Sunday 21 August 2016

IMPLEMENTASI TEORI-TEORI KEPRIBADIAN PADA LEMBAGA-LEMBAGA FORMAL DAN NON FORMAL






BAB I
PENDAHULUAN


Kepribadian selalu menjadi topik bahasan yang penting. Psikologi lahir sebagai ilmu yang berusaha memahami  manusia seutuhnya, yang hanya dapat dilakukan melalui pemahaman tentang kepribadian. Teori psikologi kepribadian melahirkan konsep konsep seperti dinamika pengaturan tingkah laku, pola tingkah laku, model tingkah laku dan perkembangan repertoir tingkah laku dalam rangka mengurangi kompleksitas tingkah laku manusia.
Teori kepribadian bersifat deskriptif dalam wujud penggambaran organisasi tingkah laku secara sistematis dan mudah dipahami. Tidak ada tingkah laku yang terjadi begitu saja tanpa alasan, pasti ada faktor faktor anteseden, sebab musabab, pendorong, motivator, sasaran tujuan, ataupun latar belakangnya.
 Kepribadian merupakan keseluruhan sikap, perasaan, ekspresi, temparmen, ciri-ciri khas dan prilaku seseorang. Sikap perasaan ekspresi dan tempramen itu akan terwujud dalam  tindakan seseorang jika di hadapkan pada situasi tertentu. Setiap orang mempunyai kecenderungan prilaku yang baku, atau berlaku terus menerus secara konsisten dalam menghadapai situasi yang di hadapi, sehingga menjadi ciri khas pribadinya. Ada beberapa unsur-unsur dari kepribadian. Diantaranya adalah sebagai berikut :
Dalam kepribadian tersimpan unsure pengetahuan, perasaan dan dorongan naluri. Pengetahuan merupakan suatu unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa orang yang sadar. Alam sekitar manusia terdapat berbagai hal yang diterimanya melalui panca inderanya  yang masuk kedalam berbagi sel di bagian-bagian tertentu dari otaknya. Dan didalam otak tersebutlah semuanya diproses menjadi susunan yang dipancarkan oleh individu kealam sekitar, yang dikenal sebagai “persepsi” yaitu; “seluruh proses akal manusia yang sadar”. Ada kalanya suatu persepsi yang diproyeksikan kembali menjadi suatu penggambaran berfokus tentang lingkungan yang mengandung bagian-bagian.  Perasaan adalah suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang karena pengetahuannya dinilai sebagai keadan yang positif atau negatif. Sedangkan dorongan naluri merupakan kesadaran manusia mengandung berbagi perasaan berbagi perasaan lain yang tidak ditimbulkan karena diperanguhi oleh pengetahuannya, tetapi karena memang sudah terkandung di dalam organismenya, khususnya dalam gennya, sebagai naluri. Dan kemauan yang sudah meruapakan naluri disebut “Dorongan”.
Dalam dunia pendidikan teori-teori kepribadian mempunyai peranan yang sangat penting di dalam upaya untuk memahami peserta didik. Karena tanpa melakukan pemahan yang baik terhadap peserta didik maka sasaran pendidikan tidak dapat tercapai dengan baik.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis berusaha untuk mengimplikasikan  teori-teori kepribadian di dalam pelatihan untuk mengatasi permasalahan peserta didik dari berbagai jenjang pendidikan bagi para guru yang berkecimpung di dunia pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN


A.  KONSEP DASAR TEORI-TEORI KEPRIBADIAN
1.    TEORI ERIKSON
a.    Prinsip-prinsip Teori Erikson
Berikut adalah macam-macam prinsip teori Erikson:
a.       Manusia mempunyai keperluan asas yang sama.
b.      Perkembangan individu bergantung kepada tindak balas terhadap keperluan-keperluan asas.
c.       Perkembangan manusia mengikut tahap-tahap yang tertentu.
d.      Setiap tahap mempunyai konflik dan konflik ini mesti diatasi sebelum individu dapat berfungsi dengan jayanya pada tahap yang berikutnya.
e.       Kegagalan mengatasi konflik pada suatu tahap akan menjejaskan perkembangan tahap yang berikutnya.
b.   Tahap-tahap Perkembangan Psikososial
Psikososial dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh pengaruh-pengaruh social yang berinteraksi dengan individu yang menjadi matang secara fisik dan psikologis.
Untuk memahami ke delapan tahap perkembangan psikososial Erikson, kita memerlukan sebuah pengertian tentang beberapa hal dasar.
Pertama, pertumbuhan berjalan menurut prinsip epigenetic. Yaitu, satu bagian komponen muncul dari bagian komponen sebelumnya dan memiliki waktunya sendiri untuk muncul namun, tidak pernah menghilangkan sepenuhnya komponen-komponen sebelumnya.
Kedua, disetiap tahap kehidupan pendapat sebuah interaksi hal-hal yang berlawanan-yaitu konflik antara elemen sintonik (harmonis) dan elemen distonik ( konflik).
Ketiga, disetiap tahapan, konflik antara elemn-elemen distonik dan sintonik menghasilkan sebuah kualitas ego atau kekuatan ego, yang disebut Erikson kekuatan dasar (basic strength).
Keempat, kekuatan dasar yang terlalu kecil disetiap tahapan akan menghasilkan patologi inti (core phatology) ditahapan tersebut. 
Kelima, meskipun erikson menyebutkan kedelapan tahapan ini sebagai tahap-tahap psikososial, dia tidak pernah melepaskan keberadaan aspek biologis perkembangan manusia.
Keenam, peristiwa-peristiwa ditahap-tahap sebelumnya bukan satu-satunya penyebab perkembangan kepribadian berikutnya. Lebih tepatnya, identitas ego dibentuk oleh multiplisitas konflik dan peristiwa-masa lalu, masa kini dan antisipasi masa depan.
Ketujuh, selama tahap perkembangan namun, khusus dari masa remaja kedepan, perkembangan kepribadian dicirikan oleh sebuah krisis identitas, yang disebut Erikson “sebuah titik balik”, sebuah periode krusial dari potensi yang semakin rapuh dan meninggi.” Karena itu, di setiap krisis, setiap pribadi secara khusus terbuka bagi modifikas-modifikasi utama dalam identitas, entah positif maupun negative. Berlawanan dari pengertian populernya, krisis identitas bukan peristiwa yang membawa bencana melainkan kesempatan untuk mengembangkan sikap penyesuaian diri yang entah bersifat adaptif maupun kekeliruan-adaptif.
Menurut teori psikososial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas ego dalam 8 tahap perkembangan, yaitu :
1.     Masa Bayi
Masa bayi adalah masa pembentukan, dimana bayi “menerima” bukan hanya melalui mulut, namun juga melalui organ indra yang lain. Sebagaimana mereka menerima makanan dan    informasi sensori, bayi belajar untuk memercayai ataupu tidak memercayai dunia luar, keadaan yang memberikan harapan tidak nyata.


a.    Gaya Sensori Oral
Tahapan ini ditandai oleh dua gaya pembentukan – memperoleh dan menerima apa yang diberikan. Bayi dapat memperoleh walaupun tanpa keberadaan orang lain. Mereka dapat memperoleh udara melalui paru-paru. Akan tetapi, gaya pembentukan yang kedua menyiratkan konteks sosisal. Untuk membuat orang lain memberi, mereka harus belajar untuk memercayai atau tidak memercayai orang lain. Hal ini membangun krisis psikososial dasar yaitu Trust vs Mistrust.
b.    Trust Versus Mistrust (Rasa Percaya Dasar Vs Tidak Percaya Dasar)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Pada tahap ini bayi mengalami konflik antara percaya dan tidak percaya. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. dan merasa terancam terus menerus. Rasa percaya tersebut menuntut perasaan nyaman secara fisik. Pada saat itu, hubungan bayi dengan ibu menjadi sangat penting. Ketika sadar bahwa ibu selalu menyediakan makanan secara teratur, mereka pun mulai belajar rasa percaya dasar.
Rasa percaya dasar biasanya bersifat sitonik, sedangkan rasa tidak percaya mendasar bersifat distonik. Meskipun begitu bayi harus mengembangkan kedua sikap ini. Terlalu banyak rasa percaya membuat mereka naif dan rapuh terhadap tipu muslihat dunia, sementara terlalu sedikit rasa percaya membawa kepada rasa frustasi, kemarahan, kebencian, sinisme atau depresi.

c.    Harapan (Kekuatan Dasar Bayi)
Harapan  muncul dari konflik antara rasa percaya dan rasa tidak percaya. Jika bayi mengalami pengalaman yang tidak enak, bayi belajar untuk berharap bahwa gangguan mereka di masa depan akan diakhiri oleh hasil yang memuaskan.
Apabila bayi tidak mengembangkan harapan yang cukup pada masa ini, maka mereka akan menampilkan lawan dari harapan penarikan diri. Dengan hanya sedikit harapan, mereka akan menarik diri dari dunia luar dan memulai perjalanan menuju gangguan psikologis yang serius.
2.    Masa Kanak-Kanak Awal
Tahapan psikososial kedua adalah kanak-kanak awal, periode yang pararel dengan tahap anal Freud berpendapat bahwa anus sebagai zona yang paling memberikan kepuasan seksual bila tersentuh (erogeneous) selama periode ini dan selama fase anak-sadsitis awal, anak-anak mendapat kesenangan dengan menghancurkan atau menghilangkan obyek dan nantinya mereka mendapat kesenangan dengan buang air besar.
Erickson berpandangan lebih luas. Baginya, anak-anak mendapat kesenangan bukan hanya karena menguasai otot sirkular yang dapat  berkotraksi, tetapi juga menguasai fungsi tubuh lainnya, seperti buang air kecil, jalan, memegang, dan seterusnya.
a.    Gaya Otot Uretral Anal
Pada masa ini, anak belajar untuk mengendalikan tubuh mereka, khusunya berkaitan dengan kebersihan dan pergerakan. Masa kanak-kanak awal tidak hanya belajar toilet training tetapi juga belajar berjalan, berpegangan dengan mainan, dan lain-lain.Mereka senang menahan feses mereka , mereka jugan senang mengumpulkan barang dan tiba-tiba menghancurkannya
b.   Otonomi Versus Perasaan Malu Dan Ragu-Ragu
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain.
c.    Keinginan (Kekuatan Dasar Kanak-Kanak Awal)
Kekuatan dasar akan keinginan dan kemauan berkembang dari resolusi krisis otonomi vs rasa malu dan ragu. Kekuatan keinginan yang matang dan ukuran signifikan kehendak bebas tertahan hingga tahapan perkembangan selanjutnya, namun mereka berasal dari keinginan awal yang timbul pada masa kanak-kanak awal.
3.    Usia Bermain
Tahap perkembangan ketiga erikson adalah usia bermain, periode yang meiliputi waktu yang sama dengan fase falik (phallic) sekitar usia 3-5 tahun. Sekali lagi perbedaan timbul antara pandangan freud dan erikson. Sementara menempatkan Oidipus Complex sebagai inti dari fase alat kelamin, erikson percaya bahwa Oedipus Complex hanya salah satu perkembangan penting selama usia bermain.
a.    Gaya Lokomotor Genital
Erikson melihat situasi Oedipal sebagai prototipe “kekuatan seumur hidup akan keriangan manusia”. Dengan kata lain, Oedipus conplex adalah drama yang dimainkan dalam imajinasi anak-anak mencakup pengertian yang dimulai meningkat akan konsep dasar, seperti reprodusi, pertumbuhan, masa depan, dan kematian.
b.   Inisiatif Versus Rasa Bersalah
Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai  5 atau 6 tahun (pra sekolah). Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan.
c.    Tujuan (Kekuatan Dasar Usia Bermain)
Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan, bersaing dalam permainan dengan tujuan menang atau mencapai puncak. Mereka menentukan sasaran dan mengejar sasaran itu dengan tujuan. Usia bermain juga merupakan tahpan dimana anak-anak mengembangkan hati nurani dan mulai meletakkan benar dan salah pada tingkah laku mereka. Hati nurani di masa muda ini menjadi landasan akan moralitas.
4.    Usia Sekolah
Konsep usia sekolah erikson meliputi perkembangan dari usia 6 tahun hingga sekitar usia 12-13 tahun dan cocok dengan tahun-tahun masa laten dalam teori freud. Pada usia ini, dunia sosial anak-anak meluas diluar keluarga, mencakup kelompok teman, guru, dan panutan dewasa lainnya. Untuk anak usia sekolah, keinginan mereka untuk mengetahui sesuatu menjadi lebih kuat dan terkait dengan usaha dasar dan kompetensi. Pada perkembangan normal, anak-anak berusaha dengan rajin untuk membaca dan menulis, berburu dan memancing, atau untuk mempelajari keterampilan yang di butuhkan oleh kultur mereka.
a.    Latensi
Latensi seksual penting karena memungkinkan anak-anak mengalihkan energi mereka untuk mempelajari teknologi kultur mereka dan startegi akan interksi sosial mereka.
b.   Industri versus Rasa Rendah Diri
Walaupun usia sekolah adalah periode perkembangan seksual yang kecil, namun merupakan waktu pertumbuhan sosial yang luar biasa. Krisis psikososial pada tahapan ini adalah industri versus rasa rendah diri. Industri, kualitas sintonik yang berarti kesungguhan, kemauan, untuk tetap sibuk akan sesuatu, dan untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan. Anak-anak usia sekolah belajar untuk bekerja dan bermain pada sktifitas yang di arahkan agar memperoleh kemampuan bekerja dan mempelajari atuaran dalam bekerja sama.
c.    Kompetensi (Kekuatan Dasar Usia Sekolah)
Kekuatan dasar kompetensi adalah rasa percaya diri untuk menggunakan kemampuan fisik dan kognitif dalam menyelesaikan masalah yang mengiringi usia sekolah. Kompetensi diberikan landasan untuk partisipasi kooperatif dalam kehidupan dewasa yang produktif.
5.    Remaja
Periode Remaja dari pubertas hingga masa dewasa muda, merupakan salah satu tahapan perkembangan yang paling krusial karena akhir periode ini, seseorang harus sudah mendapatkan rasa ego identitas yang tetap. Walaupun ego identitas dimuali maupun di akhiri selama remaja, krisis antara identitas dan kebingungan identitas mencapai puncaknya selama tahap ini. Dari krisis antara identitas versus kebingungan identitas timbul kesetiaan, kekuatan dasar masa remaja.
a. Pubertas
     Pubertas (puberty) adalah tahap kemasakan seksual. Menurut Erikson penting karena pubertas memacu harapan peran dewasa pada masa yang akan datang.
b.  Identitas Versus Kekacauan Identitas
     Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya.
     Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku.Mereka sudah menemukan  identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Ritualisasi yang nampak dalam tahap adolesen ini dapat menumbuhkan ediologi dan totalisme.
c.   Kesetiaan (Kekuatan Dasar Remaja)
     Kekuatan dasar yang muncul dari krisis identitas pada tahap adolensen adalah kesetiaan (fidelity). Sisi patologis dari kesetiaan adalah penolakan (repudiation), menjadi bentuk yang malu-malu (diffedence) atau penyimpangan (deviance). Difiden adalah keadaan ekstrim tidak percaya diri, sementara devian adalah memberontak kepada otoritas secara terbuka.
6.    Dewasa Muda
Tugas pada tahap dewasa awal hanya sesudah orang mengembangkan perasaan yang mantap siapa dan apa yang diinginkannya maka mereka dapat mengembangkan tingkat kebaikan cinta (love). Tahap ini ditandai dengan perolehan keintiman (intimacy) pada awal periode dan perkembangan berketurunan (generativity) pada akhir periode.
a.  Genitalitas
Banyak dari aktivitas seksual selama masa remaja adalah ungkapan pencariaan akan identitas dan pada dasarnya harus disediakan oleh diri sendiri.
b.  Keintiman Versus Keterasiangan
Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 20-30 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Tumbuh kerjasama dengan orang lain  namun jika tidak mempunyai kemampuan kerjasama dengan orang lain akan tumbuh sifat terisolasi. 
c.   Cinta (Kekuatan Dasar Dewasa Muda)
Cinta adalah kesetiaan yang masak sebagai dampak dari perbedaan dasar antara pria dan wanita. Kebalikan dari cinta adalah kesendirian (exclusivity). Sedikit ekslusif dibutuhkan dalam intumasi, yakni bahwa orang harus bisa menolak orang tertentu, untuk mengembangkan perasaan identitas diri yang kuat. Kesendirian menjadi patologis kalau kekuatannya sampai menghalangi kemampuan kerja sama.
Lawan dari cinta adalah ekskluasivitas, inti patalogi padadewasa muda.
7.    Dewasa
Masa dewasa yaitu masa dimana manusia mulai mengambil bagian dalam masyarakat dan menerima tanggung jawab dari apapun yang di berikan oleh masyarakat. Untuk sebagaian besar orang, dewasa muda adalah tahapan perkembangan yang paling lama, menghabiskan waktu dari usia 31-60 tahun. Masa dewasa ditandai oleh gaya psikoseksual prokreativitas, krisis psikososial generativitasversus stagnasi, dan kekuatan dasar rasa peduli.
a.    Prokreativitas
Teori psikoseksual erikson beransumsi bahwa dorongan insting mempertahankan spesies, dorongan ini adalah lawan dari insting binatang orang dewasa terhadap prokreasi dan merupakan perpanjangan dari genitalitas yang menandai masa dewasa muda. Akan tetapi prokreativitas tak sekedar mengacu pada kontak genital dengan pasangan intim. Ia juga mencakup tanggung jawab untuk mengasuh keturunan yang merupakan hasil kontak seksual.
b.  Generativitas Versus Stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam  lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya di tengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme.
c.   Rasa Peduli (Kekuatan Dasar Dewasa)
Keperdulian (care) adalah perluasan suatu komitmen untuk merawat orang lain. Care bukan suatu tugas atau kewajiban, tetapi keinginan yang muncul serta alami dari konflik antara generativita dengan stagnasi. Lawan dari keperdulian adalah penolakan (rejectivity), yang diwujudkan dalam bentuk mementingkan diri sendiri, atau pseudospeciation, yakni keyakinan bahwa orang atau kelompok lain adalah jenis manusia yang lebih inferior dibanding diri/kelompoknya.

