pada diri individu / individu apa adanya.
b.
Konsep Diri Ideal : pandangan
seseorang terhadap diri sebagaimana yang ia harapkan, bersifat positif, dan
ingin dimiliki seseorang.
Hubungan keduanya:
a.
Kongruen, apabila ada sedikit saja perbedaan
antara konsep diri real dan diri ideal, individu akan cenderung sehat secara
psikologis.
b.
Inkongruen, apabila ada perbedaan yang signifikan antara konsep diri real dan
diri ideal, individu akan cenderung sakit secara psikologis
karena mengalami kecemasan & ancaman.
c. Kesadaran
dan Tingkat Kesadaran
Roger (1959) mendefinisikan kesadaran
sebagai “representasi simbolik (walaupun tidak selalu dalam simbol verbal) dari
sebagian pengalaman kita. Ia menggunakan istilah ini secara sinonim dengan
simbolisasi dan conscousness. Roger
membagi kesadaran menjadi tiga bagian yaitu:
1. Pengalaman yang diabaikan / disangkal
karena dialami di bawah batas kesadaran.
2. Pengalaman yang disimbolisasikan secara
akurat karena sesuai dengan konsep diri, dialami secara sadar.
3. Pengalaman yang didistorsi karena tidak
konsisten dengan konsep diri.
d. Menjadi
Manusia
Roger (1959) mendiskusikan proses yang
diperlukan untuk menjadi seorang manusia. Seseorang harus membuat kontak positif
ataupun negatif dengan orang lain. Saat seseorang mengembangkan kebutuhan untuk
dicintai, disukai atau diterima orang lain, hal tersebut oleh Roger merupakan
kebutuhan yang dianggap sebagai penghargaan
positif. Penghargaan positif adalah persyaratan untuk mendapatkan
penghargaan diri yang positif, yang didefinisikan sebagai pengalaman menghargai
diri sendiri. Sumber dari penghargaan diri yang positif berada dalam
penghargaan positif yang kita terima dari orang lain. Dengan demikian, orang
tersebut telah “ menjadi orang yang penting dalam lingkup sosial dengan caranya
sendiri (Feist & Feist, 2014).
e. Hambatan
pada Kesehatan Psikologis
1. Penghargaan
Bersyarat
Penghargaan bersayarat yaitu persepsi bahwa lingkungan akan
menerima individu hanya jika ia mampu memenuhi persyaratan. Terjadi apabila kita memiliki
persepsi bahwa beberapa perilaku kita mendapatkan persetujuan/diterima dan beberapa tidak diterima (artinya penghargaan bersifat
kondisional). Persepsi seperti ini disebut evaluasi eksternal. Saat kita
meragukan pengalaman kita sendiri, kita juga mendistorsi kesadaran kita atas
pengalaman tersebut, sehingga semakin menguatkan perbedaan antara evaluasi
orgamismik dan nilai-nilai yang diinternalisasikan dari orang lain. Hasilnya
kita akan mengalami inkongruensi (Roger, 1959).
2. Inkongruensi
a. Inkongruensi yaitu terjadinya ketidaksesuaian antara pengalaman organismik
yang dialami dengan konsep diri yang timbul
b. inkongruensi dapat berakibat pada perilaku
yang tidak konsisten atau berbeda
c. Menyebabkan hal-hal: Kerentanan
yaitu kecenderungan orang berperilaku dengan cara-cara yg tidak dimengerti orang lain bahkan dirinya sendiri. Kecemasan dan Ancaman
dirasakan saat kita mendapat kesadaran atas inkongruensi tersebut.
3. Sikap
Defensif
Sikap defensif adalah perlindungan atas konsep diri dari kecemasan dan ancaman, dengan penyangkalan atau distorsi, dari pengalaman yang tidak
konsisten dengan
konsep diri (Rogers,1959). Dua sikap defensif yaitu:
a. Distorsi yaitu melakukan kesalahpahaman dari sebuah pengalaman
b. Penyangkalan yaitu menolak menghayati pengalaman agar tidak tersimbolisasi pada
konsep diri.
Sikap defensif bertujuan untuk mempertahankan persepsi dan konsep diri serta
menghindarkan diri dari kecemasan dan ancaman.
4. Disorganisasi
Terjadinya
sikap atau perilaku yang konsisten dengan pengalaman organismiknya dan sesuai
dengan konsep diri namun konsep diri yang rusak/telah hancur, disebabkan oleh
sikap defensif yang “gagal” dilakukan karena datangnya inkongruensi yang
terlalu jelas atau terlalu mendadak untuk dapat disangkal.
4.
TEORI SOSIAL
KOGNITIF BANDURA
a. Belajar
Salah satu asumsi awal dan dasar teori kognisi sosial
Bandura adalah bahwa manusia cukup fleksibel dan mampu mempelajari berbagai
sikap, kemampuan, dan perilaku, serta cukup banyak dari pembelajaran tersebut
yang merupakan hasil dari pengalaman tidak langsung. Walaupun manusia dapat dan
memang belajar dari pengalaman langsung, banyak dari apa yang mereka pelajari
didapatkan dengan mengobservasi orang lain. Bandura (1986) menyatakan bahwa “apabila
pengetahuan dapat diperoleh hanya melalui akibat dari tindakan seseorang,
proses kognitif dan perkembangan sosial akan sangat terbelakang, dan juga akan
menjadi sangat melelahkan”.
1.
Pembelajaran
Melalui Observasi
Bandura yakin bahwa observasi memberikan jalan
pada manusia untuk belajar tanpa harus melakukan perilaku apa pun. Manusia
mengobservasi fenomena alami, tumbuhan, hewan, air terjun, pergerakan bulan dan
bintang-bintang, dan lainnya; tetapi yang terpenting bagi teori kognitif sosial
adalah asumsi bahwa mereka belajar melalui observasi perilaku orang lain.
a.
Modeling
Inti dari pembelajaran melalui proses observasi adalah
modeling. Pembelajaran melalui modeling meliputi menambahi atau mengurangi
suatu perilaku yang diobservasi dan mengeneralisasi dari satu observasi ke
observasi yang lainnya.
b.
Proses
Yang Mengatur Pembelajaran Melalui Observasi
Bandura (1986) menemukan empat proses yang mengatur
pembelajaran melalui observasi; perhatian» representasi/retensi» produksi
perilaku, dan motivasi
Perhatian (Attention) Sebelum
kita dapat melakukan modeling terhadap orang lain, kita harus memperhatikan
orang tersebut.
Representasi/retensi
Agar sebuah observasi dapat mengarahkan pada pola
respons yang baru pola tersebut harus dapat direpresentasikan secara simbolis
di dalam ingatan.
Produksi Perilaku Setelah memperhatikan seorang model dan
mempertahankan apa yang telah diobservasi, kemudian kita memproduksi perilaku
tersebut.
Motivasi Pembelajaran melalui observasi paling efektif terjadi
apabila pihak yang belajar termotivasi untuk melakukan perilaku yang ditiru.
Perhatian dan representasi dapat berakibat pada pengumpulan informasi untuk
belajar, namun performa difasilitasi oleh motivasi untuk melakukanan perilaku
tertentu.
2.
Pembelajaran
Aktif
Setiap respons yang dibuat oleh seseorang akan diikuti
oleh suatu konsekuensi Beberapa dari konsekuensinya ini dapat memuaskan,
beberapa tidak memuaskan, dan yang lainnya bahkan tidak mendapatkan perhatian
secara kognitif sehingga hanya mempunyai efek yang kecil. Bandura yakin bahwa
perilaku manusia yang komplekx dapat dipelajari saat seseorang memikirkan dan
mengevaluasi konsekuensi perilaku mereka.
2.
Prinsip-prinsip Teori Bandura
Adapun
prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan oleh
Bandura, yaitu:
a.
Prinsip Faktor-Faktor Yang Saling Menentukan
Bandura
menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem
diri/self system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa perilaku,
berbagai faktor pada diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam
lingkungan orang tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu
atau penyebab yang satu terhadap yang lainnya.
Teori
belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran,
yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan
mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang
lain.Dalam teori menjelaskan hubungan timbal balik yang saling berkesinambungan
antara kognitif, perilaku, dan lingkungan.
Kondisi
lingkungan sekitar kita sangat berpengaruh terhadap perilaku kita. Lingkungan
kiranya memberikan posisi yang besar dalam kehidupan sosial kita sehari-hari. Lingkungan
dapat pula membentuk kepribadian kita.
b.
Kemampuan Untuk Membuat Atau Memahami Simbol/Tanda/ Lambang
Bandura
menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar
kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif dari dunia
sekitar dari pada dunia itu sendiri.
c.
Kemampuan Berpikir Ke Depan
Selain dapat
digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan berpikir
atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan.
Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang,
dapat menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil
untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke
depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan.
d.
Kemampuan Untuk Seolah-Olah Mengalami Apa Yang Dialami Oleh Orang Lain
Orang-orang,
terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain
berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang
dinamakan belajar dari apa yang dialami orang lain.
e.
Kemampuan Mengatur Diri Sendiri
Prinsip
berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki kemampuan untuk
mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang bekerja dan belajar,
berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum, apakah orang
mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang
dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang
lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri.
Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun tanggung
jawab utama tetap berada pada diri se8ndiri.
f.
Kemampuan Untuk Berefleksi
Prinsip
terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau
perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu
memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus
menilai diri mereka sendiri.
3.
Pandangan
Tentang Individu/Person
a.
Kemampuan Simbolisasi
Teori kognitif sosial menyepakati peran sentral pada proses kognitif,
seolah-olah mengalami sendiri (vicarious), pengaturan diri (self
regulatory), dan refleksi-diri (self-reflective). Dengan kemampuan
luar biasa melakukan simbolisasi, manusia memiliki alat untuk memahami
lingkungan mereka serta menciptakan dan mengatur kegiatan lingkungan pada
hampir setiap aspek. Sebagian besar hal-hal eksternal memengaruhi perilaku
afektif individu melalui proses kognitif daripada secara langsung. Melalui
simbol, individu memberikan makna, bentuk, dan kontinuitas sesuai pengalaman
mereka sehingga dapat berkomunikasi dengan orang lain pada jarak dalam ruang
dan waktu.
b.
Kemampuan Pengaturan-Diri (Self-Regulatory)
Setiap individu tidak hanya berperan sebagai pihak yang memiliki
pengetahuan (knowers) dan melakukan (performers), namun juga
memiliki reaksi-diri sesuai kemampuan mengarahkan-diri (self-direction).
Pengaturan diri terhadap motivasi, afek, dan tindakan sebagian beroperasi
melalui standar internal dan reaksi untuk mengevaluasi perilaku diri sendiri.
Standar internal yang berfungsi sebagai dasar untuk mengatur perilaku individu
memiliki stabilitas atau kemantapan yang lebih besar. Individu tidak cepat
berubah menyangkut apa yang dia anggap benar atau salah, baik atau buruk.
c.
Kemampuan Refleksi-Diri (Self-Reflective)
Kemampuan merefleksikan diri merupakan atribut lain manusia yang menonjol
dalam teori kognitif sosial. Individu bukan hanya agen tindakan tetapi juga
menguji dirinya sendiri (self examiners). Ketika melakukan verifikasi
yang melibatkan refleksi diri, individu menghasilkan ide-ide serta bertindak
terhadap ide tersebut, atau memrediksi kejadian.
d.
Kemampuan Memosisikan Sebagai Orang Lain (Vicarious)
Teori-teori psikologis secara tradisional menekankan belajar melalui efek
dari tindakan orang lain. Hampir semua perilaku, kognitif, dan afektif belajar
dari pengalaman langsung dapat dicapai dengan cara vicarious atau
mengamati tindakan individu-individu lain dan konsekuensinya bagi mereka.
Pembelajaran sosial banyak terjadi dari lingkungan terdekat seseorang. Namun,
informasi tentang nilai-nilai kemanusiaan, gaya berpikir, dan pola perilaku
juga diperoleh dari simbol-simbol dari media massa. Akibatnya, konsepsi tentang realitas
dipengaruhi pengalaman vicarious melalui apa yang mereka lihat, dengar,
dan baca, tanpa koreksi melalui pengalaman langsung. Semakin besar
ketergantungan individu mengenai realitas pada simbol media massa, semakin
besar adalah dampak sosialnya.
a.
Mekanisme Mengatur Pembelajaran Observasi
proses perhatian menentukan seleksi apa yang diamati dalam pengaruh dan
informasi apa yang diambil dari kejadian yang sedang berlangsung. Sejumlah
faktor memengaruhi eksplorasi dan pemahaman, seperti keterampilan kognitif,
prasangka, dan preferensi nilai yang dianut oleh pengamat. Begitu pula, salience
(tanda yang penting atau menonjol), daya tarik, dan nilai fungsional dari
kejadian.
b.
Abstraksi Model
Modeling bukan hanya proses meniru perilaku. Modeling juga berpengaruh
menyampaikan aturan untuk perilaku secara umum dan inovatif. Pengaturan nilai
dan tindakan diatur berbeda untuk mewujudkan aturan dasar yang sama. Sebagai
contoh, model mungkin menghadapi konflik moral yang berbeda tetapi menerapkan
standar moral yang sama. Dalam bentuk ini lebih tinggi dari abstraksi model,
pengamat mengambil aturan yang mengatur penilaian atau tindakan tertentu yang
ditunjukkan oleh orang lain. Setelah mempelajari aturan, mereka dapat
menggunakannya untuk menilai atau menyimpulkan kejadian perilaku baru melampaui
apa yang pernah mereka lihat atau dengar.
c.
Efek Motivasi
Melihat tindakan orang lain mendapatkan hasil yang diinginkan dapat
memunculkan harapan yang berfungsi insentif positif, sedangkan hasil yang tidak
dinginkan dapat memunculkan harapan yang berfungsi sebagai insentif negatif
atau disinsentif. Hasil yang sama dapat berfungsi sebagai hadiah atau hukuman
tergantung pada perbandingan sosial antara hasil yang diamati dan pengalaman
secara pribadi.
e.
Konstruksi Sosial Realitas
Representasi televisi terhadap realitas sosial mencerminkan ideologis dalam
penggambaran atas sifat manusia, hubungan sosial, dan norma-norma serta
struktur masyarakat (Adoni & Mane, 1984; Gerbner, 1972). Terpaan berat
untuk dunia simbolik ini akhirnya membuat citra televisi nampak otentik untuk urusan
manusia. Televisi membentuk pandangan manusia terhadap realitas kepercayaan dan
konsep akibat penekanan atau penayangan simbol-simbol tertentu.
f.
Dorongan Sosial Terhadap Perilaku Manusia
Tindakan orang lain juga dapat berfungsi sebagai petunjuk sosial untuk
perilaku yang dipelajari sebelumnya bahwa pengamat dapat melakukan tetapi belum
melakukannya karena belum cukup dibujuk, bukan karena pembatasan. Efek dorongan
sosial dibedakan dari pembelajaran observasional dan kurangnya pengendalian
diri karena tidak ada perilaku baru yang diakuisisi, dan proses kekurangan
pengendalian diri tidak terlibat karena perilaku elisitasi (berkelompok) secara
sosial dapat diterima dan tidak dibebani oleh pembatasan.
Pengaruh model dalam mengaktifkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku
orang lain banyak didokumentasikan baik pada laboratorium dan studi lapangan
(Bandura, 1986). Dengan demikian, jenis model yang mendominasi dalam lingkungan
sosial sebagian menentukan kualitas manusia, di antara banyak alternatif,
secara selektif diaktifkan.
g.
Arus Pengaruh Dual-Link Versus Banyak Pola
Mode yang berbeda dari pengaruh manusia terlalu beragam untuk memiliki
jalur tetap dari pengaruh atau kekuatan. Kebanyakan perilaku adalah hasil dari
beberapa faktor penentu yang beroperasi. Dalam kasus perilaku yang tidak khas,
biasanya dihasilkan oleh konstelasi penentu yang unik, sehingga jika salah satu
dari mereka tidak hadir maka perilaku tidak akan terjadi. Tergantung pada
kualitas dan koeksistensi penentu lainnya, pengaruh media yang mungkin subordinat,
sama, atau lebih besar daripada pengaruh nonmedia.
h.
Difusi Sosial Melalui Model Simbolik
Diskusi sebelumnya banyak membahas model pada tingkat individu. Sebelumnya
juga dicatat, bahwa keunikan dari model ini adalah mampunya ia mengantarkan
informasi terbatas yang beragam ke banyak orang secara simultan melalui medium
model simbolik. Kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi komunikasi mengubah
karakter, cakupan, kecepatan dan lokus (area) dari pengaruh manusia (Bandura,
2001b).
1.
Difusi Model Determinan
2.
Pemodelan simbolik biasanya berfungsi sebagai
pengantar yang penting dari inovasi kepada area yang luas dan berpencar. Hal
ini khususnya terjadi pada tingkat awal dari penyebaran. Koran, majalah, radio
dan televisi memberikan informasi kepada masyrakat tentang berita, risiko dan
keuntungan. Ditambah, internet memungkinkan akses komunikasi yang instan ke
seluruh dunia. Adopter awal, adalah mereka yang memiliki akses yang cukup baik
terhadap sumber media dan informasi.
3.
Adoption Determinants
4.
Faktor-faktor yang menentukan individu untuk
mengadopsi sebuah perilaku Insentif yang diperoleh dari perilaku tersebut, baik
secara material, sosial, maupun hasil evaluasi diri. Adanya keinginan untuk
memperoleh apresiasi sosial dan dorongan status. Seorang individu tidak mutlak
mengadopsi nilai-nilai dari luar, tetapi juga mengolah dan menyesuaikan dengan
konsep diri mereka.
4.
Agen manusia
Teori kognisi sosial mengambil sudut pandang yang
bersifat agensi terhadap kepribadian, yaitu manusia mempunyai kapasitas untuk
melakukan kontrol atas hidup mereka (2002b). Agen manusia adalah esensi dari
kemanusiaan. Bandura (2001) yakin bahwa manusia bersifat meregulasi diri
sendiri, proaktif, merefleksikan diri, dan dapat mengatur diri sendiri serta
mempunyai kekuatan untuk memengaruhi tindakan mereka sendiri untuk menghasilkan
konsekuensi yang diinginkan.
a.
Apek-aspek Inti Agen Manusia
Bandura (2001,2004) mendiskusikan empat aspek inti
dari agensi manusia: intensionalitas, visi, reaktivitas diri, dan refleksi diri.
Intensionalitas merujuk kepada tindakan yang dilakukan
seseorang secara bertujuan. Suatu intensi meliputi adanya perencanaan, tetapi
juga meliputi tindakan, “Hal tersebut tidak hanya sebuah ekspektasi atau
prediksi mengenai tindakan di masa depan, namun juga komitmen yang proaktif
untuk mewujudkannya” (2001, hlm. 6). Intensionalitas tidak berarti bahwa semua
rencana seseorang dapat membuahkan hasil Manusia terus mengubah rencana mereka
saat menyadari konsekuensi dari tindakan mereka.
b.
Efikasi Diri
Bagaimana
manusia bertindak dalam suatu situasi bergantung pada hubungan timbal-balik
dari perilaku, lingkungan, dan kondisi kognitif, terutama faktor-faktor
kognitif yang berhubungan dengan keyakinan bahwa mereka mampu atau tidak mampu
melakukan suatu perilaku yang di perlukan untuk menghasilka pencapaian yang
diinginkan dalam suatu situasi. Dalam model triadic reciprocal causal yang
mempostulasikan bahwa lingkungan,perilaku, dan manusia mempunyai pengaruh yang
interaktif terhadap satu sama lain, efikasi diri merujuk pada faktor manusia.
1.
Apakah Itu Efikasi Diri?
Efikasi
diri bukan merupakan ekspektasi dari hasil tindakan kita. Bandura (1986,
1997) membedakan antara ekspektasi mengenai efikasi dan ekspektasi mengenai
hasil Efikasi merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut
memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku, sementara ekspektasi atas
hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai konsekuensi perilaku
tersebut. Hasil tidak boleh digabungkan dengan keberhasilan dalam melakukan
perilaku tersebut; hasil merujuk pada konsekuensi dari perilaku, bukan
penyelesaian melakukan tindakan tersebut Sebagai contoh, seorang pelamar kerja
harus mempunyai kepercayaan diri bahwa dia dapat memberikan performa yang baik
saat melakukan wawancara kerja, mempunyai kemampuan untuk menjawab berbagai
kemungkinan pertanyaan, tetap santai dan terkontrol, serta menunjukkan perilaku
bersahabat dengan kadar yang tepat Oleh karena itu, dia mempunyai efikasi diri
yang tinggi mengenai wawancara keria.
2.
Hal-hal yang Mempengaruhi Efikasi Diri
Efikasi personal didapatkan, ditingkatkan, atau
berkurang melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber: (1) pengalaman
menguasai sesuatu {mastery experiences),, (2) modeling sosial, (3)
persuasi sosial, serta (4) kondisi fisik dan emosional (Bandura, 1997). Dengan
setiap metodenya, informasi mengenai diri sendiri dan lingkungan akan diproses
secara kognitif dan bersama-sama dengan kumpulan pengalaman sebelumnya, akan
mengubah persepsi mengenai efikasi diri.
Pengalaman Menguasai Sesuatu Sumber yang
paling berpengaruh dari efikasi diri adalah pengalaman menguasai sesuatu, yaitu
performa masa lalu (Bandura, 1997). Secara umum, performa yang berhasil akan
meningkatkan ekspektasi mengenai kemampuan; kegagalan cenderung akan menurunkan
hal tersebut Pernyataan umum ini mempunyai enam dampak. Pertama, performa yang
berhasil akan meningkatkan efikasi diri secara proporsional dengan kesulitan
dari tugas tersebut. Pemain tenis dengan keterampilan yang tinggi akan
mengalami peningkatan efikasi diri yang sedikit saat mengalahkan lawan yang
jelas-jelas inferior, tetapi pemain tersebut akan lebih mengalami peningkatan
efikasi diri dengan menunjukkan performa yang baik menghadapi lawan yang lebih
superior. Kedua, tugas yang dapat diselesaikan dengan baik oleh diri sendiri
akan lebih efektif daripada yang diselesaikan dengan bantuan dari orang
lain. Dalam olahraga, pencapaian dalam tim tidak meningkatkan efikasi personal
daripada pencapaian individu. Ketiga, kegagalan sangat mungkin untuk menurunkan
efikasi saat mereka tahu bahwa mereka telah memberikan usaha terbaik mereka.
Kegagalan yang terjadi ketika kita tidak sepenuhnya berusaha, tidak lebih
memengaruhi efikasi dibandingkan kegagalan saat kita memberikan usaha terbaik
kita. Keempat, kegagalan dalam kondisi rangsangan atau tekanan emosi yang
tinggi tidak terlalu merugikan diri dibandingkan kegagalan dalam kondisi
maksimal Kelima, kegagalan sebelum mengukuhkan rasa menguasai sesuatu akan
lebih berpengaruh buruk pada rasa efikasi diri daripada kegagalan setelannya.
Dampak keenam dan yang berhubungan adalah kegagalan yang terjadi kadang-kadang
mempunyai dampak yang sedikit terhadap efikasi diri, terutama pada mereka yang
mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kesuksesan.