8.    Usia Lanjut
Erikson berusia 40 tahun ketika ia pertama kali memikirkan konsep tahapan ini dan semena-mena mendevisinikan usia lanjut sebagai periode usia 60 tahun sampai akhir kehidupan. Usia lanjut bukan berarti seseorang sudah tak lagi menghasilkan (generative). Prokreasi, dalam artian sempit menghasilkan anak, mungkin sudah tak lagi, namun orang dalam usia lanjut tetap bisa produktif dan kreatif dalam banyak cara lain. Usia lanjut dapat menjadi masa akan kesenangan, keriangan dan bertanya-tanya, namun juga masa akan kepikunana,depresi, dan keputus asaan. Gaya psikoseksual usia lanjut adalah sensualitas tergenerilasikan, krisis psikososial integritas versus keputus asaan, dan kekuatan dasar kebijaksanaan.
a.   Sensualitas Tergeneraslisasi
Tahap terakhir dati psikoseksual adalah generalisasi sensualitas (Generalized Sensuality): memperoleh kenikmatan dari berbagai sensasi fisik,penglihatan, pendengaran, kecapan, bau, pelukan dan bisa juga stimulasi genital.
b.   Integritas Versus Keputusasaan
Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan..
c.   Kebijaksanaan (Kkekuatan Usia Lanjut)
Orang dengan kebijaksanaan yang matang, tetap mempertahankan integritasnya ketika kemampuan fisik dan mentalnya menurun. Antitesis dari kebijaksanaan adalah penghinaan (disdain). Penghinaan merupakan kelanjutan dari penolakan, sumber patologi dari fase dewasa

2.    PSIKOLOGI BEHAVIORISME (BF. SKINNER)
1.    Skinner dan Teori Kepribadian
Bagi Skinner fenomena yang kita sebut kepribadian meliputi hanya perilaku yang terlihat, seperti bahasa yang dipancarkan seiring hadirnya stimulus yang bisa dikuantifikasi, artinya kepribadian direduksi kepada apa yang dilakukan manusia dalam kondisi spesifik. Skinner mengidentifikasi dan mendeskripsikan proses-proses yang menggambarkan perilaku tertentu diisyaratkan dan diekspresikan, dan perilaku lain dihilangkan (Olson & Hergenhahn,2013:465). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ‘kepribadian’ tak lain adalah perilaku spesifik yang diisyaratkan dan diekspresikan oleh manusia.
2.    Behaviorisme Ilmiah
Menurut pandangan behavioristik, belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang dapat diamati, yang terjadi melalui proses stimulus respon yang disertai dengan penguatan menurut prinsip-prinsip mekanik. Dan behaviorism adalah pandangan teoritis yang beranggapan pokok persoalan psikologi adalah tingkah laku tanpa mengkaitkan dengan konsep-konsep tentang kesadaran dan mentalitas. Kelahiran behaviorisme berawal dari karya-karya John B Waston pada tahun 1913 dalam Psichological review.
Sejalan dengan Thorndike dan Watson, Skiner berpendapat bawasannya perilaku manusia harus dipelajari secara ilmiah, karena menurutnya perilaku dapat dipelajari dengan baik tanpa rujukan dari kebutuhan, insting dan motif. Walaupun Skiner juga meyakini adanya kondisi internal seperti rasa lapar, emosi, nilai-nilai, kepercayaan diri, kebutuhan agresif, keyakinan religious, dan kebencian memang ada. Tidak hanya membuang-buang waktu saja tetapi juga akan membatasi kemajuan behaviorisme karena menggunakan kondisi internal sebagai penjelasan.
Menurut Skinner, ilmuwan yang menyatakan bahwa manusia makan karena lapar berarti mengasumsikan mengenai suatu kondisi mental yang tidak penting dan tidak dapat diobservasi, yang berada di antara fakta konkret dari kekurangan makanan dan fakta konkret dari perilaku makan. Asumsi semacam itu dapat mengaburkan gagasan sebelumnya dan mereduksi psikologi ke dalam ranah filsafat (kosmologi). Bertentangan dengan itu, Skinner menegaskan bahwa psikologi harus menghindari factor-faktor internal mental dan membatasi dirinya pada peristiwa nyata yang dapat diobservasi (Feist&Feist,2016:164).



3.    Pengkondisian
Prinsip dari pengkondisian operan seperti yang diungkapkan oleh Skiner adalah “jika bermunculan sebuah operan diikuti oleh penyajian sebuah stimulus yang menguatkan, maka kekuatannya akan bertambah” (Skiner, 1938, hlm.21). aturan yang sangat kuat ini tidak lebih sederhana dar : jika anda ingin menguatkan sebuah respon atau pola perilaku tertentu, berikanlah ia penghargaan !.
Maka untuk memodifikasi sebuah perilaku yang harus diperhatikan ada 2 elemen yaitu perilaku dan sebuah penguat. Kata Skiner, akan terlihat bahwa kepribadian tidak lebih dari pada pola-pola perilaku konsisten yang sudah diperkuat lewat pengkondisian operan.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengkondisian operan ini menurut Olson & Hergenhahn (2013:468) yaitu :
a.    Akuisisi
Untuk membuktikan pengkondisian operan, Skiner membuat eksperimen “Kotak Skiner”, dalam eksperimen ini Skiner menggunakan hewan-hewan kecil seperti tikus atau merpati, aparatus dalam bilik disusun sedemikian rupa hingga mekanisme pemberian makananpun diaktifkan. Dalam kotak ini, respon menekan tuas adalah respon operan yang diinginkan, dan pelet makanan adalah penguatnya. Dan hasilnya inilah yang dikatakan oleh Skiner bahwa ketika respon diikuti oleh penguat, frekuendi menekan tuas bertambah.
b.    Pembentukan
Pembentukan mempunyai 2 komponen yaitu : 1. Penguatan defarensial (perbedaan), artinya beberapa respon diperkuat dan beberapa respon tidak. Dan 2. Penguatan aproksimasi suksesif, artinya respon diperkuat jika mendekati respon yang diinginkan.
Menurut operan, cara terbaik mengajarkan sebuah keterampilan yang kompleks adalah dengan membagi-baginya menjadi komponen-komponen dasarnya dan secara bertahap membentuknya hingga eksis, satu langkah kecil dari satu waktu. Proses pembentukan penting sekali bagi pendidikan dan pengasuhan anak.
c.    Pemunahan
Jika penguatnya dihilangkan maka perilaku operan akan melemah dan ini adalah disebut pemunahan. Skiner menjelaskan bawasannya Pemunahan juga mempengaruhi kepribadian, perilaku yang mendapat penghargaan akan terus ada, dan perilaku yang tidak mendapatkan penghargaan akan melemah dan nantinya akan punah atau lenyap.
d.   Operan Diskriminatif
Adalah sebuah respon operan yang dibuat di bawah seperangkat situasi, namun tidak di perangkat situasi lainnya. stimulus pemilah/pembeda disebut stimulus diskriminatif (SD). Sedangkan stimulus yang memunculkan respon operan diskriminatif adalah stimulus penguat (SR)
Menurut prinsp-prinsip pengkondisian operan, rsepon apapun yang secara konsisten diperkuat disitusi tertentu akan diulangi di situasi tersebut ketika muncul kembali. Kecenderungan untuk meningkatkan respon operan ini dalam situasi yang sama dan sudah diperkuat disebut generalisasi stimulus.
e.    Penguatan Sekunder
Pada titik ini penguat primer dan penguat sekunder harus dipilah. Jika penguat primer berhubungan dengan kelangsungan hidup, meliputi : makanan, air, oksigen, pemunahan dan aktivitas seks dan penguat primer tidak netral secara biologis. Maka penguat sekunder sebaliknya,  stimuli yang awalnya netral secara biologis, karenanya tidak menguatkan selain memperoleh sifat penguatannya lewat pengasosiasian mereka dengan penguat primer.
Dalam mempelajari tingkah laku operan Skiner tidak hanya memperhatikan prinsip-prinsip pengkondisian melainkan prosedur pengkondisian juga. Diantaranya adalah :


a.    Mencatat Tingkah Laku Operan
Pandangan Skiner, hukum-hukum fungsional dari tingkah laku paling baik dikembangkan dengan memusatkan pada faktor-faktor yang meningkatkan dan atau mengurangi probabilitas kemunculan respon dilain waktu dari pada menciptakan stimulus spesifik yang memacu respon.  Dengan demikian tingkah laku organisme perlu dikur dan dicatat bagitu tinglah laku itu muncul.
b.    Jadwal Perkuatan
Adalah aturan yang menentukan dalam keadaan bagaimana atau kapan perkuatan-perkuatan akan disampaikan. Tingkatan diperoleh dan dipertahankannya tingkah laku operan merupakan fungsi dari penggunaan jadwal perkuatan. Skiner menyampaikan bahwasannya jadwal perkuatan adalah hasil dari penyelesaian kesulitan prakti yang dihadapinya.
c.    Tingkah Laku Takhyul
Adalah tingkah laku yang disandarkan pada hubungan respon dan perkuatan. Skiner berpendapat tingkah laku takhyul itu akan selalu muncul dalam keadaan individu percaya bahwa tingkah laku tertentu yang diungkapkannya merupakan penyebab dari kejadian yang telah dialaminya. Perilaku takhayu dihasilkan oleh penguatan tak bersyarat.
d.   Shaping
Penghampiran sinambung atau Shaping adalah pembentukan suatu respon melalui pemberian perkuatan atas respon-respon lain yang mengarahkan atau mendekati respon yang ingin dibentuk.
e.    Pemerkuat Sekunder
Pemerkuat itu terdiri dari dua jenis yaitu pemerkuat primer dan pemerkuat sekunder. Pemerkuat primer, adalah kejadian atau objek yang memiliki sifat memperkuat secara inheren. Sedangkan pemerkuat sekunder adalah suatu hal, kejadian, atau objek yang memiliki nilai pemerkuat respon melalui kaitan yang erat dengan pemerkuat primer bedasarkan pengalaman pengkondisian atau proses belajar pada organisme.
f.     Penggunaan Stimulus Aversif
Yang dimaksud stimulus aversif adalah stimulus yang tidak menyenangkan, tidak diharapkan, dan selalu ingin dihindari oleh organisme.dalam hal ini Skiner mempunyai dua metode yang berbeda sehubungan dengan stimulus aversif yaitu pemberian hukuman dan pemerkuat negatif.

4.    ORGANISME MANUSIA
Skinner percaya bahwa perilaku manusia dibentuk oleh tiga kekuatan: (1) Seleksi Alam, (2) Evolusi Budaya, dan (3) Sejarah seseorang atas penguatan yang diterimanya/kondisi internal.
1.      Seleksi Alam
Menurut Skinner kepribadian manusia adalah hasil dari sejarah evolusi yang panjang. Sebagai individuperilaku kita ditentukan oleh komposisi genetis dan terutama oleh sejarah pribadi kita atas penguatan yang diterima. Akan tetapi sebagai spesies kita dibentuk oleh factor-faktor dari kemampuan bertahan hidup, seleksi alam mempunyai peranan penting dalam kepribadian manusia (Feist & Feist,2016:177)
2.      Evolusi Budaya
Mereka masyarakat yang berkembang praktek-praktek budaya tertentu (misalnya pembuatan alat dan bahasa) cenderung untuk bertahan hidup. Saat ini, kehidupan hampir semua orang berbentuk, sebagian, dengan alat-alat modern (komputer, media, berbagai moda transportasi, dll) dan dengan menggunakan bahasa mereka. Namun, manusia tidak membuat keputusan koperasi untuk melakukan apa yang terbaik bagi masyarakat mereka, tetapi mereka masyarakat yang anggotanya berperilaku kooperatif cenderung untuk bertahan hidup.