Modeling Sosial Sumber
kedua dari efikasi diri adalah modeling sosial, yaitu vicarious
experiertces. Efikasi diri meningkat saat kita mengobservasi pencapaian
orang lain yang mempunyai kompetensi yang setara, namun akan berkurang saat kita
melihat rekan sebaya kita gagal Saat orang lain tersebut berbeda dari kita,
modeling sosial akan mempunyai efek yang sedikit dalam efikasi diri kita*
Secara umum, dampak dari modeling sosial tidak sekuat
dampak yang diberikan oleh performa pribadi dalam meningkatkan level efikasi
diri, tetapi dapat mempunyai dampak yang kuat saat memperhatikan penurunan
efikasi diri. Melihat seorang perenang dengan kemampuan yang setara gagal untuk
melewati sungai yang bergejolak akan membuat orang yang mengobservasi mengurungkan
niat untuk melakukan hal yang sama. Dampak dari pengalaman tidak langsung ini,
bahkan mungkin dapat bertahan seumur hidup.
Persuasi Sosial Efikasi
diri dapat juga diperoleh atau dilemahkan melalui persuasi sosial (Bandura,
1997). Dampak dari sumber ini cukup terbatas, tetapi di bawah kondisi yang
tepat, persuasi dari orang lain dapat meningkatkan atau menurunkan efikasi diri
Kondisi pertama adalah bahwa orang tersebut harus memercayai pihak yang
melakukan persuasi Kata-kata atau kritik dari sumber yang terpercaya mempunyai
daya yang lebih efektif dibandingkan dengan hal yang sama dari sumber yang
tidak terpercaya. Meningkatkan efikasi diri melalui persuasi sosial dapat
menjadi efektif hanya bila kegiatan yang ingin didukung untuk dicoba berada dalam
jangkauan perilaku seseorang. Sebanyak apa pun persuasi verbal dari orang lain
tidak dapat mengubah penilaian seseorang mengenai kemampuan dirinya untuk
berlari 100 meter dalam waktu di bawah 8 detik.
Bandura (1986) berhipotesis bahwa daya yang lebih efektif
dari sugesti berhubungan langsung dengan status dan otoritas yang dipersepsikan
dari orang yang melakukan persuasi. Status dan otoritas tentu saja tidak
identik. Sebagai contoh, saran dari seorang psikoterapis kepada pasien fobia
bahwa mereka dapat naik ke dalam lift yang penuh, akan lebih mungkin
meningkatkan efikasi diri daripada dukungan dari pasangan atau anak seseorang.
Akan tetapi, apabila psikoterapis yang sama memberitahukan pasien-pasien bahwa
mereka mempunyai kemampuan untuk mengganti saklar lampu yang rusak, pasien ini
mungkin tidak akan mendapatkan peningkatan efikasi diri kegiatan Ini Selain
itu, persuasi sosial juga paling efektif saat dikombinasikan dengan performa
yang sukses. Persuasi dapat meyakinkan seseorang untuk berusaha dalam suatu
kegiatan dan apabila performa yang dilakukan sukses baik pencapaian tersebut
maupun penghargaan verbal yang mengikutinya akan meningkatkan efikasi di masa
depan.
Kondisi fisik dan emosional Sumber
terakhir dari efikasi adalah kondisi fisiologis dan emosional dari
seseorang (Bandura, 1997). Emosi yang kuat biasanya alun mengurangi performa
saat seseorang mengalami ketakutan yang kuat. kecemasan akut, atau tingkat
stres yang tinggi kemungkinan akan
mempunyai ekpektasi efikasi yang rendah.
3.
Agen Proxy
Proxy
meliputi kontrol yang tidak langsung atas kondisi sosial yang dapat
memengaruhi kehidupan sehari-hari. Bandura (2001) mengatakan bahwa "tidak
ada orang yang mempunyai waktu, energi, dan sumber daya untuk dapat menguasai
semua aspek kehidupan sehari-hari Untuk dapat berfungsi dengan sukses,
seharusnya melibatkan kombinasi ketergantungan pada agen proxy dalam
beberapa area fungsi" (hlm. 13). Dalam masyarakat Amerika modern, manusia
akan mendekati keputusasaan apabila hanya bergantung pada pencapaian pribadi
untuk dapat mengelola hidupnya. Kebanyakan orang tidak mempunyai efikasi
personal untuk memperbaiki pendingin ruangan, kamera, atau mobil mereka. Akan
tetapi, melalui agen proxy, mereka akan dapat mencapai tujuan dengan
bergantung pada orang lain untuk memperbaiki objek-objek tersebut Manusia
berusaha untuk mengubah kehidupan mereka sehari-hari dengan menghubungi
representasi mereka dalam kongres atau orang-orang berpengaruh lainnya; mencari
mentor yang dapat membantu mereka belajar keterampilan yang berguna; menyewa
tetangga yang masih muda untuk memotong rumput halaman mereka; bergantung pada
layanan berita internasional untuk mengetahui kejadian-kejadian yang baru
terjadi; mempertahankan pengacara mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah
hukum mereka; dan lain sebagainya.
Akan tetapi, proxy mempunyai sisi kelemahan.
Dengan bergantung terlalu banyak terhadap kompetensi dan kekuatan orang lain,
seseorang dapat mengurangi efikasi pribadi dan kolektif mereka. Seseorang dapat
menjadi bergantung terhadap pasangannya untuk merawat dan mengatur rumah
tangga; anak-anak berusia remaja akhir atau dewasa muda dapat berharap orang
tua mereka untuk merawat mereka; dan penduduk dapat mulai bergantung pada
pemerintah untuk menyediakan kebutuhan hidup mereka.
4.
Efikasi Kolektif
Bentuk ketiga dari agen manusia adalah efikasi
kolektif. Bandura (2000) mendefinisikan efikasi kolektif sebagai
"keyakinan yang dimiliki manusia mengenai efikasi kolektif mereka untuk
mencapai hasil yang diinginkan" (him. 75). Dengan perkataan lain, efikasi
kolektif adalah kepercayaan orang-orang bahwa usaha mereka bersama akan membawa
suatu pencapaian kelompok Bandura (2000) mengajukan dua teknik untuk mengukur
efikasi kolektif Pendekatan pertama adalah dengan mengombinasikan evaluasi
individual dari dua anggota mengenai kemampuan pribadi mereka untuk melakukan
perilaku yang dapat menguntungkan kelompok. Sebagai contoh, para aktor dalam
suatu drama akan mempunyai efikasi kolektif yang tinggi apabila mempunyai
keyakinan terhadap kemampuan pribadi mereka untuk dapat memainkan peranan
dengan baik. Pendekatan kedua yang diajukan oleh Bandura adalah untuk
mengukur kepercayaan yang dimiliki setiap orang mengenai kemampuan kelompok
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Sebagai contoh, para pemain bisbol
mungkin memiliki kepercayaan yang rendah terhadap masing-masing rekan satu
timnya, namun memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa tim mereka akan
memberikan performa yang cukup baik Kedua pendekatan yang sedikit berbeda atas
efikasi kolektif ini memerlukan teknik pengukuran yang berbeda.
5.
TEORI
MASLOW
a.
Prinsip-prinsip
Teori Maslow
Prinsip yang mendasari pada teori Abraham Maslow adalah keterkaitan
dengan hirarki kebutuhan, yaitu Maslow berpendapat bahwa kebutuhan-kebutuhan
level rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu
sebelum kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi.
Lima kebutuhan yang membentuk hirearki ini adalah kebutuhan konatif (conative
needs), yang berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan ini memiliki karakter mendorong
atau memotivasi. Kebutuhan-kebutuhan ini, yang Maslow sering kali sebut adalah
kebutuhan dasar, dapat dibentuk menjadi sebuah hierarki atau tangga di mana
anak tangga menggambarkan kebutuhan yang lebih tinggi, tetapi bukan merupakan
kebutuhan untuk bertahan hidup. Kebutuhan-kebutuhan di level rendah mempunyai
prapotensi atau kekuatan yang lebih besar dibandingkan kebutuhan-kebutuhan di
level lebih tinggi. Dengan demikian, kebutuhan-kebutuhan di level lebih rendah
ini harus terpenuhi atau cukup terpenuhi lebihb dahulu sebelum
kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi bisa aktif.
Maslow (1970) mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan berikut ini
berdasarkan prapotensi dari masing-masing: fisiologis (physiological), keamanan (safety),
cinta dan keberadaan (love and belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi diri (self actualization).
1.
Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan yang mendasar bagi tiap manusia adalah kebutuhan
fisiologis (physiological needs) termasuk didalamnya adalah makanan, air,
oksigen, mempertahankan suhu tubuha, dan lain sebagainya. Kebutuhan psikologis
adalah kebutuhan yang mempunyai kekuatan/pengaruh paling besar dan semua
kebutuhan.
Pada masyarakat yang kaya dan berkecukupan, sebagian besar orang
memenuhi akan rasa laparnya sebagai suatu hal yang biasa iya lakukan. Mereka
biasanya mempunyai cukup makanan sehingga jika mereka mengatakan bahwa mereka
lapar, yang mereka maksudkan sebenarnya adalah tentang selera makan, bukan rasa
lapar. Seorang yang benar-benar lapar tidak akan terlalu memperhatikan rasa,
bau, suhu dan tekstur dari makanan.
2.
Kebutuhan akan Keamanan
Ketika orang telah terpenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mereka
menjadi termotivasi denagn kebutuhan akan rasa aman (safety needs), yang
termasuk di dalamnya adalah keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan dan
perlindungan, dan kebebasan dari kekuatan-kekuatan yang mengancam seperti
perang, terorisme, penyaki, rasa malu, rasa takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan
dan bencana alam. Kebutuhan akan hukum, ketentraman, dan keteraturan juga
merupakan bagian dari kebutuhan akan rasa aman (Maslow 1970).
Pada masyarakat yang tidak sedang mengalami perang, sebagian
orang-orang dewasa yang sehat dapat memenuhi kebutuhan rasa aman mereka setiap
waktu sehingga menjadikan kebutuhan ini cendrung tidak penting. Akan tetapi,
anak-anak lebih sering termotivasi oleh kebutuhan akan rasa aman karena mereka
hidup dengan ketakutan akan gelap, binatang, orang asing, dan hukuman dari
orang tua. Selain itu, sebagian orang dewasa merasa cenderung tidak aman karena
ketakutan tidak masuk akal dari masa kecil terbawa hingga dewasa dan
menyebabkan mereka bertidak seolah-olah mereka takut akan hukuman dari orang
tua. Mereka menghabiskan banyak nenergi yang dibutuhkan orang sehat untuk
memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan ketika mereka tidak berhasil memenuhi
kebutuhan akan rasa aman tersebut, mereka akan mengalami apa yang disebut
dengan Maslow sebagai kecemasan dasar (basic
anxiety).
3.
Kebutuhan Cinta dan Keberadaan
Setelah orang memenuhi kebutuhan akan rasa fisiologis dan rasa
aman, mereka menjadi termotivasi oleh kebutuhan akan cinta dan keberadaan (love and
belongingeness needs), seperti keinginan untuk berteman, keinginan untuk memiliki
pasang kekasih dan anak, kebutuhan untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga,
sebuah perkumpulan, sebuah lingkungan masyarakat, dan negara.
Orang yang kebutuhan keberadaan dan cinta cukup terpenuhi sejak
masa kecil tidak menjadi panik ketika cintanya ditolak. Orang semacan ini
mempunyai kepercayaan bahwa diri mereka akan diterima oleh orang-orang yang
penting bagi mereka, jadi, ketika orang lain menolak mereka, mereka tidak
merasa hancur.
4.
Kebutuhan Penghargaan
Setelah kebutuhan akan cinta dan keberadaan, mereka bebas untuk
mengejar kebutuhan dan penghargaan (esteem
needs),yang mencakup penghormatan
diri, kepercayaan diri, kemampuan dan pengatahuan yang orang lain hargai.