3.      Kondisi Internal ; dorongan, kesadaran diri, emosi, tujuan dan intensi
Skinner mengakui keberadaan bagian dalam seperti drive dan kesadaran diri, namun ia menolak gagasan bahwa mereka dapat menjelaskan perilaku. Untuk Skinner, drive merujuk pada efek dari kekurangan dan kekenyangan dan dengan demikian terkait dengan kemungkinan perilaku tertentu, tetapi mereka tidak penyebab perilaku. 
4.      Perilaku Kompleks
Perilaku manusia tunduk pada prinsip yang sama pengkondisian operan sebagai perilaku hewan sederhana, tetapi jauh lebih kompleks dan sulit untuk memprediksi atau mengontrol. Skinner menjelaskan kreativitas sebagai hasil dari perilaku acak atau kebetulan yang terjadi akan dihargai. Skinner percaya bahwa sebagian besar perilaku kita tidak sadar atau otomatis dan yang tidak memikirkan pengalaman tertentu memperkuat. 
5.      Kontrol Perilaku Manusia
Pada akhirnya, semua perilaku seseorang dikendalikan oleh lingkungan. Masyarakat melakukan kontrol atas anggota mereka melalui hukum, peraturan, dan kebiasaan yang melampaui berarti satu orang dari countercontrol. Ada empat metode dasar kontrol sosial: (1) pengkondisian operan, termasuk penguatan positif dan negatif dan hukuman; (2) menjelaskan kontinjensi, atau menggunakan bahasa untuk menginformasikan orang-orang dari konsekuensi dari perilaku mereka; (3) kekurangan dan kekenyangan, teknik yang meningkatkan kemungkinan bahwa orang akan berperilaku dengan cara tertentu, dan (4) pengekangan fisik, termasuk memenjarakan penjahat. Meskipun Skinner menyangkal adanya kehendak bebas, dia mengakui bahwa orang memanipulasi variabel dalam lingkungan mereka sendiri dan dengan demikian beberapa latihan ukuran pengendalian diri, yang memiliki beberapa teknik: (1) pengekangan fisik, (2) bantuan fisik, seperti alat-alat ; (3) mengubah rangsangan lingkungan; (4) mengatur lingkungan untuk memungkinkan melarikan diri dari rangsangan permusuhan; (5) obat, dan (6) melakukan sesuatu yang lain.

3.    TEORI PERSON CENTERED (Teori Rogers)
Berikut beberapa hal yang terkait dalam teori Roger (Feist & Feist, 2014):
a.    Asumsi-Asumsi Dasar
Rogers merumuskan dua asumsi dasar teori person-centered, yaitu kecenderungan formatif dan kecenderungan mengaktualisasi.
1.    Kecenderungan Formatif
Rogers yakin bahwa terdapat kecenderungan bagi semua hal, baik organis maupun anorganis, untuk berkembang dari suatu bentuk yang lebih sederhana menuju lebih kompleks. Bagi seluruh alam semesta ini, proses kreatiflah yang bekerja bukan proses disintegratif.  Rogers menyebut proses ini kecenderunagn formatif (formative tendency) dan mengambil banyak contoh dari alam.
2.    Kecenderungan Aktualisasi
Kecenderungan untuk mengaktualisasikan adalah dorongan memotivasi dasar tunggal. Kecenderungan ini adalah proses aktif yang merepresentasikan kecenderungan bawaan organisme untuk mengembangkan kapasitasnya yang mengarah ke mempertahankan, meningkatkan, dan mereproduksi dirinya. Kecenderungan untuk mengaktualisasikan bersifat operatif di segala waktu pada semua organisme dan merupakan ciri pembeda apakah organisme itu hidup atau mati.
b.   Diri dan Aktualisasi Diri
Kunci konsep struktural dari teori rogerian adalah the self. The self adalah aspek pengalaman fenomenologis. Pengalaman fenomenologis adalah salah satu aspek dari pengalaman kita yang ada di dunia yaitu pengalaman sadar tentang diri sendiri (Pervin, 2011:211). Self/Diri adalah apa yang manusia rasakan didalam dirinya. Self merupakan satu-satunya struktur kepribadian yang sebenarnya. Dengan kata lain self terbentuk melalui deferiensiasi medan fenomena dan melalui introjeksi nilai-nilai tertentu serta di distorsi pengalaman. Self bersifat integral dan konsisten. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik. Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi diri.
Konsep diri (self concept) menurut Rogers adalah konsep dimana dimana “aku“ merupakan pusat referensi seluruh aspek di setiap pengalaman yang disadari. Konsep diri (self concept) adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Dibagi menjadi 2:
a.       Konsep Diri Real : kenyataaan yang ada pada diri individu / individu apa adanya.
b.      Konsep Diri Ideal : pandangan seseorang terhadap diri sebagaimana yang ia harapkan, bersifat positif, dan ingin dimiliki seseorang.
Hubungan keduanya:
a.       Kongruen, apabila ada sedikit saja perbedaan antara konsep diri real dan diri ideal, individu akan cenderung sehat secara psikologis.
b.      Inkongruen, apabila ada perbedaan yang signifikan antara konsep diri real dan diri ideal, individu akan cenderung sakit secara psikologis karena mengalami kecemasan & ancaman.
c.    Kesadaran dan Tingkat Kesadaran
Roger (1959) mendefinisikan kesadaran sebagai “representasi simbolik (walaupun tidak selalu dalam simbol verbal) dari sebagian pengalaman kita. Ia menggunakan istilah ini secara sinonim dengan simbolisasi dan conscousness. Roger membagi kesadaran menjadi tiga bagian yaitu:
1.    Pengalaman yang diabaikan / disangkal karena dialami di bawah batas kesadaran.
2.    Pengalaman yang disimbolisasikan secara akurat karena sesuai dengan konsep diri, dialami secara sadar.
3.    Pengalaman yang didistorsi karena tidak konsisten dengan konsep diri.
d.   Menjadi Manusia
Roger (1959) mendiskusikan proses yang diperlukan untuk menjadi seorang manusia. Seseorang harus membuat kontak positif ataupun negatif dengan orang lain. Saat seseorang mengembangkan kebutuhan untuk dicintai, disukai atau diterima orang lain, hal tersebut oleh Roger merupakan kebutuhan yang dianggap sebagai penghargaan positif. Penghargaan positif adalah persyaratan untuk mendapatkan penghargaan diri yang positif, yang didefinisikan sebagai pengalaman menghargai diri sendiri. Sumber dari penghargaan diri yang positif berada dalam penghargaan positif yang kita terima dari orang lain. Dengan demikian, orang tersebut telah “ menjadi orang yang penting dalam lingkup sosial dengan caranya sendiri (Feist & Feist, 2014).
e.    Hambatan pada Kesehatan Psikologis
1.    Penghargaan Bersyarat
Penghargaan bersayarat yaitu persepsi bahwa lingkungan akan menerima individu hanya jika ia mampu memenuhi persyaratan. Terjadi apabila kita memiliki persepsi bahwa beberapa perilaku kita mendapatkan persetujuan/diterima dan beberapa tidak diterima (artinya penghargaan bersifat kondisional). Persepsi seperti ini disebut evaluasi eksternal. Saat kita meragukan pengalaman kita sendiri, kita juga mendistorsi kesadaran kita atas pengalaman tersebut, sehingga semakin menguatkan perbedaan antara evaluasi orgamismik dan nilai-nilai yang diinternalisasikan dari orang lain. Hasilnya kita akan mengalami inkongruensi (Roger, 1959).
2.    Inkongruensi
a.    Inkongruensi yaitu terjadinya ketidaksesuaian antara pengalaman organismik yang dialami dengan konsep diri yang timbul
b.    inkongruensi dapat berakibat pada perilaku yang tidak konsisten atau berbeda
c.    Menyebabkan hal-hal:  Kerentanan  yaitu kecenderungan orang berperilaku dengan cara-cara yg tidak dimengerti orang lain bahkan dirinya sendiri. Kecemasan dan Ancaman dirasakan saat kita mendapat kesadaran atas inkongruensi tersebut.

3.    Sikap Defensif
Sikap defensif adalah perlindungan atas konsep diri dari kecemasan dan ancaman, dengan penyangkalan atau distorsi, dari pengalaman yang tidak konsisten dengan konsep diri (Rogers,1959). Dua sikap defensif yaitu:
a.    Distorsi yaitu melakukan kesalahpahaman dari sebuah pengalaman
b.    Penyangkalan yaitu menolak menghayati pengalaman agar tidak tersimbolisasi pada konsep diri.
Sikap defensif bertujuan untuk mempertahankan persepsi dan konsep diri serta menghindarkan diri dari kecemasan dan ancaman.
4.    Disorganisasi
Terjadinya sikap atau perilaku yang konsisten dengan pengalaman organismiknya dan sesuai dengan konsep diri namun konsep diri yang rusak/telah hancur, disebabkan oleh sikap defensif yang “gagal” dilakukan karena datangnya inkongruensi yang terlalu jelas atau terlalu mendadak untuk dapat disangkal.

4.     TEORI SOSIAL KOGNITIF BANDURA
a.    Belajar
Salah satu asumsi awal dan dasar teori kognisi sosial Bandura adalah bahwa manusia cukup fleksibel dan mampu mempelajari berbagai sikap, kemampuan, dan perilaku, serta cukup banyak dari pembelajaran tersebut yang merupakan hasil dari pengalaman tidak langsung. Walaupun manusia dapat dan memang belajar dari pengalaman langsung, banyak dari apa yang mereka pelajari didapatkan dengan mengobservasi orang lain. Bandura (1986) menyatakan bahwa “apabila pengetahuan dapat diperoleh hanya melalui akibat dari tindakan seseorang, proses kognitif dan perkembangan sosial akan sangat terbelakang, dan juga akan menjadi sangat melelahkan”.
1.    Pembelajaran Melalui Observasi
Bandura yakin bahwa observasi memberikan jalan pada manusia untuk belajar tanpa harus melakukan perilaku apa pun. Manusia mengobservasi fenomena alami, tumbuhan, hewan, air terjun, pergerakan bulan dan bintang-bintang, dan lainnya; tetapi yang terpenting bagi teori kognitif sosial adalah asumsi bahwa mereka belajar melalui observasi perilaku orang lain.
a.    Modeling
Inti dari pembelajaran melalui proses observasi adalah modeling. Pembelajaran melalui modeling meliputi menambahi atau mengurangi suatu perilaku yang diobservasi dan mengeneralisasi dari satu observasi ke observasi yang lainnya.
b.    Proses Yang Mengatur Pembelajaran Melalui Observasi
Bandura (1986) menemukan empat proses yang mengatur pembelajaran melalui observasi; perhatian» representasi/retensi» produksi perilaku, dan motivasi
Perhatian (Attention) Sebelum kita dapat melakukan modeling terhadap orang lain, kita harus memperhatikan orang tersebut.
Representasi/retensi  Agar sebuah observasi dapat mengarahkan pada pola respons yang baru pola tersebut harus dapat direpresentasikan secara simbolis di dalam ingatan.
Produksi Perilaku Setelah memperhatikan seorang model dan mempertahankan apa yang telah diobservasi, kemudian kita memproduksi perilaku tersebut.
Motivasi Pembelajaran melalui observasi paling efektif terjadi apabila pihak yang belajar termotivasi untuk melakukan perilaku yang ditiru. Perhatian dan representasi dapat berakibat pada pengumpulan informasi untuk belajar, namun performa difasilitasi oleh motivasi untuk melakukanan perilaku tertentu.
2.    Pembelajaran Aktif
Setiap respons yang dibuat oleh seseorang akan diikuti oleh suatu konsekuensi Beberapa dari konsekuensinya ini dapat memuaskan, beberapa tidak memuaskan, dan yang lainnya bahkan tidak mendapatkan perhatian secara kognitif sehingga hanya mempunyai efek yang kecil. Bandura yakin bahwa perilaku manusia yang komplekx dapat dipelajari saat seseorang memikirkan dan mengevaluasi konsekuensi perilaku mereka.

2.    Prinsip-prinsip Teori Bandura
Adapun prinsip-prinsip yang mendasari teori belajar sosial yang dikemukakan oleh Bandura, yaitu:
a.    Prinsip Faktor-Faktor Yang Saling Menentukan
Bandura menyatakan bahwa diri seorang manusia pada dasarnya adalah suatu sistem (sistem diri/self system). Sebagai suatu sistem bermakna bahwa perilaku, berbagai faktor pada diri seseorang, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam lingkungan orang tersebut, secara bersama-sama saling bertindak sebagai penentu atau penyebab yang satu terhadap yang lainnya.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran, yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain.Dalam teori menjelaskan hubungan timbal balik yang saling berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan lingkungan.
Kondisi lingkungan sekitar kita sangat berpengaruh terhadap perilaku kita. Lingkungan kiranya memberikan posisi yang besar dalam kehidupan sosial kita sehari-hari. Lingkungan dapat pula membentuk kepribadian kita.  
b.    Kemampuan Untuk Membuat Atau Memahami Simbol/Tanda/ Lambang
Bandura menyatakan bahwa orang memahami dunia secara simbolis melalui gambar-gambar kognitif, jadi orang lebih bereaksi terhadap gambaran kognitif dari dunia sekitar dari pada dunia itu sendiri.
c.    Kemampuan Berpikir Ke Depan
Selain dapat digunakan untuk mengingat hal-hal yang sudah pernah dialami, kemampuan berpikir atau mengolah simbol tersebut dapat dimanfaatkan untuk merencanakan masa depan. Orang dapat menduga bagaimana orang lain bisa bereaksi terhadap seseorang, dapat menentukan tujuan, dan merencanakan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Inilah yang disebut dengan pikiran ke depan, karena biasanya pikiran mengawali tindakan.
d.   Kemampuan Untuk Seolah-Olah Mengalami Apa Yang Dialami Oleh Orang Lain
Orang-orang, terlebih lagi anak-anak mampu belajar dengan cara memperhatikan orang lain berperilaku dan memperhatikan konsekuensi dari perilaku tersebut. Inilah yang dinamakan belajar dari apa yang dialami orang lain.
e.    Kemampuan Mengatur Diri Sendiri
Prinsip berikutnya dari belajar sosial adalah orang umumnya memiliki kemampuan untuk mengendalikan perilaku mereka sendiri. Seberapa giat orang bekerja dan belajar, berapa jam orang tidur, bagaiamana bersikap di muka umum, apakah orang mengerjakan pekerjaan kuliah dengan teratur, dsb, adalah contoh prilaku yang dikendalikan. Perilaku ini tidak dikerjakan tidak selalu untuk memuaskan orang lain, tetapi berdasarkan standar dan motivasi yang ditetapkan diri sendiri. Tentu saja orang akan berpengaruh oleh perilaku orang lain, namun tanggung jawab utama tetap berada pada diri se8ndiri.
f.     Kemampuan Untuk Berefleksi
Prinsip terakhir ini menerangkan bahwa kebanyakan orang sering melakukan refleksi atau perenungan untuk memikirkan kemampuan diri mereka pribadi. Mereka umumnya mampu memantau ide-ide mereka dan menilai kepantasan ide-ide tersebut sekaligus menilai diri mereka sendiri.

3.    Pandangan Tentang Individu/Person
a.    Kemampuan Simbolisasi
Teori kognitif sosial menyepakati peran sentral pada proses kognitif, seolah-olah mengalami sendiri (vicarious), pengaturan diri (self regulatory), dan refleksi-diri (self-reflective). Dengan kemampuan luar biasa melakukan simbolisasi, manusia memiliki alat untuk memahami lingkungan mereka serta menciptakan dan mengatur kegiatan lingkungan pada hampir setiap aspek. Sebagian besar hal-hal eksternal memengaruhi perilaku afektif individu melalui proses kognitif daripada secara langsung. Melalui simbol, individu memberikan makna, bentuk, dan kontinuitas sesuai pengalaman mereka sehingga dapat berkomunikasi dengan orang lain pada jarak dalam ruang dan waktu.
b.    Kemampuan Pengaturan-Diri (Self-Regulatory)
Setiap individu tidak hanya berperan sebagai pihak yang memiliki pengetahuan (knowers) dan melakukan (performers), namun juga memiliki reaksi-diri sesuai kemampuan mengarahkan-diri (self-direction). Pengaturan diri terhadap motivasi, afek, dan tindakan sebagian beroperasi melalui standar internal dan reaksi untuk mengevaluasi perilaku diri sendiri. Standar internal yang berfungsi sebagai dasar untuk mengatur perilaku individu memiliki stabilitas atau kemantapan yang lebih besar. Individu tidak cepat berubah menyangkut apa yang dia anggap benar atau salah, baik atau buruk.


c.    Kemampuan Refleksi-Diri (Self-Reflective)
Kemampuan merefleksikan diri merupakan atribut lain manusia yang menonjol dalam teori kognitif sosial. Individu bukan hanya agen tindakan tetapi juga menguji dirinya sendiri (self examiners). Ketika melakukan verifikasi yang melibatkan refleksi diri, individu menghasilkan ide-ide serta bertindak terhadap ide tersebut, atau memrediksi kejadian.
d.   Kemampuan Memosisikan Sebagai Orang Lain (Vicarious)
Teori-teori psikologis secara tradisional menekankan belajar melalui efek dari tindakan orang lain. Hampir semua perilaku, kognitif, dan afektif belajar dari pengalaman langsung dapat dicapai dengan cara vicarious atau mengamati tindakan individu-individu lain dan konsekuensinya bagi mereka. Pembelajaran sosial banyak terjadi dari lingkungan terdekat seseorang. Namun, informasi tentang nilai-nilai kemanusiaan, gaya berpikir, dan pola perilaku juga diperoleh dari simbol-simbol dari media massa.  Akibatnya, konsepsi tentang realitas dipengaruhi pengalaman vicarious melalui apa yang mereka lihat, dengar, dan baca, tanpa koreksi melalui pengalaman langsung. Semakin besar ketergantungan individu mengenai realitas pada simbol media massa, semakin besar adalah dampak sosialnya.
a.    Mekanisme Mengatur Pembelajaran Observasi
proses perhatian menentukan seleksi apa yang diamati dalam pengaruh dan informasi apa yang diambil dari kejadian yang sedang berlangsung. Sejumlah faktor memengaruhi eksplorasi dan pemahaman, seperti keterampilan kognitif, prasangka, dan preferensi nilai yang dianut oleh pengamat. Begitu pula, salience (tanda yang penting atau menonjol), daya tarik, dan nilai fungsional dari kejadian.
b.    Abstraksi Model
Modeling bukan hanya proses meniru perilaku. Modeling juga berpengaruh menyampaikan aturan untuk perilaku secara umum dan inovatif. Pengaturan nilai dan tindakan diatur berbeda untuk mewujudkan aturan dasar yang sama. Sebagai contoh, model mungkin menghadapi konflik moral yang berbeda tetapi menerapkan standar moral yang sama. Dalam bentuk ini lebih tinggi dari abstraksi model, pengamat mengambil aturan yang mengatur penilaian atau tindakan tertentu yang ditunjukkan oleh orang lain. Setelah mempelajari aturan, mereka dapat menggunakannya untuk menilai atau menyimpulkan kejadian perilaku baru melampaui apa yang pernah mereka lihat atau dengar.
c.    Efek Motivasi
Melihat tindakan orang lain mendapatkan hasil yang diinginkan dapat memunculkan harapan yang berfungsi insentif positif, sedangkan hasil yang tidak dinginkan dapat memunculkan harapan yang berfungsi sebagai insentif negatif atau disinsentif. Hasil yang sama dapat berfungsi sebagai hadiah atau hukuman tergantung pada perbandingan sosial antara hasil yang diamati dan pengalaman secara pribadi.

e.    Konstruksi Sosial Realitas
Representasi televisi terhadap realitas sosial mencerminkan ideologis dalam penggambaran atas sifat manusia, hubungan sosial, dan norma-norma serta struktur masyarakat (Adoni & Mane, 1984; Gerbner, 1972). Terpaan berat untuk dunia simbolik ini akhirnya membuat citra televisi nampak otentik untuk urusan manusia. Televisi membentuk pandangan manusia terhadap realitas kepercayaan dan konsep akibat penekanan atau penayangan simbol-simbol tertentu.
f.     Dorongan Sosial Terhadap Perilaku Manusia
Tindakan orang lain juga dapat berfungsi sebagai petunjuk sosial untuk perilaku yang dipelajari sebelumnya bahwa pengamat dapat melakukan tetapi belum melakukannya karena belum cukup dibujuk, bukan karena pembatasan. Efek dorongan sosial dibedakan dari pembelajaran observasional dan kurangnya pengendalian diri karena tidak ada perilaku baru yang diakuisisi, dan proses kekurangan pengendalian diri tidak terlibat karena perilaku elisitasi (berkelompok) secara sosial dapat diterima dan tidak dibebani oleh pembatasan.
Pengaruh model dalam mengaktifkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku orang lain banyak didokumentasikan baik pada laboratorium dan studi lapangan (Bandura, 1986). Dengan demikian, jenis model yang mendominasi dalam lingkungan sosial sebagian menentukan kualitas manusia, di antara banyak alternatif, secara selektif diaktifkan.
g.    Arus Pengaruh Dual-Link Versus Banyak Pola
Mode yang berbeda dari pengaruh manusia terlalu beragam untuk memiliki jalur tetap dari pengaruh atau kekuatan. Kebanyakan perilaku adalah hasil dari beberapa faktor penentu yang beroperasi. Dalam kasus perilaku yang tidak khas, biasanya dihasilkan oleh konstelasi penentu yang unik, sehingga jika salah satu dari mereka tidak hadir maka perilaku tidak akan terjadi. Tergantung pada kualitas dan koeksistensi penentu lainnya, pengaruh media yang mungkin subordinat, sama, atau lebih besar daripada pengaruh nonmedia.
h.    Difusi Sosial Melalui Model Simbolik
Diskusi sebelumnya banyak membahas model pada tingkat individu. Sebelumnya juga dicatat, bahwa keunikan dari model ini adalah mampunya ia mengantarkan informasi terbatas yang beragam ke banyak orang secara simultan melalui medium model simbolik. Kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi komunikasi mengubah karakter, cakupan, kecepatan dan lokus (area) dari pengaruh manusia (Bandura, 2001b).
1.    Difusi Model Determinan
2.    Pemodelan simbolik biasanya berfungsi sebagai pengantar yang penting dari inovasi kepada area yang luas dan berpencar. Hal ini khususnya terjadi pada tingkat awal dari penyebaran. Koran, majalah, radio dan televisi memberikan informasi kepada masyrakat tentang berita, risiko dan keuntungan. Ditambah, internet memungkinkan akses komunikasi yang instan ke seluruh dunia. Adopter awal, adalah mereka yang memiliki akses yang cukup baik terhadap sumber media dan informasi.
3.    Adoption Determinants
4.    Faktor-faktor yang menentukan individu untuk mengadopsi sebuah perilaku Insentif yang diperoleh dari perilaku tersebut, baik secara material, sosial, maupun hasil evaluasi diri. Adanya keinginan untuk memperoleh apresiasi sosial dan dorongan status. Seorang individu tidak mutlak mengadopsi nilai-nilai dari luar, tetapi juga mengolah dan menyesuaikan dengan konsep diri mereka.