Maslow mengidentifikasi dua tingkatan kebutuhan akan penghargaan-reputasi dan
harga diri. Reputasi adalah persepsi akan gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang
dimiliki seseorang, dilihat dari sudut pandang orang lain. Sementara harga diri
adalah perasaan pribadi seseorang bahwa dirinya bernilai dan bermanfaat atau
percaya diri. Harga diri didasari oleh lebih dari sekedar reputasi maupun
gengsi.
5.
Kebutuhan Aktualisasi Diri
Ketika kebutuhan di level rendah terpenuhi, orang secara otomatis
beranjak ke level berikutnya. Akan tetapi, setelah kebutuhan akan penghargaan
terpenuhi, orang tidak selalu bergerak menuju level aktualisasi diri. Awalnya
Maslow berasumsi bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri muncul jika kebutuhan
penghargaan terpenuhi.
Kebutuhan akan aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, sadar akan
semua potensi diri, dan keinginan untuk menjadi sekreaktif mungkin (Maslow,
1970) orang-orang yang telah menuju level aktualisasi diri menjadi orang yang
seutuhnya, memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang orang lain hanya lihat sekilas
atau bahkan tidak terlihat sama sekali.
Orang-orang yang mengaktualisasikan diri dapat mempertahankan harga
diri mereka bahkan ketika mereka dimaki, dicaci, ditolak, dan diremehkan oleh
orang lain.
6. Kebutuhan Estetika
Berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan konatif,
kebutuhan estetika (aesthetic needs)
tidaklah bersifat universal. Orang-orang dengan kebutuhan estetika yang kuat
menginginkan lingkungan yang indah dan teratur dan ketika kebutuhan ini tidak
terpenuhi, mereka akan merasa sakit sama halnya seperti orang-orang yang tidak
terpenuhi kebutuhan-kebutuhan konatifnya juga merasa sakit. Orang-orang
estetika lebih menyukai sesuatu yang indah daripada sesuatu yang jelek dan
bahkan mereka bisa mengalami sakit fisik dan psikologis jika dipaksa untuk
tinggal di lingkungan yang kotor dan tidak teratur (Maslow,1970).
7. Kebutuhan Kognitif
Sebagian besar orang mempunyai keinginan
untuk mengetahui, untuk memecahkan misteri, untuk memahami dan untuk menjadi
penasaran. Maslow (1970) menyebut keinginan-keinginan ini sebagai kebutuhan
kognitif (cognitive needs). Ketika
kebutuhan kognitif tidak terpenuhi maka semua kebutuhan pada hierraki Maslow
terancam tidak bisa terpenuhi karena pengetahuan merupakan kebutuhan yang
sangat penting untuk memenuhi masing-masing dari kelima kebutuhan konatif
tersebut. Seseorang dapat memenuhi kebutuhan fisiologis mereka dengan cara
mengetahui bagaimana cara medapatkan makanan, kebutuhan keamanan dapat
terpenuhi dengan cara mengetahui bagaimana membangun rumah.
8. Kebutuhan Neurotik
Pemenuhan kebutuhan konatif, estetika dan
kognitif merupakan dasar bagi tercapainya kesehatan fisik dan psikologis
seseorang. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan
mengarah pada penyakit, akan tetapi kebutuhan neurotic hanya mengarah pada
kegagalan berkembang dan penyakit (Maslow, 1970). Kebutuhan neurotic tidak
produktif. Kebutuhan-kebutuhan ini memupuk gaya hidup yang tidak sehat dan
tidak adanya keinginan untuk berusaha memperoleh aktualisasi diri. Kebutuhan
neurotic bersifat reaktif yaitu kebutuhan ini berperan sebagai kompensasi atas
kebutuhan-kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi.
b.
Konsep
Maslow Tentang Motivasi
kepribadian Maslow dibuat
berdasarkan beberapa asumsi dasar mengenai motivasi. Pertama Maslow (1970)
mengadopsi sebuah pendekatan menyeluruh pada motivasi (holistic approach to
motivation). Yaitu, keseluruhan dari seseorang bukan hanya satu bagian saja
atau fungsi, termotivasi.
Kedua, motivasi biasanya kompleks atau terdiri dari beberapa hal
(motivation in usually complex), yang berarti tingkah laku sesorang dapat
muncul dari beberapa motivasi yang terpisah. Contohnya, keinginan untuk
berhubungan seksual dapat termotivasi tidak hanya oleh adanya kebutuhan yang
kaitannya dengan alat kelamin, tetapi juga oleh kebutuhan akan dominasi,
kebersamaan, cinta, dan harga diri. Selain itu, motivasi untuk melakukan sebuah
tingkah laku yang didasari maupun tidak disadari oleh orang yang melakukan.
Contohnya, motivasi seorang mahasiswa untuk mendapatkan nilai tinggi dapat
menutupi motivasi sesungguhnya yang adalah kebutuhan untuk mendominasi
kekuasaan. Pandangan Maslow tentang pentingnya motivasi yang tidak disadari
menggambarkan satu perbedaan penting antara dirinya dengan Gordon Allport.
Allport mungkin mengatakan bahwa seseorang bermain golf karena mendapatkan
kesenangan dari permainan tersebut, sementara Maslow akan melihat lebih jauh
dari sekedar motivasi yang tampak dan melihat alasan-alasan untuk bermain golf
yang biasanya terdiri dari beberapa alasan.
Asumsi ketiga adalah bahwa orang-orang berulang kali termotivasi
oleh kebutuhan-kebutuhan (people are continually motivated by one need or
another). Ketika sebuah kebutuhan terpenuhi, biasanya kebutuhan tersebut
berkurang kekuatan untuk memotivasinya dan digantikan oleh kebutuhan lain.
Contohnya selama kebutuhan akan makan/rasa lapar belum terpenuhi, orang akan
selalu berusaha mendapatkanmakanan. Akan tetapi, ketika mereka sudah mendapat
cukup makan, mereka beralih ke kebutuhan-kebutuhan lain seperti keamanan,
pertemanan, dan penghargaan diri.
Asumsi lainnya adalah bahwa semua orang dimanapun termotivasi oleh
kebutuhan dasar yang sama (all people everywhere are motivated by the same basic
needs). Bagaimana cara orang-orang di kultur yang berbeda-beda memperoleh
makan, membangun tempat tinggal, mengekspresikan pertemanan, dan seterusnya
bisa bervariasi, tetapi kebutuhan dasar untuk makan, keamanan, dan pertemanan
merupakan kebutuhan yang berlaku umum untuk semua psesies.
Asumsi terakhir mengenai motivasi adalah bahwa kebutuhan-kebutuhan
dapat dibentuk menjadi sebuah heirarki (need can be arranged on a
hierarchy).
c.
Aktualisasi diri dan Pengukur
1.
Konsep
Aktualisasi Diri Maslow
Awal sejarah munculnya pemikiran Maslow tentang aktualisasi diri
yaitu ketia ia bingung memilikirkan tentang dua orang gurunya (Antropolog “Ruth
Benedich” dan Psikolog “ Wertheimer” yang sangat berbeda dengan banyak orang)
di New York City. Pandangan yang dimiliki maslow tentang kedua orang gurunya
ini adalah menggambarkan level atau tahap perkembangan manusia yang tinggi,
sehingga Maslow menyebutnya dengan “aktualisasi diri” ketika itu maslow
memperoleh gelar Ph. D-nya.
2.
Kriteria
Aktualisasi Diri
Apa saja keriteria seseorang yang mengaktualisasi diri? Pertama mereka yaitu seseorang terlepas dari psikopatologi atau dikenal dengan penyakit psikologis, maka jelas sekali
bahwasanya jika sesorang mngidap gangguan kejiawaan tentunya tidak akan mampu
mengaktualisasi diri dengan berbagai fungsi jiwa yang sudah terganggu. Bahkan
Maslow mengatakan bahwa sekalipun hanya mengalami kecendrungan akan gangguan
psikologis.
Yang kedua yaitu orang-orang
yang mengaktualisasi diri ini telah menjalani hirearki kebutuhan dan oleh
karena itu mereka hidup dengan level kecukupan yang tinggi dan tidak mengalami
ancaman terhadap keamanan. Dan selain itu Maslow mengatakan bahwa mereka telah
terpenuhi rasa penghargaan diri yang kuat, otomatis pada tahap ini mereka telah
memenuhi pada level yang pertama. Pada orang ynag mengaktualisasi diri mampu
menerima apabila kebutuhan tidak terpenuhi dan mampu menerima berbagai
kesulitan sperti di hina oleh orang lain, serta mereka memiliki cinta yang
bermacam-macam terhadap orang lain, namun tidak memiliki kewajiban untuk
mencintai semua orang (dalam Feist & Feist 2010, 343).
Keriteria yang ketiga yaitu seseorang menjunjung nilai-nilai B. Orang-orang yang mengaktualisasi diri
dalam daftarnya merasa nyaman dan menuntut kejujuran, keindahan, keadilan, kesederhanaan,
kejenakaan, dan masing-masing nilai B
lainnya.
Yang treakhir yaitu “ menggunakan
seluruh bakat, kemampuan, potensi, dan lainnya”. Singkatnya Maslow
mengatakan orang yang mengaktualisasi diri dalam daftarnya yaitu manusia yang memenuhi kebutuhannya untuk tumbuh ,
berkembang,dan semakin menjadi apa yang mereka bisa.
3.
Nilai-
nilai dari Orang-orang Yang Mengaktualisasi Diri
Menurut Maslow orang yang mengaktualisasi
diri termotivasi oleh “prinsip hidup yang abadi” (eternal varities) yang ia
sebut sebagai nilai B. Nilai-nilai “Being” (“Kehidupan”) ini merupakan
indikator dari kesehatan psikologis dan merupakan kebalikan dari kebutuhan akan
kekurangan (deficiency needs), yang
memotivasi orang-orang yang nonaktualisasi diri.
Nilai B yang dinaytakan maslow adalah “metakebutuhan” yang
menunjukkan kebutuhan pada level tertinggi dan ia membedakan antara motivasi
kebutuhan dengan motivasi dalam aktualisasi diri yang disebutnya dengan
“metamotivasi”.
Dalam hal ini metamotivasi memiliki ciri-ciri yaitu bertingkahlaku
ekpresif dan hanya orang yang menjunjung tinggi nilai B yang mengaktualisasi
diri dan dengan sendiri mampu melakukan metamotivasi.
Dalam hal ini terdapat 14 nilai B dimana diantaranya yaitu: Kejujuran, kebaikan, keindahan, keutuhan,
perasaan hidup atau spontanitas, keunikan, kesempurnaan, kelengkapan, keadilan
dan keteraturan, kesederhanaan, kekayaan atau totalitas, membutuhkan sedikit
usaha, penuh kesenangan atau kejenakaan, kemandirian atau kebebasan, Nilai
inilah yang membedakan antara orang yang mengaktualisasi diri dengan orang yang
perkembanganpsikologinya berhenti setelah mereka mencapai kebutuhan akan
penghargaan. Dan maslow meyakini bahwa orang yang tidak mencapai metakebutuhan
mereka akan mengalami penyakit, yaitu eksistensi. Tidak terpenuhinya salah satu
nilai B diatas maka akan berakibat pada metapatologi, atau kurangnya filosofi
hidup yang bermakna.
4.
Karakteristik
Dari Orang Yang Mengaktualisasikan Diri
Maslow (dalam Feist & Feist 2010, 345) menyatakan bahwa selain
dari memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar orang yang mengaktualisasikan diri juga
memiliki nilai B, dan berikut ada lima belas karakteristik yang merupakan
ciri-ciri orang yang mengaktualisasikan diri sampai pada batasan tertentu.
a.