4.    Agen manusia
Teori kognisi sosial mengambil sudut pandang yang bersifat agensi terhadap kepribadian, yaitu manusia mempunyai kapasitas untuk melakukan kontrol atas hidup mereka (2002b). Agen manusia adalah esensi dari kemanusiaan. Bandura (2001) yakin bahwa manusia bersifat meregulasi diri sendiri, proaktif, merefleksikan diri, dan dapat mengatur diri sendiri serta mempunyai kekuatan untuk memengaruhi tindakan mereka sendiri untuk menghasilkan konsekuensi yang diinginkan.
a.    Apek-aspek Inti Agen Manusia
Bandura (2001,2004) mendiskusikan empat aspek inti dari agensi manusia: intensionalitas, visi, reaktivitas diri, dan refleksi diri.
Intensionalitas merujuk kepada tindakan yang dilakukan seseorang secara bertujuan. Suatu intensi meliputi adanya perencanaan, tetapi juga meliputi tindakan, “Hal tersebut tidak hanya sebuah ekspektasi atau prediksi mengenai tindakan di masa depan, namun juga komitmen yang proaktif untuk mewujudkannya” (2001, hlm. 6). Intensionalitas tidak berarti bahwa semua rencana seseorang dapat membuahkan hasil Manusia terus mengubah rencana mereka saat menyadari konsekuensi dari tindakan mereka.
b.    Efikasi Diri
Bagaimana manusia bertindak dalam suatu situasi bergantung pada hubungan timbal-balik dari perilaku, lingkungan, dan kondisi kognitif, terutama faktor-faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinan bahwa mereka mampu atau tidak mampu melakukan suatu perilaku yang di perlukan untuk menghasilka pencapaian yang diinginkan dalam suatu situasi. Dalam model triadic reciprocal causal yang mempostulasikan bahwa lingkungan,perilaku, dan manusia mempunyai pengaruh yang interaktif terhadap satu sama lain, efikasi diri merujuk pada faktor manusia.
1.    Apakah Itu Efikasi Diri?
Efikasi diri bukan merupakan ekspektasi dari hasil tindakan kita. Bandura (1986, 1997) membedakan antara ekspektasi mengenai efikasi dan ekspektasi mengenai hasil Efikasi merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku, sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai konsekuensi perilaku tersebut. Hasil tidak boleh digabungkan dengan keberhasilan dalam melakukan perilaku tersebut; hasil merujuk pada konsekuensi dari perilaku, bukan penyelesaian melakukan tindakan tersebut Sebagai contoh, seorang pelamar kerja harus mempunyai kepercayaan diri bahwa dia dapat memberikan performa yang baik saat melakukan wawancara kerja, mempunyai kemampuan untuk menjawab berbagai kemungkinan pertanyaan, tetap santai dan terkontrol, serta menunjukkan perilaku bersahabat dengan kadar yang tepat Oleh karena itu, dia mempunyai efikasi diri yang tinggi mengenai wawancara keria.
2.    Hal-hal yang Mempengaruhi Efikasi Diri
Efikasi personal didapatkan, ditingkatkan, atau berkurang melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber: (1) pengalaman menguasai sesuatu {mastery experiences),, (2) modeling sosial, (3) persuasi sosial, serta (4) kondisi fisik dan emosional (Bandura, 1997). Dengan setiap metodenya, informasi mengenai diri sendiri dan lingkungan akan diproses secara kognitif dan bersama-sama dengan kumpulan pengalaman sebelumnya, akan mengubah persepsi mengenai efikasi diri.
Pengalaman Menguasai Sesuatu Sumber yang paling berpengaruh dari efikasi diri adalah pengalaman menguasai sesuatu, yaitu performa masa lalu (Bandura, 1997). Secara umum, performa yang berhasil akan meningkatkan ekspektasi mengenai kemampuan; kegagalan cenderung akan menurunkan hal tersebut Pernyataan umum ini mempunyai enam dampak. Pertama, performa yang berhasil akan meningkatkan efikasi diri secara proporsional dengan kesulitan dari tugas tersebut. Pemain tenis dengan keterampilan yang tinggi akan mengalami peningkatan efikasi diri yang sedikit saat mengalahkan lawan yang jelas-jelas inferior, tetapi pemain tersebut akan lebih mengalami peningkatan efikasi diri dengan menunjukkan performa yang baik menghadapi lawan yang lebih superior. Kedua, tugas yang dapat diselesaikan dengan baik oleh diri sendiri akan lebih efektif daripada yang diselesaikan dengan bantuan dari orang lain. Dalam olahraga, pencapaian dalam tim tidak meningkatkan efikasi personal daripada pencapaian individu. Ketiga, kegagalan sangat mungkin untuk menurunkan efikasi saat mereka tahu bahwa mereka telah memberikan usaha terbaik mereka. Kegagalan yang terjadi ketika kita tidak sepenuhnya berusaha, tidak lebih memengaruhi efikasi dibandingkan kegagalan saat kita memberikan usaha terbaik kita. Keempat, kegagalan dalam kondisi rangsangan atau tekanan emosi yang tinggi tidak terlalu merugikan diri dibandingkan kegagalan dalam kondisi maksimal Kelima, kegagalan sebelum mengukuhkan rasa menguasai sesuatu akan lebih berpengaruh buruk pada rasa efikasi diri daripada kegagalan setelannya. Dampak keenam dan yang berhubungan adalah kegagalan yang terjadi kadang-kadang mempunyai dampak yang sedikit terhadap efikasi diri, terutama pada mereka yang mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kesuksesan.
Modeling Sosial Sumber kedua dari efikasi diri adalah modeling sosial, yaitu vicarious experiertces. Efikasi diri meningkat saat kita mengobservasi pencapaian orang lain yang mempunyai kompetensi yang setara, namun akan berkurang saat kita melihat rekan sebaya kita gagal Saat orang lain tersebut berbeda dari kita, modeling sosial akan mempunyai efek yang sedikit dalam efikasi diri kita*
Secara umum, dampak dari modeling sosial tidak sekuat dampak yang diberikan oleh performa pribadi dalam meningkatkan level efikasi diri, tetapi dapat mempunyai dampak yang kuat saat memperhatikan penurunan efikasi diri. Melihat seorang perenang dengan kemampuan yang setara gagal untuk melewati sungai yang bergejolak akan membuat orang yang mengobservasi mengurungkan niat untuk melakukan hal yang sama. Dampak dari pengalaman tidak langsung ini, bahkan mungkin dapat bertahan seumur hidup.
Persuasi Sosial Efikasi diri dapat juga diperoleh atau dilemahkan melalui persuasi sosial (Bandura, 1997). Dampak dari sumber ini cukup terbatas, tetapi di bawah kondisi yang tepat, persuasi dari orang lain dapat meningkatkan atau menurunkan efikasi diri Kondisi pertama adalah bahwa orang tersebut harus memercayai pihak yang melakukan persuasi Kata-kata atau kritik dari sumber yang terpercaya mempunyai daya yang lebih efektif dibandingkan dengan hal yang sama dari sumber yang tidak terpercaya. Meningkatkan efikasi diri melalui persuasi sosial dapat menjadi efektif hanya bila kegiatan yang ingin didukung untuk dicoba berada dalam jangkauan perilaku seseorang. Sebanyak apa pun persuasi verbal dari orang lain tidak dapat mengubah penilaian seseorang mengenai kemampuan dirinya untuk berlari 100 meter dalam waktu di bawah 8 detik.
Bandura (1986) berhipotesis bahwa daya yang lebih efektif dari sugesti berhubungan langsung dengan status dan otoritas yang dipersepsikan dari orang yang melakukan persuasi. Status dan otoritas tentu saja tidak identik. Sebagai contoh, saran dari seorang psikoterapis kepada pasien fobia bahwa mereka dapat naik ke dalam lift yang penuh, akan lebih mungkin meningkatkan efikasi diri daripada dukungan dari pasangan atau anak seseorang. Akan tetapi, apabila psikoterapis yang sama memberitahukan pasien-pasien bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mengganti saklar lampu yang rusak, pasien ini mungkin tidak akan mendapatkan peningkatan efikasi diri kegiatan Ini Selain itu, persuasi sosial juga paling efektif saat dikombinasikan dengan performa yang sukses. Persuasi dapat meyakinkan seseorang untuk berusaha dalam suatu kegiatan dan apabila performa yang dilakukan sukses baik pencapaian tersebut maupun penghargaan verbal yang mengikutinya akan meningkatkan efikasi di masa depan.
Kondisi fisik dan emosional Sumber terakhir dari efikasi adalah kondisi fisiologis dan emosional dari seseorang (Bandura, 1997). Emosi yang kuat biasanya alun mengurangi performa saat seseorang mengalami ketakutan yang kuat. kecemasan akut, atau tingkat stres yang  tinggi kemungkinan akan mempunyai ekpektasi efikasi yang rendah.
3.    Agen Proxy
Proxy meliputi kontrol yang tidak langsung atas kondisi sosial yang dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari. Bandura (2001) mengatakan bahwa "tidak ada orang yang mempunyai waktu, energi, dan sumber daya untuk dapat menguasai semua aspek kehidupan sehari-hari Untuk dapat berfungsi dengan sukses, seharusnya melibatkan kombinasi ketergantungan pada agen proxy dalam beberapa area fungsi" (hlm. 13). Dalam masyarakat Amerika modern, manusia akan mendekati keputusasaan apabila hanya bergantung pada pencapaian pribadi untuk dapat mengelola hidupnya. Kebanyakan orang tidak mempunyai efikasi personal untuk memperbaiki pendingin ruangan, kamera, atau mobil mereka. Akan tetapi, melalui agen proxy, mereka akan dapat mencapai tujuan dengan bergantung pada orang lain untuk memperbaiki objek-objek tersebut Manusia berusaha untuk mengubah kehidupan mereka sehari-hari dengan menghubungi representasi mereka dalam kongres atau orang-orang berpengaruh lainnya; mencari mentor yang dapat membantu mereka belajar keterampilan yang berguna; menyewa tetangga yang masih muda untuk memotong rumput halaman mereka; bergantung pada layanan berita internasional untuk mengetahui kejadian-kejadian yang baru terjadi; mempertahankan pengacara mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum mereka; dan lain sebagainya.
Akan tetapi, proxy mempunyai sisi kelemahan. Dengan bergantung terlalu banyak terhadap kompetensi dan kekuatan orang lain, seseorang dapat mengurangi efikasi pribadi dan kolektif mereka. Seseorang dapat menjadi bergantung terhadap pasangannya untuk merawat dan mengatur rumah tangga; anak-anak berusia remaja akhir atau dewasa muda dapat berharap orang tua mereka untuk merawat mereka; dan penduduk dapat mulai bergantung pada pemerintah untuk menyediakan kebutuhan hidup mereka.
4.    Efikasi Kolektif
Bentuk ketiga dari agen manusia adalah efikasi kolektif. Bandura (2000) mendefinisikan efikasi kolektif sebagai "keyakinan yang dimiliki manusia mengenai efikasi kolektif mereka untuk mencapai hasil yang diinginkan" (him. 75). Dengan perkataan lain, efikasi kolektif adalah kepercayaan orang-orang bahwa usaha mereka bersama akan membawa suatu pencapaian kelompok Bandura (2000) mengajukan dua teknik untuk mengukur efikasi kolektif Pendekatan pertama adalah dengan mengombinasikan evaluasi individual dari dua anggota mengenai kemampuan pribadi mereka untuk melakukan perilaku yang dapat menguntungkan kelompok. Sebagai contoh, para aktor dalam suatu drama akan mempunyai efikasi kolektif yang tinggi apabila mempunyai keyakinan terhadap kemampuan pribadi mereka untuk dapat memainkan peranan dengan baik. Pendekatan kedua yang diajukan oleh Bandura adalah untuk mengukur kepercayaan yang dimiliki setiap orang mengenai kemampuan kelompok untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Sebagai contoh, para pemain bisbol mungkin memiliki kepercayaan yang rendah terhadap masing-masing rekan satu timnya, namun memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa tim mereka akan memberikan performa yang cukup baik Kedua pendekatan yang sedikit berbeda atas efikasi kolektif ini memerlukan teknik pengukuran yang berbeda.

5.    TEORI MASLOW
a.    Prinsip-prinsip Teori Maslow
Prinsip yang mendasari pada teori Abraham Maslow adalah keterkaitan dengan hirarki kebutuhan, yaitu Maslow berpendapat bahwa kebutuhan-kebutuhan level rendah harus terpenuhi atau paling tidak cukup terpenuhi terlebih dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi menjadi hal yang memotivasi. Lima kebutuhan yang membentuk hirearki ini adalah kebutuhan konatif (conative needs), yang berarti bahwa kebutuhan-kebutuhan ini memiliki karakter mendorong atau memotivasi. Kebutuhan-kebutuhan ini, yang Maslow sering kali sebut adalah kebutuhan dasar, dapat dibentuk menjadi sebuah hierarki atau tangga di mana anak tangga menggambarkan kebutuhan yang lebih tinggi, tetapi bukan merupakan kebutuhan untuk bertahan hidup. Kebutuhan-kebutuhan di level rendah mempunyai prapotensi atau kekuatan yang lebih besar dibandingkan kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi. Dengan demikian, kebutuhan-kebutuhan di level lebih rendah ini harus terpenuhi atau cukup terpenuhi lebihb dahulu sebelum kebutuhan-kebutuhan di level lebih tinggi bisa aktif.
Maslow (1970) mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan berikut ini berdasarkan prapotensi dari masing-masing: fisiologis (physiological), keamanan (safety), cinta dan keberadaan (love and belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi diri (self actualization).

1.      Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan yang mendasar bagi tiap manusia adalah kebutuhan fisiologis (physiological needs) termasuk didalamnya adalah makanan, air, oksigen, mempertahankan suhu tubuha, dan lain sebagainya. Kebutuhan psikologis adalah kebutuhan yang mempunyai kekuatan/pengaruh paling besar dan semua kebutuhan.
Pada masyarakat yang kaya dan berkecukupan, sebagian besar orang memenuhi akan rasa laparnya sebagai suatu hal yang biasa iya lakukan. Mereka biasanya mempunyai cukup makanan sehingga jika mereka mengatakan bahwa mereka lapar, yang mereka maksudkan sebenarnya adalah tentang selera makan, bukan rasa lapar. Seorang yang benar-benar lapar tidak akan terlalu memperhatikan rasa, bau, suhu dan tekstur dari makanan.
2.      Kebutuhan akan Keamanan
Ketika orang telah terpenuhi kebutuhan fisiologis mereka, mereka menjadi termotivasi denagn kebutuhan akan rasa aman (safety needs), yang termasuk di dalamnya adalah keamanan fisik, stabilitas, ketergantungan dan perlindungan, dan kebebasan dari kekuatan-kekuatan yang mengancam seperti perang, terorisme, penyaki, rasa malu, rasa takut, kecemasan, bahaya, kerusuhan dan bencana alam. Kebutuhan akan hukum, ketentraman, dan keteraturan juga merupakan bagian dari kebutuhan akan rasa aman (Maslow 1970).
Pada masyarakat yang tidak sedang mengalami perang, sebagian orang-orang dewasa yang sehat dapat memenuhi kebutuhan rasa aman mereka setiap waktu sehingga menjadikan kebutuhan ini cendrung tidak penting. Akan tetapi, anak-anak lebih sering termotivasi oleh kebutuhan akan rasa aman karena mereka hidup dengan ketakutan akan gelap, binatang, orang asing, dan hukuman dari orang tua. Selain itu, sebagian orang dewasa merasa cenderung tidak aman karena ketakutan tidak masuk akal dari masa kecil terbawa hingga dewasa dan menyebabkan mereka bertidak seolah-olah mereka takut akan hukuman dari orang tua. Mereka menghabiskan banyak nenergi yang dibutuhkan orang sehat untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman dan ketika mereka tidak berhasil memenuhi kebutuhan akan rasa aman tersebut, mereka akan mengalami apa yang disebut dengan Maslow sebagai kecemasan dasar (basic anxiety).
3.      Kebutuhan Cinta dan Keberadaan
Setelah orang memenuhi kebutuhan akan rasa fisiologis dan rasa aman, mereka menjadi termotivasi oleh kebutuhan akan cinta dan keberadaan (love and belongingeness needs), seperti keinginan untuk berteman, keinginan untuk memiliki pasang kekasih dan anak, kebutuhan untuk menjadi bagian dari sebuah keluarga, sebuah perkumpulan, sebuah lingkungan masyarakat, dan negara.
Orang yang kebutuhan keberadaan dan cinta cukup terpenuhi sejak masa kecil tidak menjadi panik ketika cintanya ditolak. Orang semacan ini mempunyai kepercayaan bahwa diri mereka akan diterima oleh orang-orang yang penting bagi mereka, jadi, ketika orang lain menolak mereka, mereka tidak merasa hancur.
4.      Kebutuhan Penghargaan
Setelah kebutuhan akan cinta dan keberadaan, mereka bebas untuk mengejar kebutuhan dan penghargaan (esteem needs),yang mencakup penghormatan diri, kepercayaan diri, kemampuan dan pengatahuan yang orang lain hargai. Maslow mengidentifikasi dua tingkatan kebutuhan akan penghargaan-reputasi dan harga diri. Reputasi adalah persepsi akan gengsi, pengakuan, atau ketenaran yang dimiliki seseorang, dilihat dari sudut pandang orang lain. Sementara harga diri adalah perasaan pribadi seseorang bahwa dirinya bernilai dan bermanfaat atau percaya diri. Harga diri didasari oleh lebih dari sekedar reputasi maupun gengsi.
5.      Kebutuhan Aktualisasi Diri
Ketika kebutuhan di level rendah terpenuhi, orang secara otomatis beranjak ke level berikutnya. Akan tetapi, setelah kebutuhan akan penghargaan terpenuhi, orang tidak selalu bergerak menuju level aktualisasi diri. Awalnya Maslow berasumsi bahwa kebutuhan akan aktualisasi diri muncul jika kebutuhan penghargaan terpenuhi.
Kebutuhan akan aktualisasi diri mencakup pemenuhan diri, sadar akan semua potensi diri, dan keinginan untuk menjadi sekreaktif mungkin (Maslow, 1970) orang-orang yang telah menuju level aktualisasi diri menjadi orang yang seutuhnya, memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang orang lain hanya lihat sekilas atau bahkan tidak terlihat sama sekali.
Orang-orang yang mengaktualisasikan diri dapat mempertahankan harga diri mereka bahkan ketika mereka dimaki, dicaci, ditolak, dan diremehkan oleh orang lain.
6.      Kebutuhan Estetika
Berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan konatif, kebutuhan estetika (aesthetic needs) tidaklah bersifat universal. Orang-orang dengan kebutuhan estetika yang kuat menginginkan lingkungan yang indah dan teratur dan ketika kebutuhan ini tidak terpenuhi, mereka akan merasa sakit sama halnya seperti orang-orang yang tidak terpenuhi kebutuhan-kebutuhan konatifnya juga merasa sakit. Orang-orang estetika lebih menyukai sesuatu yang indah daripada sesuatu yang jelek dan bahkan mereka bisa mengalami sakit fisik dan psikologis jika dipaksa untuk tinggal di lingkungan yang kotor dan tidak teratur (Maslow,1970).
7.      Kebutuhan Kognitif
Sebagian besar orang mempunyai keinginan untuk mengetahui, untuk memecahkan misteri, untuk memahami dan untuk menjadi penasaran. Maslow (1970) menyebut keinginan-keinginan ini sebagai kebutuhan kognitif (cognitive needs). Ketika kebutuhan kognitif tidak terpenuhi maka semua kebutuhan pada hierraki Maslow terancam tidak bisa terpenuhi karena pengetahuan merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk memenuhi masing-masing dari kelima kebutuhan konatif tersebut. Seseorang dapat memenuhi kebutuhan fisiologis mereka dengan cara mengetahui bagaimana cara medapatkan makanan, kebutuhan keamanan dapat terpenuhi dengan cara mengetahui bagaimana membangun rumah.
8.      Kebutuhan Neurotik
Pemenuhan kebutuhan konatif, estetika dan kognitif merupakan dasar bagi tercapainya kesehatan fisik dan psikologis seseorang. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan mengarah pada penyakit, akan tetapi kebutuhan neurotic hanya mengarah pada kegagalan berkembang dan penyakit (Maslow, 1970). Kebutuhan neurotic tidak produktif. Kebutuhan-kebutuhan ini memupuk gaya hidup yang tidak sehat dan tidak adanya keinginan untuk berusaha memperoleh aktualisasi diri. Kebutuhan neurotic bersifat reaktif yaitu kebutuhan ini berperan sebagai kompensasi atas kebutuhan-kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi.
b.   Konsep Maslow Tentang Motivasi
 kepribadian Maslow dibuat berdasarkan beberapa asumsi dasar mengenai motivasi. Pertama Maslow (1970) mengadopsi sebuah pendekatan menyeluruh pada motivasi (holistic approach to motivation). Yaitu, keseluruhan dari seseorang bukan hanya satu bagian saja atau fungsi, termotivasi.
Kedua, motivasi biasanya kompleks atau terdiri dari beberapa hal (motivation in usually complex), yang berarti tingkah laku sesorang dapat muncul dari beberapa motivasi yang terpisah. Contohnya, keinginan untuk berhubungan seksual dapat termotivasi tidak hanya oleh adanya kebutuhan yang kaitannya dengan alat kelamin, tetapi juga oleh kebutuhan akan dominasi, kebersamaan, cinta, dan harga diri. Selain itu, motivasi untuk melakukan sebuah tingkah laku yang didasari maupun tidak disadari oleh orang yang melakukan. Contohnya, motivasi seorang mahasiswa untuk mendapatkan nilai tinggi dapat menutupi motivasi sesungguhnya yang adalah kebutuhan untuk mendominasi kekuasaan. Pandangan Maslow tentang pentingnya motivasi yang tidak disadari menggambarkan satu perbedaan penting antara dirinya dengan Gordon Allport. Allport mungkin mengatakan bahwa seseorang bermain golf karena mendapatkan kesenangan dari permainan tersebut, sementara Maslow akan melihat lebih jauh dari sekedar motivasi yang tampak dan melihat alasan-alasan untuk bermain golf yang biasanya terdiri dari beberapa alasan.
Asumsi ketiga adalah bahwa orang-orang berulang kali termotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan (people are continually motivated by one need or another). Ketika sebuah kebutuhan terpenuhi, biasanya kebutuhan tersebut berkurang kekuatan untuk memotivasinya dan digantikan oleh kebutuhan lain. Contohnya selama kebutuhan akan makan/rasa lapar belum terpenuhi, orang akan selalu berusaha mendapatkanmakanan. Akan tetapi, ketika mereka sudah mendapat cukup makan, mereka beralih ke kebutuhan-kebutuhan lain seperti keamanan, pertemanan, dan penghargaan diri.
Asumsi lainnya adalah bahwa semua orang dimanapun termotivasi oleh kebutuhan dasar yang sama (all people everywhere are motivated by the same basic needs). Bagaimana cara orang-orang di kultur yang berbeda-beda memperoleh makan, membangun tempat tinggal, mengekspresikan pertemanan, dan seterusnya bisa bervariasi, tetapi kebutuhan dasar untuk makan, keamanan, dan pertemanan merupakan kebutuhan yang berlaku umum untuk semua psesies.
Asumsi terakhir mengenai motivasi adalah bahwa kebutuhan-kebutuhan dapat dibentuk menjadi sebuah heirarki (need can be arranged on a hierarchy). 
c.    Aktualisasi diri dan Pengukur
1.    Konsep Aktualisasi Diri Maslow
Awal sejarah munculnya pemikiran Maslow tentang aktualisasi diri yaitu ketia ia bingung memilikirkan tentang dua orang gurunya (Antropolog “Ruth Benedich” dan Psikolog “ Wertheimer” yang sangat berbeda dengan banyak orang) di New York City. Pandangan yang dimiliki maslow tentang kedua orang gurunya ini adalah menggambarkan level atau tahap perkembangan manusia yang tinggi, sehingga Maslow menyebutnya dengan “aktualisasi diri” ketika itu maslow memperoleh gelar Ph. D-nya.