Persepsi
Yang Lebih Efisien Akan Kenyataan
b. Penerimaan Akan Diri, Orang Lain, Dan Hal-Hal Yang
Alamiah
c. Spontanitas, Kesederhanaan, Dan Kealamian
d. Berpusat Pada Masalah
e.
Kebutuhan
Akan Privasi
f.
Kemandirian
g.
Penghargaan
Yang Selalu Baru
h.
Pengalaman
Puncak
i.
Gemeinschaftsgefiihl
j.
Hubungan
Interpersonal Yang Kuat
k.
Struktur
Karakter Demokratis
l. Diskriminasi Antara Cara Dan Tujuan
m. Rasa Jenaka/ Humor Yang Filosofis
n.
Kreativitas
o.
Tidak
Mengikuti Enkulturasi/Apa Yang Diharuskan Oleh Kultur
5. Mengukur Aktualisasi Diri
Fiverett L Shostram (1974) mengembangkan Personal
Oiientation Inventory (POI) dalam usahanya untuk mengukur nilai-nilai dan
tingkah laku dari orang-orang yang mengaktualisasi diri Alat im terdiri dari
150 pernyataan dengan 2 pilihan jawaban (forced-choice items)..
POI mempunyai 2 skala utama dan 10 subskala. Skala
utama yang pertama— skala Kemampuan Waktu atau Ketidakmampuan Waktu (Time
Competence atau Time Incompetence scale)—mengukur derajat apakah orang
berorientasi pada masa kini Skala utama yang kedua—skala Pendukung (Support
scale)—"di bentuk untuk mengukur apakah . reaksi seseorang
berorientasi pada "diri sendiri* atau berorientasi pada orang lain*
(Shostrom, 1974, hlm. 4). Sepuluh subskala mengukur derajat.
Alat pengukuran aktualisasi
diri yang lain adalah Brief Index of Sel/ Ai (utilization, yang dibuat
oleh John Sumerlin dan Charles Bundrick (1996, 1998).
B. IMPLEMENTASI TEORI-TEORI
KEPRIBADIAN DALAM BIMBINGAN KONSELING
1.
Aplikasi
Teori Kepribadian Erikson Pada Anak Jenjang Pendidikan TK
a.
Permasalahan
Siswa TK
Dalam
penyelenggaraan pendidikan metode pembelajaran ada berbagai metode yang
dilakukan oleh para pendidik. Diantaranya adalah metode belajar sambil bermain ataupun
bermain sambil belajar. Pada hakikatnya dua macam metode tersebut sama-sama
saling mendukung dalam proses belajar anak didik.
Pada
umumnya dalam proses pendidikan pada anak balita atau usia dini lebih
diutamakan pada metode bermain sambil belajar. Hal ini dilakukan karena metode
ini lebih sesuai dengan kondisi anak-anak yang cenderung lebih suka bermain.
Maka para pendidik memanfaatkan hal ini untuk mendidik mereka dengan cara
bermain sambil belajar yaitu disamping mereka bermain mereka sekaligus mengasah
ketrampilan dan kemampuan. Cara ini akan lebih berkesan dalam memori otak
anak-anak untuk perkembangan pengetahuannya karena pada usia dini adalah
masa-masa perkembangan memori otak sangat pesat.
Di
seluruh dunia anak bermain. Bermain bagi anak bagaikan bekerja bagi manusia
dewasa. Ada anak-anak yang bermain dengan patut, namun ada juga yang bermain
“cukup berbahaya” mereka lakukan sebagai kanak-kanak. Peran pendidikanlah untuk
mengawal bagaimana permainan dapat menumbuh kembangkan mereka secara patut dan
utuh sebagai anak manusia.
Anak-anak
senantiasa tumbuh dan berkembang. Mereka menampilkan ciri-ciri fisik dan
psikologis yang berbeda untuk tiap tahap perkembangannya. Masa anak-anak
merupakan masa puncak kreativitasnya, dan kreativitas mereka perlu terus dijaga
dan dikembangkan dengan menciptakan lingkungan yang menghargai kreativitas
yaitu melalui bermain. Oleh karena itu, pendidikan di TK yang menekankan
bermain sambil belajar dapat mendorong anak untuk mengeluarkan semua daya
kreativitasnya.
Seluruh
potensi kecerdasan anak akan berkembang optimal apabila disirami suasana penuh
kasih sayang dan jauh dari berbagai tindak kekerasan, sehingga anak-anak dapat
bermain dengan gembira. Oleh karena itu, kegiatan belajar yang efektif pada
anak dilakukan melalui cara-cara bermain aktif yang menyenangkan, dan interaksi
pedagogis yang mengutamakan sentuhan emosional, bukan teori akademik.
Menurut Erikson, tahap perkembangan ketiga erikson
adalah usia bermain, periode yang meliputi waktu yang sama dengan fase falik
(phallic) sekitar usia 3-5 Erikson (1982) menyatakan bahwa selain
mengidentifikasi diri dengan orang tua mereka, anak-anak usia prasekolah
mengembangkan daya gerak, keterampilan berbicara, keingintahuaan, imajinasi,
dan kemampuan untuk menentukan tujuan. Pada tahap ini ada beberapa tugas yang
dilalui oleh seorang anak.
a.
Gaya Lokomotor Genital
Erikson melihat situasi Oedipal sebagai prototipe
“kekuatan seumur hidup akan keriangan manusia”. Dengan kata lain, Oedipus
conplex adalah drama yang dimainkan dalam imajinasi anak-anak mencakup pengertian yang
dimulai meningkat akan konsep dasar, seperti reprodusi, pertumbuhan, masa
depan, dan kematian.
b.
Inisiatif
Versus Rasa Bersalah
Tahap ini
adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa
disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak
menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun
(pra sekolah). Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk
belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan.
Pada umumnya di tahap ini anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi,
memanjat dan suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi
dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua
berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam
bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan
perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Sebaliknya bila orangtua kurang
memahami, kurang sabar, suka memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan
pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat,
maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif
untuk mendekati apa yang diinginkannya.
c.
Tujuan (Kekuatan Dasar
Usia Bermain)
Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan, bersaing dalam
permainan dengan tujuan menang atau mencapai puncak. Mereka menentukan sasaran
dan mengejar sasaran itu dengan tujuan. Usia bermain juga merupakan tahpan
dimana anak-anak mengembangkan hati nurani dan mulai meletakkan benar dan salah
pada tingkah laku mereka. Hati nurani di masa muda ini menjadi landasan akan
moralitas.
Jenis Kegiatan Bermain
Ada tiga jenis kegiatan bermain
yang mendukung pembelajaran anak, yaitu, bermain fungsional atau sensorimotor,
bermain peran, dan bermain konstruktif.
Bermain fungsional atau sensorimotor dimaksudkan bahwa anak
belajar melalui panca inderanya dan melalui hubungan fisik dengan
lingkungannya. Kebutuhan sensorimotor anak didukung ketika anak-anak disediakan
kesempatan untuk bergerak secara bebas berhubungan dengan bermacam-macam bahan
dan alat permainan, baik di dalam maupun di luar ruangan, dihadapkan dengan
berbagai jenis bahan bermain yang berbeda yang mendukung setiap kebutuhan
perkembangan anak. Anak dibina dengan berbagai cara agar mereka dapat bermain
secara penuh dan diberikan sebanyak mungkin kesempatan untuk menambah macam
gerakan dan meningkatkan perkembangan sensorimotor.
Bermain peran disebut juga bermain simbolik,
pura-pura, fantasi, imajinasi, atau bermain drama. Bermain peran ini sangat
penting untuk perkembangan kognisi, sosial, dan emosi anak pada usia tiga
sampai enam tahun. Bermain peran dipandang sebagai sebuah kekuatan yang menjadi
dasar perkembangan daya cipta, tahapan ingatan, kerja sama kelompok, penyerapan
kosa kata, konsep hubungan kekeluargaan, pengendalian diri, keterampilan
spasial, afeksi, dan keterampilan kognisi. Bermain peran memungkinkan anak
memproyeksikan dirinya ke masa depan dan menciptakan kembali masa lalu.
Kualitas pengalaman main peran tergantung pada beberapa faktor, antara lain;
(1) cukup waktu untuk bermain, (2) ruang yang cukup, dan (3) adanya peralatan
untuk mendukung bermacam-macam adegan permainan.
Menurut Erikson terdapat dua
jenis bermain peran, yaitu bermain peran mikro dan makro. Bermain peran mikro
dimaksudkan bahwa anak memainkan peran dengan menggunakan alat bermain
berukuran kecil, misalnya orang-orangan kecil yang lagi berjual beli. Sedangkan
bermain peran makro, anak secara langsung bermain menjadi tokoh untuk memainkan
peran-peran tertentu sesuai dengan tema. Misalnya peran sebagai ayah, ibu, dan
anak dalam sebuah rumah tangga.
Bermain konstruktif dilakukan melalui kegiatan bermain untuk
membuat bentuk-bentuk tertentu menjadi sebuah karya dengan menggunakan beraneka
bahan, baik bahan cair, maupun bahan terstruktur, seperti air, cat, krayon,
playdough, pasir, puzzle, atau bahan alam lain. Bermain pembangunan menurut
Piaget dapat membantu mengembangkan keterampilan anak dalam rangka keberhasilan
sekolahnya dikemudian hari. Melalui bermain pembangunan, anak juga dapat
mengekspresikan dirinya dalam mengembangkan bermain sensorimotor, bermain
peran, serta hubungan kerja sama dengan anak lain dan menciptakan karya nyata.
Dalam kegiatan bermain, dikenal
adanya konsep intensitas dan dentitas. Konsep intensitas menekankan
pada jumlah waktu yang dibutuhkan anak untuk berpindah melalui tahap
perkembangan kognisi, sosial, emosi, dan fisik yang dibutuhkan Misalnya
anak-anak harus memiliki pengalaman harian yang memungkinkan mereka untuk
berinteraksi dengan bahan yang bersifat cair, mendapatkan kesempatan untuk
menggambar, melukis, dan keterampilan awal menulis. Bahan-bahan seperti kertas
dengan tekstur, ukuran, dan warna yang berbeda, dengan spidol dan krayon, papan
lukis dengan kertas berbagai ukuran dan kuas akan membantu anak sepanjang waktu
untuk berkembang melalui tahap awal dari corat-coret menuju ke penciptaan
sesuatu yang bermakna dan menuju ke menulis kata dan kemudian kalimat.
Konsep densitas menekankan pada
keanekaragaman kegiatan bermain yang disediakan untuk anak di lingkungannya.
Kegiatan ini harus memperkaya kesempatan pengalaman anak melalui beberapa jenis
bermain yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan perkembangan anak.
Misalnya untuk melatih keterampilan pembangunan anak dapat menggunakan cat di
papan lukis, nampan cat jari, cat dengan kuas kecil di atas meja, dan
sebagainya. Anak-anak dapat menggunakan palu dengan paku dan kayu, sisa-sisa
bahan bangunan untuk berlatih keterampilan pembangunan terstruktur. Dengan
demikian berarti dalam kegiatan bermain harus mempunyai intensitas dan dentitas
yang memadai.
Dengan menyediakan beraneka
jenis mainan yang tepat bagi anak, peralatan, dan tempat yang memadai, serta
memberi kesempatan yang cukup kepada anak untuk bermain, misalnya anak mendapat
kesempatan memilih serangkaian kegiatan bermain setiap hari untuk terlibat
dalam bermain peran, bermain pembangunan, dan sensorimotor, hal itu berarti
memberi layanan pendidikan kepada anak TK secara optimal.
Untuk menunjang kebutuhan guru
TK dalam penguasaan materi permainan untuk siswa TK maka perlu diselengarakan Pelatihan
untuk guru-guru TK.
Rancangan pelatihan Untuk Guru
TK
a.
Rencana
Program
Program yang
akan diselenggarakan adalah Pelatihan Guru dalam menyusun naskah cerita dan
membuat sosiodrama.
Pelatihan ini
dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru TK dalam membuat
cerita dan membuat sosiodrama untuk
anak-anak TK.
b.
Rencana
Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan
ini adalah Musyawarah Guru TK Kota Semarang dengan susunan sebagai berikut :
1.
Penyelenggara : Musyawarah Guru TK (MGTK) Kota Semarang
2.
Penanggungjawab : Ketua MGTK Kota Semarang
3.
Instruktur : Dosen PGTK Universitas Negeri Semarang
4.
Peserta : Guru TK dan PAUD sekota Semarang
5.
Anggaran : Kas MGTK, Iuran Peserta, Sponsor.
c.
Rencana
Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : Sabtu-Minggu/25-26 Juni 2016
Pukul :
08.00 – 16.30 WIB
Tempat : Gedung Serba Guna UNNES
Metode
Kegiatan :
1.
Curah pendapat (brain storming) digunakan
untuk menggali masalahmasalah yang dijumpai oleh guru TK dalam pelaksanaan
bercerita,
2.
membuat cerita dan menyusun
sosiodrama guna stimulasi kognisi, afeksi dan motorik anak TK
3.
Ceramah, dipakai untuk menyampaikan
materi tentang bercerita, membuat cerita dan menyusun sosiodrama
4.
Diskusi dan tanya jawab digunakan
untuk membahas berbagai masalah tentang pelaksanaan bercerita, membuat cerita
dan menyusun sosiodrama
5.
Lomba Bercerita, Membuat Cerita dan
Menyusun Sosiodrama
masyarakat
adalah sebagai berikut :
Materi Kegiatan :
1.
Pentingnya permainan pada anak usia
dini
2.
Meningkatkan pemahaman para guru TK
tentang metode cerita dan sosiodrama dalam pembelajaran di TK.
3.
Praktek membuat cerita untuk anak
4.
Praktek menyusun sosidrama yang
dapat dipraktekkan anak
5.
Lomba Cerita bagi peserta
6.
Lomba menyusun nakah sosiodrama bagi
peserta
Diharapkan setelah
peserta mengikuti pelatihan ini mampu:
1.
Memahami
konsep bermain untuk perkembangan anak
2.
Mampu
menyusun cerita untuk anak
3.
Mampu
menyusun naskah sosiodrama dan mempraktekkannya.
d.
Rencana
Evaluasi
1)
Evaluasi proses yaitu mengevaluasi
jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
2)
Evaluasi hasil dilakukan untuk
memperoleh informasi keefektifan kegiatan pelatihan dalam pengembangan metode
cerita dan sosiodrama dalam pembelajaran di TK.
2.
Aplikasi
Teori Kepribadian Behavior Skinner Pada
Anak Jenjang Pendidikan SD
a.
Contoh
Masalah pada siswa SD
Proses belajar anak SD merupakan kondisi
yang sangat penting sebagai landasan pendidikan anak. Namun demikian kondisi
belajar tesebut terkadang mengalami permasalahan yang tentu saja dapat mempengaruhi
proses belajar anak. Guru menyadari bahwa bermacam ragam permasalahan belajar
dialami siswa. Bahkan guru juga harus kondisi fisikm psikis, maupun lingkungan
siswa juga dapat jadi sumber timbulnya masalah-masalah dalam belajar. Ada anak
yang memiliki kemampuan belajar kurang cepat menagkap materi pembelajaran,
namun juga ada yang dengan cepat dapat menangkap materi pembelajaran.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan
pemahan yang tepat bagi guru SD tentang
teori-teori belajar. Diantaranya adalah teori yang dicetuskan oleh Skinner.
Dalam proses belajar – mengajar menyangkut pemberian reinforcement baik positif
maupun negative.
Rencana pelatihan yang akan diberikan
adalah pelatihan tentang teori pembelajaran.
b.
Rancangan pelatihan Untuk Guru SD
Rencana Program
Program yang
akan diselenggarakan adalah Pelatihan Guru SD
alam pemberian penguat positi maupun negative terhadap siswa. Pelatihan ini dilaksanakan bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan guru SD dalam penguasaan teori belajar .
c.
Rencana
Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan
ini adalah Musyawarah Guru SD Kota Semarang dengan susunan sebagai berikut :
1.
Penyelenggara : Musyawarah guru SD
2.
Penanggungjawab : Ketua musyawarah guru SD
3.
Instruktur : Dosen PGSD Universitas
Negeri Semarang
4.
Peserta : Guru SD se kota
semarang
5.
Anggaran : Kas MGSD, Iuran
Peserta,
Donatur, Sponsor.
d.
Rencana
Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : Sabtu/25 Juni 2016
Pukul :
08.00 – 16.30 WIB
Tempat : Gedung Serba Guna UNNES
Metode
Kegiatan :
1.
Ceramah
2.
Diskusi
Materi Kegiatan :
1. Presentasi
tentang teori behavioristik
2. Diskusi
peserta
Diharapkan setelah
peserta mengikuti pelatihan ini mampu:
1.
Memahami
konsep tentang behavioristik
2.
Mampu
memahami kondisi psikis anak
e.
Rencana
Evaluasi
1.
Evaluasi proses yaitu mengevaluasi
jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
2.
Evaluasi hasil dilakukan untuk
memperoleh informasi tentang perkembangan anak didik.
3.
Aplikasi
Teori Kepribadian Person Center Rogers Pada Anak Jenjang Pendidikan SMP
a.
Contoh
Permasalahan Pada Jenjang SMP
Secara umum keberhasilan siswa
dalam mengikuti. pelajaran di sekolah merupakan ukuran dari berhasil atau
tidaknya seorang siswa mencapai tujuannya. Dalam pendidikan, berhasilnya
seorang siswa memenuhi tuntutan tugas pelajarannya merupakan suatu
kesuksesan.Keberhasilan ataupun kegagalan yang dialami siswa dapat merupakan
suatu pengalaman belajar. Pengalaman belajar ini dapat menghasilkan
perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan atau pemahaman tarhadap sesuatu,
dalam bidang ketrampian dan dalam bidang tingkah laku. Pengalaman belajar dari
siswa dapat dinilai oleh pendidik melalui prestasi belajar. Oleh karena itu, diperlukan
konsep diri yang positif, yakni sesuai dengan apa sebenarnya ada pada diri
siswa. Dengan konsep diri yang positif, siswa diharapkan dapat mencapai
prestasi belajar yang memadai. Konsep diri besar pengaruhnya terhadap perilaku.
Oleh karena itu, perlu dicari upaya atau intervensi untuk meningkatkan konsep
diri mereka, sehingga dikemudian hari, anak-anak ini dapat berkembang menjadi
manusia pembangunan yang berkualitas.
Konsep diri
(self concept) menurut Rogers adalah
konsep dimana dimana “aku“ merupakan pusat referensi seluruh aspek di setiap
pengalaman yang disadari. Konsep diri (self
concept) adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang
berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Dibagi menjadi
2:
a.
Konsep Diri Real : kenyataaan yang
ada pada diri individu / individu apa adanya.
b.
Konsep Diri Ideal : pandangan
seseorang terhadap diri sebagaimana yang ia harapkan, bersifat positif, dan
ingin dimiliki seseorang.
Hubungan keduanya:
a.
Kongruen,
apabila ada sedikit saja perbedaan antara konsep diri real dan diri ideal,
individu akan cenderung sehat secara psikologis.
b.
Inkongruen,
apabila ada perbedaan
yang signifikan antara konsep diri real dan
diri ideal, individu akan cenderung sakit secara psikologis
karena mengalami kecemasan & ancaman.
Karena
begitu pentingnya konsep diri bagi perkembangan siswa, maka diperlukan
pemahaman konsep diri yang benar bagi peserta didik.
Burns (1993)
menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri sebagai
berikut :
a. Diri fisik
dan citra tubuh, yaitu evaluasi terhadap diri fisik sebagai suatu obyek yang
jelas-jelas berbeda. Kesadaran dan citra tubuh yang pada mulanya dilengkapi
melalui persepsi indrawi, adalah inti mendasar dimana acuan diri dan identitas
dibentuk.
b. Bahasa,
yaitu kemampuan untuk mengkonseptualisasikan dan memverbalisasikan diri dan
orang-orang lainnya. Bahasa timbul untuk membantu proses diferensiasi yang
berlangsung lambat dari diri orang-orang lainnya begitu pula untuk memudahkan
pemahaman atas banyak umpan balik dari orang lain.
c. Umpan balik
dari orang lain yang dihormati, umpan balik ini ditafsirkan dari lingkungannya
tentang bagaimana orang-orang lain yang dihormatinya memandang pribadi tersebut
dan tentang bagaimana pribadi tadi secara relatif ada dibandingkan norma-norma
dan nilai-nilai masyarakat yang bermacam-macam.
d. Identifikasi dengan model peranan
seks yang stereotipenya sesuai.
e. Praktek-praktek membesarkan anak atau pola asuh.
Untuk dapat memberikan pemahaman
konsep diri yang benar dan supaya dapat melatih konsep diri pada peserta didik,
maka diperlukan pelatihan Pemahaman konsep diri untuk guru-guru BK SMP di kota
Semarang
b. Rancangan pelatihan Untuk Guru
BK SMP
1.
Rencana
Program
Program yang
akan diselenggarakan adalah Pelatihan Pemahaman Konsep Diri Untuk Peserta
Didik..
Pelatihan ini
dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman guru BK dan ketrampilan di dalam melaksanakan pelatihan
konsep diri bagi peserta didik
2.
Rencana
Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan
ini adalah Musyawarah Guru BK Kota Semarang dengan susunan sebagai berikut :
a.
Penyelenggara : Musyawarah Guru BK
(MGBK) Kota Semarang
b.
Penanggungjawab : Ketua MGBK Kota Semarang
c.
Instruktur : Widyaiswara LPMP Kota Semarang
d.
Peserta : Guru BK SMP sekota Semarang
e.
Anggaran : Kas MGBK, Iuran Peserta, Donatur, Sponsor.
3.
Rencana
Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : Sabtu /30 Juli 2016
Pukul :
08.00 – 16.30 WIB
Tempat : Gedung Serba Guna SMP N 2 Semarang
Metode
Kegiatan :
1. Ceramah
dari nara sumber
2. Diskusi
berkaitan dengan materi pelatihan (Konsep diri)
3. Praktek
pelatihan
Materi Kegiatan :
a.
Pemaparan materi oleh nara sumber
b.
Diskusi kelompok
c.
Praktek pelatihan konsep diri
Tahap1 : Pembentukan :
Pada tahap
dilaksanakan perkenalan untuk meningkatkan kohesivitas kelompok
Tujuan : Peserta lebih saling mengenal, Peserta
ikut serta secara
aktif
dalam kelompok
Waktu : 15
menit
Tempat : Ruang
yang cukup untuk menampung semua peserta
(8 guru)
KEGIATAN :
I. Pengantar
Pelatih menjelaskan pada peserta
bagaimana jalannya permainan, dan memberi instruksi cara bermain.
II. Langkah-langkah
1.
Pelatih memotong selembar kartu bergambar
menjadi dua, lalu dicampur aduk, untuk kemudian dibagikan kepada
peserta.
2.
Setelah masing-masing mendapat kartu, peserta
diminta untuk mencari pemilik potongan gambar untuk dicocokkan. Kemudian mereka
berkenalan dengan pasangannya dan meminta penjelasan lengkap tentang dirinya
(nama lengkap, alamat, hobi dan motto hidup).
3.
Selanjutnya peserta diminta duduk kembali dan pasangannya
diminta saling memperkenalkan pasangannya secara bergantian di depan kelas.
4. Selanjutnya
peserta dipilih secara acak untuk diminta menjelaskan peserta lain yang bukan
pasangannya.