2.      Kriteria Aktualisasi Diri
Apa saja keriteria seseorang yang mengaktualisasi diri?  Pertama mereka yaitu seseorang terlepas dari psikopatologi atau dikenal dengan penyakit psikologis, maka jelas sekali bahwasanya jika sesorang mngidap gangguan kejiawaan tentunya tidak akan mampu mengaktualisasi diri dengan berbagai fungsi jiwa yang sudah terganggu. Bahkan Maslow mengatakan bahwa sekalipun hanya mengalami kecendrungan akan gangguan psikologis.
Yang kedua yaitu orang-orang yang mengaktualisasi diri ini telah menjalani hirearki kebutuhan dan oleh karena itu mereka hidup dengan level kecukupan yang tinggi dan tidak mengalami ancaman terhadap keamanan. Dan selain itu Maslow mengatakan bahwa mereka telah terpenuhi rasa penghargaan diri yang kuat, otomatis pada tahap ini mereka telah memenuhi pada level yang pertama. Pada orang ynag mengaktualisasi diri mampu menerima apabila kebutuhan tidak terpenuhi dan mampu menerima berbagai kesulitan sperti di hina oleh orang lain, serta mereka memiliki cinta yang bermacam-macam terhadap orang lain, namun tidak memiliki kewajiban untuk mencintai semua orang (dalam Feist & Feist 2010, 343).
Keriteria yang ketiga yaitu seseorang menjunjung nilai-nilai B. Orang-orang yang mengaktualisasi diri dalam daftarnya merasa nyaman dan menuntut kejujuran, keindahan, keadilan, kesederhanaan, kejenakaan, dan masing-masing nilai B lainnya.
Yang treakhir yaitu “ menggunakan seluruh bakat, kemampuan, potensi, dan lainnya”. Singkatnya Maslow mengatakan orang yang mengaktualisasi diri dalam daftarnya yaitu manusia yang memenuhi kebutuhannya untuk tumbuh , berkembang,dan semakin menjadi apa yang mereka bisa.
3.      Nilai- nilai dari Orang-orang Yang Mengaktualisasi Diri
Menurut Maslow orang yang mengaktualisasi diri termotivasi oleh “prinsip hidup yang abadi” (eternal varities) yang ia sebut sebagai nilai B. Nilai-nilai “Being” (“Kehidupan”) ini merupakan indikator dari kesehatan psikologis dan merupakan kebalikan dari kebutuhan akan kekurangan (deficiency needs), yang memotivasi orang-orang yang nonaktualisasi diri.
Nilai B yang dinaytakan maslow adalah “metakebutuhan” yang menunjukkan kebutuhan pada level tertinggi dan ia membedakan antara motivasi kebutuhan dengan motivasi dalam aktualisasi diri yang disebutnya dengan “metamotivasi”.
Dalam hal ini metamotivasi memiliki ciri-ciri yaitu bertingkahlaku ekpresif dan hanya orang yang menjunjung tinggi nilai B yang mengaktualisasi diri dan dengan sendiri mampu melakukan metamotivasi.
Dalam hal ini terdapat 14 nilai B dimana diantaranya yaitu: Kejujuran, kebaikan, keindahan, keutuhan, perasaan hidup atau spontanitas, keunikan, kesempurnaan, kelengkapan, keadilan dan keteraturan, kesederhanaan, kekayaan atau totalitas, membutuhkan sedikit usaha, penuh kesenangan atau kejenakaan, kemandirian atau kebebasan, Nilai inilah yang membedakan antara orang yang mengaktualisasi diri dengan orang yang perkembanganpsikologinya berhenti setelah mereka mencapai kebutuhan akan penghargaan. Dan maslow meyakini bahwa orang yang tidak mencapai metakebutuhan mereka akan mengalami penyakit, yaitu eksistensi. Tidak terpenuhinya salah satu nilai B diatas maka akan berakibat pada metapatologi, atau kurangnya filosofi hidup yang bermakna.
4.      Karakteristik Dari Orang Yang Mengaktualisasikan Diri
Maslow (dalam Feist & Feist 2010, 345) menyatakan bahwa selain dari memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar orang yang mengaktualisasikan diri juga memiliki nilai B, dan berikut ada lima belas karakteristik yang merupakan ciri-ciri orang yang mengaktualisasikan diri sampai pada batasan tertentu.
a.    Persepsi Yang Lebih Efisien Akan Kenyataan
b.   Penerimaan Akan Diri, Orang Lain, Dan Hal-Hal Yang Alamiah
c.    Spontanitas, Kesederhanaan, Dan Kealamian
d.   Berpusat Pada Masalah
e.    Kebutuhan Akan Privasi
f.     Kemandirian
g.    Penghargaan Yang Selalu Baru
h.   Pengalaman Puncak
i.      Gemeinschaftsgefiihl
j.     Hubungan Interpersonal Yang Kuat
k.   Struktur Karakter Demokratis
l.      Diskriminasi Antara Cara Dan Tujuan
m. Rasa Jenaka/ Humor Yang Filosofis
n.   Kreativitas
o.    Tidak Mengikuti Enkulturasi/Apa Yang Diharuskan Oleh Kultur

5.      Mengukur Aktualisasi Diri
Fiverett L Shostram (1974) mengembangkan Personal Oiientation Inventory (POI) dalam usahanya untuk mengukur nilai-nilai dan tingkah laku dari orang-orang yang mengaktualisasi diri Alat im terdiri dari 150 pernyataan dengan 2 pilihan jawaban (forced-choice items)..
POI mempunyai 2 skala utama dan 10 subskala. Skala utama yang pertama— skala Kemampuan Waktu atau Ketidakmampuan Waktu (Time Competence atau Time Incompetence scale)—mengukur derajat apakah orang berorientasi pada masa kini Skala utama yang kedua—skala Pendukung (Support scale)—"di bentuk untuk mengukur apakah . reaksi seseorang berorientasi pada "diri sendiri* atau berorientasi pada orang lain* (Shostrom, 1974, hlm. 4). Sepuluh subskala mengukur derajat.
Alat pengukuran aktualisasi diri yang lain adalah Brief Index of Sel/ Ai (utilization, yang dibuat oleh John Sumerlin dan Charles Bundrick (1996, 1998).


B.  IMPLEMENTASI  TEORI-TEORI KEPRIBADIAN  DALAM BIMBINGAN KONSELING
1.    Aplikasi Teori Kepribadian Erikson Pada Anak Jenjang Pendidikan TK
a.    Permasalahan Siswa TK
Dalam penyelenggaraan pendidikan metode pembelajaran ada berbagai metode yang dilakukan oleh para pendidik. Diantaranya adalah metode belajar sambil bermain ataupun bermain sambil belajar. Pada hakikatnya dua macam metode tersebut sama-sama saling mendukung dalam proses belajar anak didik.
Pada umumnya dalam proses pendidikan pada anak balita atau usia dini lebih diutamakan pada metode bermain sambil belajar. Hal ini dilakukan karena metode ini lebih sesuai dengan kondisi anak-anak yang cenderung lebih suka bermain. Maka para pendidik memanfaatkan hal ini untuk mendidik mereka dengan cara bermain sambil belajar yaitu disamping mereka bermain mereka sekaligus mengasah ketrampilan dan kemampuan. Cara ini akan lebih berkesan dalam memori otak anak-anak untuk perkembangan pengetahuannya karena pada usia dini adalah masa-masa perkembangan memori otak sangat pesat.
Di seluruh dunia anak bermain. Bermain bagi anak bagaikan bekerja bagi manusia dewasa. Ada anak-anak yang bermain dengan patut, namun ada juga yang bermain “cukup berbahaya” mereka lakukan sebagai kanak-kanak. Peran pendidikanlah untuk mengawal bagaimana permainan dapat menumbuh kembangkan mereka secara patut dan utuh sebagai anak manusia.
Anak-anak senantiasa tumbuh dan berkembang. Mereka menampilkan ciri-ciri fisik dan psikologis yang berbeda untuk tiap tahap perkembangannya. Masa anak-anak merupakan masa puncak kreativitasnya, dan kreativitas mereka perlu terus dijaga dan dikembangkan dengan menciptakan lingkungan yang menghargai kreativitas yaitu melalui bermain. Oleh karena itu, pendidikan di TK yang menekankan bermain sambil belajar dapat mendorong anak untuk mengeluarkan semua daya kreativitasnya. 
Seluruh potensi kecerdasan anak akan berkembang optimal apabila disirami suasana penuh kasih sayang dan jauh dari berbagai tindak kekerasan, sehingga anak-anak dapat bermain dengan gembira. Oleh karena itu, kegiatan belajar yang efektif pada anak dilakukan melalui cara-cara bermain aktif yang menyenangkan, dan interaksi pedagogis yang mengutamakan sentuhan emosional, bukan teori akademik.
Menurut Erikson, tahap perkembangan ketiga erikson adalah usia bermain, periode yang meliputi waktu yang sama dengan fase falik (phallic) sekitar usia 3-5 Erikson (1982) menyatakan bahwa selain mengidentifikasi diri dengan orang tua mereka, anak-anak usia prasekolah mengembangkan daya gerak, keterampilan berbicara, keingintahuaan, imajinasi, dan kemampuan untuk menentukan tujuan. Pada tahap ini ada beberapa tugas yang dilalui oleh seorang anak.
a.    Gaya Lokomotor Genital
Erikson melihat situasi Oedipal sebagai prototipe “kekuatan seumur hidup akan keriangan manusia”. Dengan kata lain, Oedipus conplex adalah drama yang dimainkan dalam  imajinasi anak-anak mencakup pengertian yang dimulai meningkat akan konsep dasar, seperti reprodusi, pertumbuhan, masa depan, dan kematian.
b.   Inisiatif Versus Rasa Bersalah
Tahap ini adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai  5 atau 6 tahun (pra sekolah). Tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Pada umumnya di tahap ini anak terlihat sangat aktif, suka berlari, berkelahi, memanjat dan suka menantang lingkungannya. Dengan menggunakan bahasa, fantasi dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan harga diri. Bila orangtua berusaha memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima keaktifan anak dalam bermain, maka anak akan belajar untuk mendekati apa yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi semakin kuat. Sebaliknya bila orangtua kurang memahami, kurang sabar, suka memberi hukuman dan menganggap bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya.
c.    Tujuan (Kekuatan Dasar Usia Bermain)
Anak-anak sekarang bermain dengan tujuan, bersaing dalam permainan dengan tujuan menang atau mencapai puncak. Mereka menentukan sasaran dan mengejar sasaran itu dengan tujuan. Usia bermain juga merupakan tahpan dimana anak-anak mengembangkan hati nurani dan mulai meletakkan benar dan salah pada tingkah laku mereka. Hati nurani di masa muda ini menjadi landasan akan moralitas.
Jenis Kegiatan Bermain
Ada tiga jenis kegiatan bermain yang mendukung pembelajaran anak, yaitu, bermain fungsional atau sensorimotor, bermain peran, dan bermain konstruktif. 
Bermain fungsional atau sensorimotor dimaksudkan bahwa anak belajar melalui panca inderanya dan melalui hubungan fisik dengan lingkungannya. Kebutuhan sensorimotor anak didukung ketika anak-anak disediakan kesempatan untuk bergerak secara bebas berhubungan dengan bermacam-macam bahan dan alat permainan, baik di dalam maupun di luar ruangan, dihadapkan dengan berbagai jenis bahan bermain yang berbeda yang mendukung setiap kebutuhan perkembangan anak. Anak dibina dengan berbagai cara agar mereka dapat bermain secara penuh dan diberikan sebanyak mungkin kesempatan untuk menambah macam gerakan dan meningkatkan perkembangan sensorimotor. 
Bermain peran disebut juga bermain simbolik, pura-pura, fantasi, imajinasi, atau bermain drama. Bermain peran ini sangat penting untuk perkembangan kognisi, sosial, dan emosi anak pada usia tiga sampai enam tahun. Bermain peran dipandang sebagai sebuah kekuatan yang menjadi dasar perkembangan daya cipta, tahapan ingatan, kerja sama kelompok, penyerapan kosa kata, konsep hubungan kekeluargaan, pengendalian diri, keterampilan spasial, afeksi, dan keterampilan kognisi. Bermain peran memungkinkan anak memproyeksikan dirinya ke masa depan dan menciptakan kembali masa lalu. Kualitas pengalaman main peran tergantung pada beberapa faktor, antara lain; (1) cukup waktu untuk bermain, (2) ruang yang cukup, dan (3) adanya peralatan untuk mendukung bermacam-macam adegan permainan.
Menurut Erikson terdapat dua jenis bermain peran, yaitu bermain peran mikro dan makro. Bermain peran mikro dimaksudkan bahwa anak memainkan peran dengan menggunakan alat bermain berukuran kecil, misalnya orang-orangan kecil yang lagi berjual beli. Sedangkan bermain peran makro, anak secara langsung bermain menjadi tokoh untuk memainkan peran-peran tertentu sesuai dengan tema. Misalnya peran sebagai ayah, ibu, dan anak dalam sebuah rumah tangga.
Bermain konstruktif dilakukan melalui kegiatan bermain untuk membuat bentuk-bentuk tertentu menjadi sebuah karya dengan menggunakan beraneka bahan, baik bahan cair, maupun bahan terstruktur, seperti air, cat, krayon, playdough, pasir, puzzle, atau bahan alam lain. Bermain pembangunan menurut Piaget dapat membantu mengembangkan keterampilan anak dalam rangka keberhasilan sekolahnya dikemudian hari. Melalui bermain pembangunan, anak juga dapat mengekspresikan dirinya dalam mengembangkan bermain sensorimotor, bermain peran, serta hubungan kerja sama dengan anak lain dan menciptakan karya nyata.
Dalam kegiatan bermain, dikenal adanya konsep intensitas dan dentitas. Konsep intensitas menekankan pada jumlah waktu yang dibutuhkan anak untuk berpindah melalui tahap perkembangan kognisi, sosial, emosi, dan fisik yang dibutuhkan Misalnya anak-anak harus memiliki pengalaman harian yang memungkinkan mereka untuk berinteraksi dengan bahan yang bersifat cair, mendapatkan kesempatan untuk menggambar, melukis, dan keterampilan awal menulis. Bahan-bahan seperti kertas dengan tekstur, ukuran, dan warna yang berbeda, dengan spidol dan krayon, papan lukis dengan kertas berbagai ukuran dan kuas akan membantu anak sepanjang waktu untuk berkembang melalui tahap awal dari corat-coret menuju ke penciptaan sesuatu yang bermakna dan menuju ke menulis kata dan kemudian kalimat. 
Konsep densitas menekankan pada keanekaragaman kegiatan bermain yang disediakan untuk anak di lingkungannya. Kegiatan ini harus memperkaya kesempatan pengalaman anak melalui beberapa jenis bermain yang dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan perkembangan anak. Misalnya untuk melatih keterampilan pembangunan anak dapat menggunakan cat di papan lukis, nampan cat jari, cat dengan kuas kecil di atas meja, dan sebagainya. Anak-anak dapat menggunakan palu dengan paku dan kayu, sisa-sisa bahan bangunan untuk berlatih keterampilan pembangunan terstruktur. Dengan demikian berarti dalam kegiatan bermain harus mempunyai intensitas dan dentitas yang memadai.
Dengan menyediakan beraneka jenis mainan yang tepat bagi anak, peralatan, dan tempat yang memadai, serta memberi kesempatan yang cukup kepada anak untuk bermain, misalnya anak mendapat kesempatan memilih serangkaian kegiatan bermain setiap hari untuk terlibat dalam bermain peran, bermain pembangunan, dan sensorimotor, hal itu berarti memberi layanan pendidikan kepada anak TK secara optimal.
Untuk menunjang kebutuhan guru TK dalam penguasaan materi permainan untuk siswa TK maka perlu diselengarakan Pelatihan untuk guru-guru TK.

Rancangan pelatihan Untuk Guru TK
a.    Rencana Program
Program yang akan diselenggarakan adalah Pelatihan Guru dalam menyusun naskah cerita dan membuat sosiodrama.
Pelatihan ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru TK dalam membuat cerita dan membuat sosiodrama  untuk anak-anak TK.
b.   Rencana Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan ini adalah Musyawarah Guru TK Kota Semarang dengan susunan sebagai berikut :
1.    Penyelenggara                      : Musyawarah Guru TK (MGTK) Kota Semarang
2.    Penanggungjawab                : Ketua MGTK Kota Semarang
3.    Instruktur                             : Dosen PGTK Universitas Negeri Semarang
4.    Peserta                                  : Guru TK dan PAUD sekota Semarang
5.    Anggaran                             : Kas MGTK, Iuran Peserta,  Sponsor.

c.    Rencana Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal                   : Sabtu-Minggu/25-26 Juni 2016
Pukul                              : 08.00 – 16.30 WIB
Tempat                           : Gedung Serba Guna UNNES
Metode  Kegiatan :
1.    Curah pendapat (brain storming) digunakan untuk menggali masalahmasalah yang dijumpai oleh guru TK dalam pelaksanaan bercerita,
2.    membuat cerita dan menyusun sosiodrama guna stimulasi kognisi, afeksi dan motorik  anak TK
3.    Ceramah, dipakai untuk menyampaikan materi tentang bercerita, membuat cerita dan menyusun sosiodrama
4.    Diskusi dan tanya jawab digunakan untuk membahas berbagai masalah tentang pelaksanaan bercerita, membuat cerita dan menyusun sosiodrama
5.    Lomba Bercerita, Membuat Cerita dan Menyusun Sosiodrama
masyarakat adalah sebagai berikut :
    
Materi Kegiatan :
1.    Pentingnya permainan pada anak usia dini
2.    Meningkatkan pemahaman para guru TK tentang metode cerita dan sosiodrama dalam pembelajaran di TK.
3.    Praktek membuat cerita untuk anak
4.    Praktek menyusun sosidrama yang dapat dipraktekkan anak
5.    Lomba Cerita bagi peserta
6.    Lomba menyusun nakah sosiodrama bagi peserta

Diharapkan setelah peserta mengikuti pelatihan ini mampu:
1.    Memahami konsep bermain untuk perkembangan anak
2.    Mampu menyusun cerita untuk anak
3.    Mampu menyusun naskah sosiodrama dan mempraktekkannya.

d.   Rencana Evaluasi
1)   Evaluasi proses yaitu mengevaluasi jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
2)   Evaluasi hasil dilakukan untuk memperoleh informasi keefektifan kegiatan pelatihan dalam pengembangan metode cerita dan sosiodrama dalam pembelajaran di TK.

2.    Aplikasi Teori Kepribadian Behavior Skinner  Pada Anak Jenjang Pendidikan SD
a.    Contoh Masalah pada siswa SD
Proses belajar anak SD merupakan kondisi yang sangat penting sebagai landasan pendidikan anak. Namun demikian kondisi belajar tesebut terkadang mengalami permasalahan yang tentu saja dapat mempengaruhi proses belajar anak. Guru menyadari bahwa bermacam ragam permasalahan belajar dialami siswa. Bahkan guru juga harus kondisi fisikm psikis, maupun lingkungan siswa juga dapat jadi sumber timbulnya masalah-masalah dalam belajar. Ada anak yang memiliki kemampuan belajar kurang cepat menagkap materi pembelajaran, namun juga ada yang dengan cepat dapat menangkap materi pembelajaran.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan pemahan yang tepat bagi  guru SD tentang teori-teori belajar. Diantaranya adalah teori yang dicetuskan oleh Skinner. Dalam proses belajar – mengajar menyangkut pemberian reinforcement baik positif maupun negative.
Rencana pelatihan yang akan diberikan adalah pelatihan tentang teori pembelajaran.

b.        Rancangan pelatihan Untuk Guru SD
Rencana Program
Program yang akan diselenggarakan adalah Pelatihan Guru SD  alam pemberian penguat positi maupun negative terhadap  siswa. Pelatihan ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru SD dalam penguasaan teori belajar .
c.         Rencana Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan ini adalah Musyawarah Guru SD Kota Semarang dengan susunan sebagai berikut :
1.    Penyelenggara                                      : Musyawarah guru SD
2.    Penanggungjawab                                : Ketua musyawarah guru SD
3.    Instruktur                                             : Dosen PGSD Universitas
                                                   Negeri Semarang
4.    Peserta                                                  : Guru SD se kota semarang
5.    Anggaran                                              : Kas MGSD, Iuran Peserta,
  Donatur, Sponsor.

d.   Rencana Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal                      : Sabtu/25 Juni 2016
Pukul                                 : 08.00 – 16.30 WIB
Tempat                              : Gedung Serba Guna UNNES
Metode  Kegiatan :
1.    Ceramah
2.    Diskusi
       
Materi Kegiatan :
1.    Presentasi tentang teori behavioristik
2.    Diskusi peserta

Diharapkan setelah peserta mengikuti pelatihan ini mampu:
1.    Memahami konsep tentang behavioristik
2.    Mampu memahami kondisi psikis anak

e.    Rencana Evaluasi
1.    Evaluasi proses yaitu mengevaluasi jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
2.    Evaluasi hasil dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan anak didik.

3.    Aplikasi Teori Kepribadian Person Center Rogers  Pada Anak Jenjang Pendidikan SMP
a.    Contoh Permasalahan Pada Jenjang SMP
Secara umum keberhasilan siswa dalam mengikuti. pelajaran di sekolah merupakan ukuran dari berhasil atau tidaknya seorang siswa mencapai tujuannya. Dalam pendidikan, berhasilnya seorang siswa memenuhi tuntutan tugas pelajarannya merupakan suatu kesuksesan.Keberhasilan ataupun kegagalan yang dialami siswa dapat merupakan suatu pengalaman belajar. Pengalaman belajar ini dapat menghasilkan perubahan-perubahan dalam bidang pengetahuan atau pemahaman tarhadap sesuatu, dalam bidang ketrampian dan dalam bidang tingkah laku. Pengalaman belajar dari siswa dapat dinilai oleh pendidik melalui prestasi belajar. Oleh karena itu, diperlukan konsep diri yang positif, yakni sesuai dengan apa sebenarnya ada pada diri siswa. Dengan konsep diri yang positif, siswa diharapkan dapat mencapai prestasi belajar yang memadai. Konsep diri besar pengaruhnya terhadap perilaku. Oleh karena itu, perlu dicari upaya atau intervensi untuk meningkatkan konsep diri mereka, sehingga dikemudian hari, anak-anak ini dapat berkembang menjadi manusia pembangunan yang berkualitas.
Konsep diri (self concept) menurut Rogers adalah konsep dimana dimana “aku“ merupakan pusat referensi seluruh aspek di setiap pengalaman yang disadari. Konsep diri (self concept) adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku. Dibagi menjadi 2:
a.    Konsep Diri Real : kenyataaan yang ada pada diri individu / individu apa adanya.
b.    Konsep Diri Ideal : pandangan seseorang terhadap diri sebagaimana yang ia harapkan, bersifat positif, dan ingin dimiliki seseorang.
Hubungan keduanya:
a.    Kongruen, apabila ada sedikit saja perbedaan antara konsep diri real dan diri ideal, individu akan cenderung sehat secara psikologis.
b.        Inkongruen, apabila ada perbedaan yang signifikan antara konsep diri real dan diri ideal, individu akan cenderung sakit secara psikologis karena mengalami kecemasan & ancaman.

Karena begitu pentingnya konsep diri bagi perkembangan siswa, maka diperlukan pemahaman konsep diri yang benar bagi peserta didik.
Burns (1993) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri sebagai berikut :
a.       Diri fisik dan citra tubuh, yaitu evaluasi terhadap diri fisik sebagai suatu obyek yang jelas-jelas berbeda. Kesadaran dan citra tubuh yang pada mulanya dilengkapi melalui persepsi indrawi, adalah inti mendasar dimana acuan diri dan identitas dibentuk.
b.      Bahasa, yaitu kemampuan untuk mengkonseptualisasikan dan memverbalisasikan diri dan orang-orang lainnya. Bahasa timbul untuk membantu proses diferensiasi yang berlangsung lambat dari diri orang-orang lainnya begitu pula untuk memudahkan pemahaman atas banyak umpan balik dari orang lain.
c.       Umpan balik dari orang lain yang dihormati, umpan balik ini ditafsirkan dari lingkungannya tentang bagaimana orang-orang lain yang dihormatinya memandang pribadi tersebut dan tentang bagaimana pribadi tadi secara relatif ada dibandingkan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang bermacam-macam.
d.       Identifikasi dengan model peranan seks yang stereotipenya sesuai.
e.       Praktek-praktek membesarkan anak atau pola asuh.
Untuk dapat memberikan pemahaman konsep diri yang benar dan supaya dapat melatih konsep diri pada peserta didik, maka diperlukan pelatihan Pemahaman konsep diri untuk guru-guru BK SMP di kota Semarang

b.    Rancangan pelatihan Untuk Guru BK SMP
1.    Rencana Program
Program yang akan diselenggarakan adalah Pelatihan Pemahaman Konsep Diri Untuk Peserta Didik..
Pelatihan ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman  guru BK  dan ketrampilan di dalam melaksanakan pelatihan konsep diri bagi peserta didik
2.    Rencana Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan ini adalah Musyawarah Guru BK Kota Semarang dengan susunan sebagai berikut :
a.    Penyelenggara             : Musyawarah Guru BK (MGBK) Kota Semarang
b.    Penanggungjawab       : Ketua MGBK Kota Semarang
c.    Instruktur                    : Widyaiswara LPMP Kota Semarang
d.   Peserta                         : Guru BK SMP sekota Semarang
e.    Anggaran                     : Kas MGBK, Iuran Peserta, Donatur, Sponsor.