Tahap
2 : Kegiatan
Latihan
melihat SIAPA SAYA
Konsep diri adalah jawaban dari
pertanyaan : “Siapakah saya“. Jawaban dari pertanyaan tersebut selanjutnya akan
mempengaruhi cara berfikir dan perilaku seseorang.
Konsep diri seseorang berisi anggapan
dan keyakinan seseorang mengenai diri sendiri berdasarkan kemampuan dan apa
yang diyakininya ada pada dirinya, juga berdasarkan penilaian orang lain
terhadapnya.
Dengan latihan melihat siapa diri kita,
peserta akan dapat menyimpulkan bahwa dirinya adalah baik atau sebaliknya.
TUJUAN :
Agar para peserta mampu menyebutkan aspek positif (kelebihan) dan aspek
negatif (kekurangan) yang ada pada dirinya
.
WAKTU
: 45 menit
TEMPAT
: Ruangan latihan
BAHAN
: Papan tulis
atau kertas, selotip, kartu ukuran kartu pos berwarna putih dan biru.
KEGIATAN :
Langkah-langkah
1. Menjelaskan
langkah-langkah permainan.
2. Pelatih membagi
2 (dua) lembar kertas kosong kepada setiap peserta yang terdiri dari dua -
warna putih dan biru, masing-masing satu lembar.
3. Pada lembar
kertas putih masing-masing perserta diminta menulis satu kebaikan yang menonjol
pada diri peserta.
4. Pada lembar
kertas biru masing-masing perserta diminta menulis satu kekurangan yang
menonjol pada diri peserta.
5. Peserta diminta
menempelkan kertas putih di papan yang telah tersedia.
6. Pelatih
mengelompokkan kertas yang isinya sama atau hampir sama pada kelebihan atau
kekurangan menjadi satu kelompok
7.
Peserta diminta untuk melihat dan menganalisa hasil
tulisan dari kebaikan dan kekurangan untuk mawas diri.
Latihan
Menerima keadaan diri sendiri dari feedback orang lain
Apapun dan
bagaimanapun keadaan diri kita, yang diperlukan adalah keikhlasan untuk
menerima keadaan tersebut yang disertai usaha perbaikan terhadap bagian diri
kita yang dirasa masih kurang.
TUJUAN :
1. Agar para
peserta dapat mengerti kebaikan (kelebihan) serta keburukan (kekurangan)
masing-masing dan dapat bercermin diri.
2.
Agar para peserta dapat intropeksi diri dan mampu
melakukan usaha memperbaiki diri.
WAKTU
: 120 menit.
TEMPAT
: Ruang yang
cukup (memadai).
BAHAN : Evaluasi individual.
LANGKAH -
LANGKAH :
1.
Pelatih menjelaskan cara-cara permainan
2.
Pelatih membagi peserta dalam 2
kelompok.
3.
Setiap anggota kelompok mengevaluasi peserta dikelompok
lain
4.
Salah satu peserta yang akan dievaluasi misal : A,
dipersilahkan keluar dari ruang. Sementara itu
sisanya mendiskusikan kebaikan dan keburukannya selama pelatihan ini
berlangsung.
5.
Setelah berunding dan setiap diutarakan, A dipanggil
masuk dan dievaluasi oleh salah seorang pembicara (ingat patokan memberi
feedback).
6.
Berikan kesempatan pada A untuk
mempertahankan diri atau mengutarakan pendapatnya.
7.
Setelah puas, ganti dengan B dan seterusnya hingga semua
mendapat giliran.
8.
Pelatih membagikan kertas putih kepada setiap peserta
selama 15 menit.
9.
Setiap peserta diminta untuk menuliskan konsep diri
positif yang akan dilakukan oleh masing-masing peserta sesudah mengikuti pelatihan
ini selama 15 menit.
10.
Kertas yang telah ditulisi tersebut ditempelkan dibawah kertas
biru (konsep diri negatif) yang pernah mereka buat pada saat pembahasan pokok
bahasan Konsep Diri selama 15 menit.
11.
Pelatih menjelaskan dan menerangkan semua kegiatan yang
telah dilakukan (termasuk teori Johari Window ) selama 70 menit.
Pelatihan SAYA ADALAH..........
Setiap orang mempunyai cita-cita dan
keinginan untuk bisa menjadi seperti apa dan memegang peran tertentu apa dalam
perjalanan kehidupannya. Misalnya, ketika meninggal seseorang berkeinginan
untuk mendapatkan penghormatan yang layak. Untuk mendapatkan penghormatan yang
layak tersebut, bagaimana caranya? Jawabannya bisa dicari dari sekarang dengan
menulis Saya Adalah ......
TUJUAN :
Agar para peserta mampu menyebutkan keinginan seperti apakah dirinya setelah
selesai melakukan pelatihan
ini.
WAKTU
: 45 menit
TEMPAT
: Ruangan latihan
BAHAN
: Papan tulis
atau kertas, selotip, kartu ukuran kartu pos berwarna putih dan biru.
KEGIATAN :
Langkah-langkah
1.
Menjelaskan langkah-langkah permainan.
2.
Pelatih membagi 2 (dua) lembar kertas kosong kepada
setiap peserta yang terdiri dari dua warna, putih dan biru, masing-masing satu
lembar.
3.
Pada lembar kertas putih masing-masing peserta diminta
menulis nilai-nilai kebaikan yang diinginkan peserta ada pada dirinya.
4.
Pada lembar kertas biru masing-masing perserta diminta
menulis nilai-nilai yang diinginkan perserta tidak ada pada dirinya lagi.
5.
Peserta diminta menempelkan kertas putih di papan
yang telah tersedia.
6.
Peserta diminta menempelkan kertas biru di papan
yang telah tersedia.
7.
Peserta diminta untuk melihat dan menganalisa hasil
tulisan dari keras putih dan kertas biru untuk mulai mencangkan tekad untuk
dapat mencapainya.
4.
Rencana
Evaluasi
a.
Evaluasi proses yaitu mengevaluasi
jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
b.
Evaluasi hasil dilakukan untuk
memperoleh informasi keefektifan kegiatan pelatihan dalam meningkatkan konsep
diri siswa yang diterapkan dalam program layanan BK.
4.
Aplikasi
Teori Kepribadian Bandura Pada Anak Jenjang Pendidikan SMA
a.
Contoh
Permasalahan Siswa SMA
Remaja memiliki tugas-tugas perkembangan,
salah satu tugas perkembangan remaja adalah pemilihan dan penerapan suatu karir
(Conger, 1991). Pemilihan karir merupakan saat remaja mengarahkan diri kepada
suatu tahap baru dalam kehidupan mereka yaitu melihat posisi dalam menentukan
ke arah mana mereka akan menuju masa depan (Marliyah dkk, 2004)
Berdasarkan tahap perkembangan
karir yang dikemukakan oleh Super, siswa SMA terutama kelas XII semestinya
sudah dapat mengarahkan cita-cita, tujuan masa depan, dan membuat aspirasi
karir berdasarkan minat, kesenangan, kemampuan, kapasitas dan nilai-nilai mereka.
Kenyataannya masih banyak siswa SMA yang tidak mampu mengambil keputusan karir.
Menurut Santrock (2003), remaja sering memandang eksplorasi karir dan
pengambilan keputusan dengan disertai kebimbangan, ketidakpastian, dan stres.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Triana (Setia
Wati, 2005), menunjukkan bahwa 45% siswa Sekolah Menengah Atas belum memiliki
perencanaan mengenai karir yang akan dipilihnya, karena masih mengalami
keraguan.
Agar siswa memiliki pilihan yang tepat
terhadap suatu pilihan karir, siswa harus memiliki pemikiran yang matang dalam
pengambilan keputusan karir. Partino (2006) dalam penelitiannya menyatakan
kematangan karir dipengaruhi oleh faktor-faktor layanan bimbingan, persepsi
penjurusan, riwayat hidup, efikasi diri, dan prestasi akademik. Individu yang
memiliki efikasi diri yang rendah dalam membuat keputusan karir ditandai dengan
ketidaktahuan terhadap kelebihan dan kekurangan dirinya, tidak mendapatkan
informasi yang berhubungan dengan pencapaian karirnya, tidak dapat membuat
tujuan dalam pencapaian karirnya, tidak dapat membuat perencanaan karir dan
tidak tahu bagaimana memecahkan masalah yang berhubungan dengan perjalanan
karirnya (Collins dalam mulyana, 2009).
Efikasi diri dapat ditumbuhkan
dan dipelajari melalui empat sumber informasi utama, yaitu: (a) Pengalaman
keberhasilan (Mastery experience), pengalaman-pengalaman yang dialami
individu secara langsung, (b) Pengalaman orang lain (Vicarious experience), individu
yang melihat orang lain berhasil dalam melakukan aktivitas yang sama dan
memiliki kemampuan yang sebanding akan dapat meningkatkan efikasi dirinya, (c)
Persuasi verbal, pesuasi verbal yang dialami individu yang berisi nasehat dan
bimbingan yang realistis dapat membuat individu merasa semakin yakin bahwa ia
memiliki kemampuan yang dapat membantunya untuk mencapai tujuan yang
diinginkan, (d) Keadaan fisiologis dan emosional, situasisituasi psikologis
dimana individu harus menilai kemampuan, kekuatan, dan ketentraman terhadap
kegagalan atau keberhasilan individu masing-masing.
Lebih lanjut Bandura
(1997) menunjukkan ada tiga aspek dalam efikasi diri, yaitu: (a) Magnitude, berkaitan
dengan tingkat kesulitan tugas. (b) Generality, berhubungan luas bidang
tugas atau tingkah laku. c. Strength, berkaitan dengan tingkat
kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya.
b.
Rancangan pelatihan Untuk Guru BK SMA
1.
Rencana
Program
Program yang
akan diselenggarakan adalah Pelatihan tentang Efikasi Diri. Pelatihan ini
dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam peningkatan
efikasi diri siswa.
2.
Rencana
Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan
ini adalah Musyawarah Guru BK SMA se-Kota Semarang dengan susunan sebagai
berikut :
Penyelenggara :
MGBK Kota Semarang
Penanggungjawab : Ketua MGBK Kota Semarang
Instruktur :
Dosen Jurusan BK Universitas Negeri Semarang
Peserta :
Guru BK SMA sekota Semarang
Anggaran :
Kas MGTK, Iuran Peserta, Donatur, Sponsor.
3.
Rencana
Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : Sabtu, 6 Agustus 2016
Pukul :
08.00 – 16.30 WIB
Tempat :
Gedung Aula 1 SMA N 1 Semarang
Metode
Kegiatan :
a.
Presentasi
b.
Diskusi
c.
Praktek
Materi Kegiatan :
a.
Materi tentang self efficacy
b.
Modul Pelatihan Self Efficacy
Modul Pelatihan Efikasi Diri
Pelatihan
efikasi diri disusun berdasarkan aspek efikasi diri berdasarkan teori Bandura
(1997), yaitu magnitude, generality, strength dan Abdullah (2003)
yaitu problem solving dan keberanian mengambil resiko. Metode yang
digunakan adalah ceramah, tugas, diskusi, permainan.
Kegiatan
yang dikembangkan dalam pelatihan ini berdasarkan aspek-aspek efikasi diri
menggunakan sumber-sumber efikasi diri yaitu pengalaman keberhasilan, paparan
model dan persuasi verbal baik melalui diskusi maupun motivasi dari trainer
mampu meningkatkan efikasi diri partisipan.
Beberapa
kegiatan dalam aspek magnitude (berkaitan dengan tingkat kesulitan
tugas) yaitu permainan “visualisasi konsep diri” bermanfaat untuk mengetahui
sejauh mana peran individu di dalam masyarakat, keluarga, sekolah sedangkan
latihan pengenalan “potensi diri” bertujuan untuk membuat individu lebih
mengenali kemampuan yang dimiliki sehingga dapat memperkirakan tindakan yang
akan dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Menurut Bandura
(Alwisol, 2004) bahwa efikasi diri dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui mastery
experience (pengalaman keberhasilan). Apabila seseorang
pernah mengalami keberhasilan di masa lalu maka akan dapat meningkatkan efikasi
dirinya.
Keberhasilan
tersebut juga dapat mengurangi kegagalan, khususnya bila kegagalan tersebut
timbul dari awal suatu peristiwa. Selain itu adanya persuasi verbal yang
dilakukan oleh trainer dengan memberikan penguatan positif pada kelebihan dan
kelemahan potensi yang dimiliki bermanfaat untuk menumbuhkan motivasi peserta.
Kegiatan yang dikembangkan dari aspek generality (berhubungan dengan
luas bidang tugas atau tingkah laku) yaitu cerita perjuangan untuk meraih
kesuksesan serta penayangan video dari tokoh-tokoh sukses bertujuan untuk
membangkitkan optimisme sehingga mampu menumbuhkan keyakinan individu mengenai
kemampuan dalam mencapai suatu tujuan. Sedangkan kegiatan bermain peran
“cita-citaku” bertujuan untuk membangkitkan keyakinan peserta mengenai
pengharapan pada tujuan yang ingin dicapai. Bandura (Alwisol, 2004) menyatakan
bahwa efikasi diri dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui pengalaman orang
lain (Vicarious experience) dengan mengamati model yang nyata (Live
Modelling).
Kegiatan
yang dikembangkan dari aspek strength (tingkat kekuatan atau kemantapan
seseorang terhadap keyakinannya) yaitu ceramah tentang adversity quotient bertujuan
untuk memberikan pengetahuan kepada peserta mengenai pentingnya keyakinan dan
kerja keras dalam mencapai tujuan atau keberhasilan. Sedangkan permainan lempar
bola bertujuan untuk melatih peserta agar fokus dan yakin berhasil pada tujuan
yang ingin dicapainya. Partisipan juga diberikan tugas membuat perencanaan
“peta masa depanku” bertujuan untuk membantu peserta membuat target atau
rencana yang ingin dicapai, yaitu membuat rencana jangka pendek yang ingin
dilakukan dalam satu tahun dan rencana jangka panjang yaitu target yang ingin
dicapai atau rencana yang ingin dilakukan hingga sepuluh tahun kedepan serta
usaha yang akan dilakukan.
Dengan
menciptakan tujuan bagi dirinya sendiri dan merencanakan tindakan-tindakan
untuk merealisasikan masa depannya partisipan memotivasi dirinya sendiri dan
menuntun tindakan-tindakannya dengan menggunakan pemikiranpemikiran tentang
masa depan sehingga dalam diri partisipan akan terbentuk keyakinan mengenai apa
yang dapat dilakukan. Keyakinan diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan
pribadinya. Semakin kuat keyakinan diri, maka semakin tinggi tujuan yang
ditetapkan oleh partisipan maka akan semakin memperkuat komitmen partisipan
terhadap tujuan tersebut.
Diharapkan setelah
peserta mengikuti pelatihan ini mampu:
a.
Memahami
konsep self efficacy diri
b.
Dapat
memberikan pelatihan self efficacy terhadap peserta didik SMA
5.
Rencana
Evaluasi
1.
Evaluasi proses yaitu mengevaluasi
jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
2.
Evaluasi hasil dilakukan untuk
memperoleh informasi keefektifan kegiatan pelatihan
5.
Aplikasi
Teori Kepribadian Maslow Pada Santri Pondok Pesantren
a.
Contoh
Permasalahan Santri di
Bahasa sebagai alat komunikasi
merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan
sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain.
Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai
oleh nenek moyang kita dan orang-orang yang sebaya dengan kita. Sebagai alat
komunikasi, bahasa merupakan saluran untuk menyampaikan maksud seseorang,
melahirkan perasaan dan memungkinkan setiap individu untuk menciptakan kerja
sama dengan warga
Ekspresi diri manusia dalam
berbahasa memiliki keterkaitan dengan teori Abraham Maslow yaitu aktualisasi
diri. Dimana setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda dalam
berkomunikasi, hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh faktor internal
(kepercayaan diri) dan eksternal (lingkungan). Dalam hal ini Abraham Maslow
seorang pelopor aliran humanistik mengemukakan bahwa setiap individu memiliki
beberapa kebutuhan yang digunakan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya
Pesantren merupakan sebuah tempat
untuk dapat mengembangkan potensi diri seseorang. Pesantren adalah sebuah
tempat dimana banyak para pelajar berkumpul untuk menuntut ilmu, mereka
memiliki julukan khusus yaitu santri. Di tempat ini, santri dapat
bersosialisasi, yaitu berkomunikasi antara santri satu dengan santri yang
lainnya. Berkumpulnya banyak santri dalam suatu pesantren tentunya tidak lepas
dari adanya suatu peraturan dan kegiatan. Kegiatan merupakan salah satu ajang
bagi santri untuk dapat menunjukan potensinya, sehingga pesantren merupakan
suatu tempat yang dapat dijadikan penelitian untuk mengetahui tingkat
aktualisasi diri santri.
Namun sebagai ajang aktualisasi
dalam berbahasa asing, ternyata para santri masih kurang maksimal dalam
berbahasa asing. Berdasarkan hal tersebut diperlukan pelatihan untuk
membangkitkan motivasi berpada santri. Para pengurus perlu di training tentang
cara-cara memberikan motivasi ke santri.
b.
Rancangan pelatihan Untuk Pengurus Pesantren
1.
Rencana
Program
Program yang
akan diselenggarakan adalah Training For Trainer (TOT). Pelatihan ini
dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurus pesantren di dalam
memotivasi santri dalam berbahasa asing.
2.
Rencana
Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan
ini adalah Yayasan Ponpes Al Hikmah Semarang dengan susunan sebagai berikut :
Penyelenggara :
Yayasan Ponpes Al Hikmah
Penanggungjawab : Ketua Yayasan
Instruktur :
Trainer TOT
Peserta :
Pengurus Pesantren
Anggaran :
Keuangan Yayasan, sponsor.
6.
Rencana
Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : Jum’at – Sabtu/5- 6 Agustus 2016
Pukul :
08.00 – 16.30 WIB
Tempat :
Aula Pesantren
Metode
Kegiatan :
Class presentation, inter-active
discussion, real case study analysis, dan video presentation
SASARAN :
Peserta mampu merencanakan dan menyusun program pelatihan
yang efektif, dengan:
·
Mampu
menganalisis kebutuhan pelatihan.
·
Terampil
dalam menggunakan berbagai metode pelatihan
·
Terampil
dalam menyampaikan materi pelatihan dalam suasana interaktif, menyenangkan dan
sesuai kebutuhan pelatihan
TOPIK
YANG DIBAHAS :
Sikap
Positif , Rahasia Trainer yang Sukses
·
Sikap yang
Tepat/Perubahan Mindset
·
Kunci
Sukses Keberhasilan seorang Trainer.
·
Prinsip
fundamental membangun sikap dan berpikir positif
·
Memahami
hambatan menjadi trainer dan cara mengatasinya
·
Motivasi
seorang trainer
·
Latihan:
Membangun sikap positif terhadap diri sendiri, peserta pelatihan
Ketrampilan
komunikasi & Presentasi & Terampil Menggunakan Alat Bantu
·
Penggunaan
bahasa tubuh, vocal, intonasi, ekspresi
·
Listening
skills
·
Cara
Mengatasi Rasa Gugup ketika membuka sesi dan selama pelatihan
·
Tehnik Bertanya
untuk merangsang proses berpikir dan membangun partisipasi
·
Memahami
penggunaan Audio-Visual Aids secara efektif.
·
Mengenal
alat peraga atau aktivitas games dan role-play dengan baik.
·
Latihan:
Praktek Penggunaan Alat Bantu Pelatihan
Mengembangkan
Energizer
·
Mengenal
Difinisi Dan Tujuan Ice Breaking
·
Pentingya
Energizer di kelas
·
Mempelajari
Teknik-teknik Energizer: Ice breakers, Humor, Story Telling, Games Competition,
Role-Play, Memfasilitasi Diskusi, Presentasi dan penetapan Ground Rules.
·
Role-Play:
Praktek Berlatih untuk Energizing Kelas
·
Mengembangkan
kreatifitas
Menghadapi
bawahan/Peserta dan Situasi yang Sulit
·
Menghadapi
bawahan dan situasi sulit.
·
Strategi
dalam menghadapi bawahan dan situasi sulit.
·
Case study
dan Role-Play
·
Menghadapi
bawahan :”tidak nyambung”, pemonopoli, argumentatif,pengeluh, pendiam, bosan
·
Analisa
karakter bawahan
·
Contoh
Pertanyaan Terbuka,Tertutup, Konvergen,Divergen dan Evaluatif
Mendisain
Materi Pelatihan
·
Menetapkan
Tujuan Pelatihan
·
Mengembangkan
Outline Pelatihan
·
Menetapkan
Tipe-Tipe Pembelajaran
·
Analisis
kebutuhan pelatihan
·
Latihan:
Membuat Tujuan dan Outline Pelatihan
·
Mengembangkan
Outline Pelatihan
Memilih
Metoda Pelatihan yang Tepat
·
Mengenal
Prinsip Adult-Learning & Accelerated Learning
·
Menentukan
Metode Pelatihan dengan Mengenal Cara Orang Belajar
·
Menetapkan
Tipe-Tipe Pembelajaran
·
Latihan:
Mengaplikasikan prinsip Adult and Accelerated Learning dalam Materi Pelatihan
Training
Delivery Contest and Feedback
for
Improvement
·
Praktek
dalam membawakan materi pelatihan untuk setiap peserta @ 5 menit.
·
Setelah
membawakan materi peserta akan memperoleh masukan dari Master Trainer dan
peserta lainnya
·
Evaluasi
pelatihan
·
Dalam sesi
awal juga akan dilakukan latihan presentasi, agar peserta dapat membandingkan
sebelum dan sesudah training
Pada
workshop ini akan kami sediakan Handycam untuk merekam setiap latihan dari para
peserta, dan hasilnya akan dibagikan kepada masing-masing peserta sebagai bahan
masukan dan perbaikan.
Diharapkan setelah
peserta mengikuti pelatihan ini mampu:
c.
Memahami
konsep self efficacy diri
d.
Dapat
memberikan pelatihan self efficacy terhadap peserta didik SMA
7.
Rencana
Evaluasi
1.
Evaluasi proses yaitu mengevaluasi
jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
2.
Evaluasi hasil dilakukan untuk
memperoleh informasi keefektifan kegiatan pelatihan
BAB III
SIMPULAN
Teori kepribadian mempunyai arti yang sangat penting
pada perkembangan hidup manusia. Banyak aplikasi yang dapat diperoleh dari
teori-teori kepribadian yang ada.Dunia pendidikan sebagai tempat berkembangnya
potensi-potensi manusia, sangat merasakan arti pentingnya teori-teori
kepribadian yang telah dikembangkan oleh tokoh-tokohnya.
Guru untuk menjalankan tugasnya memerlukan pemahaman terhadap teori-teori
kepribadian terutama guru bimbingan konseling, supaya dalam menjalankan
tugasnya dapat memahami siswa dengan seutuhnya.
Pelatihan-pelatihan diperlukan untuk meningkatkan kompetensi dari
para pendidik kita supaya mereka memiliki bekal yang yang cukup di dalam
melakukan proses pembelajaran karena saat ini perkembangan teknologi sudah
sangat pesat dan permasalahan-permasalahan siswa juga semakin komplek sehingga diperlukan
ketrampilan yang lebih lengkap bagi para pendidik.
DAFTAR PUSTAKA