3.    Rencana Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal                     : Sabtu /30 Juli 2016
Pukul                                : 08.00 – 16.30 WIB
Tempat                             : Gedung Serba Guna SMP N 2 Semarang
Metode  Kegiatan :
1.    Ceramah dari nara sumber
2.    Diskusi berkaitan dengan materi pelatihan (Konsep diri)
3.    Praktek pelatihan
    
Materi Kegiatan :
a.    Pemaparan materi oleh nara sumber
b.    Diskusi kelompok
c.    Praktek pelatihan konsep diri


Tahap1 : Pembentukan :
Pada tahap dilaksanakan perkenalan untuk meningkatkan kohesivitas kelompok
 
Tujuan      :  Peserta lebih saling mengenal, Peserta ikut serta secara
   aktif dalam kelompok
Waktu       : 15 menit
Tempat     : Ruang yang cukup untuk menampung semua peserta
  (8 guru)


KEGIATAN  :
I. Pengantar
Pelatih menjelaskan pada peserta bagaimana jalannya permainan, dan memberi  instruksi cara bermain.
II. Langkah-langkah
1.   Pelatih memotong selembar  kartu  bergambar menjadi dua, lalu dicampur aduk,  untuk kemudian dibagikan kepada peserta. 
2.   Setelah masing-masing  mendapat kartu, peserta diminta untuk mencari pemilik potongan gambar untuk dicocokkan. Kemudian mereka berkenalan dengan pasangannya dan meminta penjelasan lengkap tentang dirinya (nama lengkap, alamat, hobi dan motto hidup).
3.   Selanjutnya peserta diminta duduk kembali dan pasangannya diminta saling memperkenalkan pasangannya secara bergantian di depan kelas.
4.   Selanjutnya peserta dipilih secara acak untuk diminta menjelaskan peserta lain yang bukan pasangannya.

Tahap 2 : Kegiatan
Latihan melihat SIAPA SAYA
Konsep diri adalah jawaban dari pertanyaan : “Siapakah saya“. Jawaban dari pertanyaan tersebut selanjutnya akan mempengaruhi cara berfikir dan perilaku seseorang.
Konsep diri seseorang berisi anggapan dan keyakinan seseorang mengenai diri sendiri berdasarkan kemampuan dan apa yang diyakininya ada pada dirinya, juga berdasarkan penilaian orang lain terhadapnya.
Dengan latihan melihat siapa diri kita, peserta akan dapat menyimpulkan bahwa dirinya adalah baik atau sebaliknya.

TUJUAN       : Agar para peserta mampu menyebutkan aspek positif  (kelebihan) dan aspek negatif (kekurangan) yang ada pada dirinya .                           
WAKTU        : 45 menit
TEMPAT       : Ruangan latihan           
BAHAN       : Papan tulis atau kertas, selotip, kartu ukuran kartu pos berwarna putih dan biru.

KEGIATAN  :
Langkah-langkah
1.   Menjelaskan langkah-langkah permainan.
2.   Pelatih membagi 2 (dua) lembar kertas kosong kepada setiap peserta yang terdiri dari dua - warna putih dan biru, masing-masing satu lembar.
3.   Pada lembar kertas putih masing-masing perserta diminta menulis satu kebaikan yang menonjol pada diri peserta.
4.   Pada lembar kertas biru masing-masing perserta diminta menulis satu kekurangan yang menonjol pada diri peserta.
5.   Peserta diminta menempelkan kertas putih di papan  yang telah tersedia.
6.   Pelatih mengelompokkan kertas yang isinya sama atau hampir sama pada kelebihan atau kekurangan menjadi satu kelompok
7.   Peserta diminta untuk melihat dan menganalisa hasil tulisan dari kebaikan dan kekurangan untuk mawas diri.

Latihan Menerima keadaan diri sendiri dari feedback orang lain
Apapun dan bagaimanapun keadaan diri kita, yang diperlukan adalah keikhlasan untuk menerima keadaan tersebut yang disertai usaha perbaikan terhadap bagian diri kita yang dirasa masih kurang.


TUJUAN       :
1.   Agar para peserta dapat mengerti kebaikan (kelebihan) serta keburukan (kekurangan) masing-masing dan dapat bercermin diri.
2.   Agar para peserta dapat intropeksi diri dan mampu melakukan usaha memperbaiki diri.
WAKTU        : 120 menit.
TEMPAT       : Ruang yang cukup (memadai).
BAHAN         : Evaluasi individual.                            
LANGKAH - LANGKAH   :
1.   Pelatih menjelaskan cara-cara permainan
2.   Pelatih  membagi  peserta  dalam 2 kelompok.
3.   Setiap anggota kelompok mengevaluasi peserta dikelompok lain
4.   Salah satu peserta yang akan dievaluasi misal : A, dipersilahkan keluar dari ruang. Sementara itu sisanya mendiskusikan kebaikan dan keburukannya selama pelatihan ini berlangsung.
5.   Setelah berunding dan setiap diutarakan, A dipanggil masuk dan dievaluasi oleh salah seorang pembicara (ingat patokan memberi feedback).
6.   Berikan  kesempatan  pada A untuk  mempertahankan  diri  atau mengutarakan pendapatnya.
7.   Setelah puas, ganti dengan B dan seterusnya hingga semua mendapat giliran.
8.   Pelatih membagikan kertas putih kepada setiap peserta selama 15 menit.
9.   Setiap peserta diminta untuk menuliskan konsep diri positif yang akan dilakukan oleh masing-masing peserta sesudah mengikuti pelatihan ini selama 15 menit.
10.    Kertas yang telah ditulisi tersebut ditempelkan dibawah kertas biru (konsep diri negatif) yang pernah mereka buat pada saat pembahasan pokok bahasan Konsep Diri selama 15 menit.
11.    Pelatih menjelaskan dan menerangkan semua kegiatan yang telah dilakukan  (termasuk teori Johari Window ) selama 70 menit.

Pelatihan SAYA ADALAH..........
Setiap orang mempunyai cita-cita dan keinginan untuk bisa menjadi seperti apa dan memegang peran tertentu apa dalam perjalanan kehidupannya. Misalnya, ketika meninggal seseorang berkeinginan untuk mendapatkan penghormatan yang layak. Untuk mendapatkan penghormatan yang layak tersebut, bagaimana caranya? Jawabannya bisa dicari dari sekarang dengan menulis Saya Adalah ......

TUJUAN       : Agar para peserta mampu menyebutkan keinginan seperti apakah dirinya setelah selesai melakukan pelatihan ini.                           
WAKTU        : 45 menit
TEMPAT       : Ruangan latihan
BAHAN       : Papan tulis atau kertas, selotip, kartu ukuran kartu pos berwarna putih dan biru.

KEGIATAN  :
Langkah-langkah
1.    Menjelaskan langkah-langkah permainan.
2.    Pelatih membagi 2 (dua) lembar kertas kosong kepada setiap peserta yang terdiri dari dua warna, putih dan biru, masing-masing satu lembar.
3.    Pada lembar kertas putih masing-masing peserta diminta menulis nilai-nilai kebaikan yang diinginkan peserta ada pada dirinya.
4.    Pada lembar kertas biru masing-masing perserta diminta menulis nilai-nilai yang diinginkan perserta tidak ada pada dirinya lagi.
5.    Peserta diminta menempelkan kertas putih di papan  yang telah tersedia.
6.    Peserta diminta menempelkan kertas biru di papan  yang telah tersedia.
7.    Peserta diminta untuk melihat dan menganalisa hasil tulisan dari keras putih dan kertas biru untuk mulai mencangkan tekad untuk dapat mencapainya.
4.    Rencana Evaluasi
a.    Evaluasi proses yaitu mengevaluasi jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
b.    Evaluasi hasil dilakukan untuk memperoleh informasi keefektifan kegiatan pelatihan dalam meningkatkan konsep diri siswa yang diterapkan dalam program layanan BK.

4.     Aplikasi Teori Kepribadian Bandura Pada Anak Jenjang Pendidikan SMA
a.    Contoh Permasalahan Siswa SMA
Remaja memiliki tugas-tugas perkembangan, salah satu tugas perkembangan remaja adalah pemilihan dan penerapan suatu karir (Conger, 1991). Pemilihan karir merupakan saat remaja mengarahkan diri kepada suatu tahap baru dalam kehidupan mereka yaitu melihat posisi dalam menentukan ke arah mana mereka akan menuju masa depan (Marliyah dkk, 2004)     
Berdasarkan tahap perkembangan karir yang dikemukakan oleh Super, siswa SMA terutama kelas XII semestinya sudah dapat mengarahkan cita-cita, tujuan masa depan, dan membuat aspirasi karir berdasarkan minat, kesenangan, kemampuan, kapasitas dan nilai-nilai mereka. Kenyataannya masih banyak siswa SMA yang tidak mampu mengambil keputusan karir. Menurut Santrock (2003), remaja sering memandang eksplorasi karir dan pengambilan keputusan dengan disertai kebimbangan, ketidakpastian, dan stres. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Triana (Setia Wati, 2005), menunjukkan bahwa 45% siswa Sekolah Menengah Atas belum memiliki perencanaan mengenai karir yang akan dipilihnya, karena masih mengalami keraguan.
 Agar siswa memiliki pilihan yang tepat terhadap suatu pilihan karir, siswa harus memiliki pemikiran yang matang dalam pengambilan keputusan karir. Partino (2006) dalam penelitiannya menyatakan kematangan karir dipengaruhi oleh faktor-faktor layanan bimbingan, persepsi penjurusan, riwayat hidup, efikasi diri, dan prestasi akademik. Individu yang memiliki efikasi diri yang rendah dalam membuat keputusan karir ditandai dengan ketidaktahuan terhadap kelebihan dan kekurangan dirinya, tidak mendapatkan informasi yang berhubungan dengan pencapaian karirnya, tidak dapat membuat tujuan dalam pencapaian karirnya, tidak dapat membuat perencanaan karir dan tidak tahu bagaimana memecahkan masalah yang berhubungan dengan perjalanan karirnya (Collins dalam mulyana, 2009).
Efikasi diri dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui empat sumber informasi utama, yaitu: (a) Pengalaman keberhasilan (Mastery experience), pengalaman-pengalaman yang dialami individu secara langsung, (b) Pengalaman orang lain (Vicarious experience), individu yang melihat orang lain berhasil dalam melakukan aktivitas yang sama dan memiliki kemampuan yang sebanding akan dapat meningkatkan efikasi dirinya, (c) Persuasi verbal, pesuasi verbal yang dialami individu yang berisi nasehat dan bimbingan yang realistis dapat membuat individu merasa semakin yakin bahwa ia memiliki kemampuan yang dapat membantunya untuk mencapai tujuan yang diinginkan, (d) Keadaan fisiologis dan emosional, situasisituasi psikologis dimana individu harus menilai kemampuan, kekuatan, dan ketentraman terhadap kegagalan atau keberhasilan individu masing-masing.
Lebih lanjut Bandura (1997) menunjukkan ada tiga aspek dalam efikasi diri, yaitu: (a) Magnitude, berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas. (b) Generality, berhubungan luas bidang tugas atau tingkah laku.                c. Strength, berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya.

b.   Rancangan pelatihan Untuk Guru BK SMA
1.    Rencana Program
Program yang akan diselenggarakan adalah Pelatihan tentang Efikasi Diri. Pelatihan ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam peningkatan efikasi diri siswa.


2.    Rencana Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan ini adalah Musyawarah Guru BK SMA se-Kota Semarang dengan susunan sebagai berikut :
Penyelenggara                  : MGBK  Kota Semarang
Penanggungjawab            : Ketua MGBK Kota Semarang
Instruktur                           : Dosen Jurusan BK Universitas Negeri Semarang
Peserta                              : Guru BK SMA  sekota Semarang
Anggaran                         : Kas MGTK, Iuran Peserta, Donatur, Sponsor.

3.    Rencana Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal                     : Sabtu, 6 Agustus 2016
Pukul                                : 08.00 – 16.30 WIB
Tempat                 : Gedung Aula 1 SMA N 1 Semarang
Metode  Kegiatan :
a.    Presentasi
b.   Diskusi
c.    Praktek
Materi Kegiatan :
a.    Materi tentang self efficacy
b.   Modul Pelatihan Self Efficacy
                   

Modul Pelatihan Efikasi Diri
Pelatihan efikasi diri disusun berdasarkan aspek efikasi diri berdasarkan teori Bandura (1997), yaitu magnitude, generality, strength dan Abdullah (2003) yaitu problem solving dan keberanian mengambil resiko. Metode yang digunakan adalah ceramah, tugas, diskusi, permainan.
Kegiatan yang dikembangkan dalam pelatihan ini berdasarkan aspek-aspek efikasi diri menggunakan sumber-sumber efikasi diri yaitu pengalaman keberhasilan, paparan model dan persuasi verbal baik melalui diskusi maupun motivasi dari trainer mampu meningkatkan efikasi diri partisipan.
Beberapa kegiatan dalam aspek magnitude (berkaitan dengan tingkat kesulitan tugas) yaitu permainan “visualisasi konsep diri” bermanfaat untuk mengetahui sejauh mana peran individu di dalam masyarakat, keluarga, sekolah sedangkan latihan pengenalan “potensi diri” bertujuan untuk membuat individu lebih mengenali kemampuan yang dimiliki sehingga dapat memperkirakan tindakan yang akan dilaksanakan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Menurut Bandura (Alwisol, 2004) bahwa efikasi diri dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui mastery experience (pengalaman keberhasilan). Apabila seseorang pernah mengalami keberhasilan di masa lalu maka akan dapat meningkatkan efikasi dirinya.
Keberhasilan tersebut juga dapat mengurangi kegagalan, khususnya bila kegagalan tersebut timbul dari awal suatu peristiwa. Selain itu adanya persuasi verbal yang dilakukan oleh trainer dengan memberikan penguatan positif pada kelebihan dan kelemahan potensi yang dimiliki bermanfaat untuk menumbuhkan motivasi peserta. Kegiatan yang dikembangkan dari aspek generality (berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku) yaitu cerita perjuangan untuk meraih kesuksesan serta penayangan video dari tokoh-tokoh sukses bertujuan untuk membangkitkan optimisme sehingga mampu menumbuhkan keyakinan individu mengenai kemampuan dalam mencapai suatu tujuan. Sedangkan kegiatan bermain peran “cita-citaku” bertujuan untuk membangkitkan keyakinan peserta mengenai pengharapan pada tujuan yang ingin dicapai. Bandura (Alwisol, 2004) menyatakan bahwa efikasi diri dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui pengalaman orang lain (Vicarious experience) dengan mengamati model yang nyata (Live Modelling).
Kegiatan yang dikembangkan dari aspek strength (tingkat kekuatan atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya) yaitu ceramah tentang adversity quotient bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada peserta mengenai pentingnya keyakinan dan kerja keras dalam mencapai tujuan atau keberhasilan. Sedangkan permainan lempar bola bertujuan untuk melatih peserta agar fokus dan yakin berhasil pada tujuan yang ingin dicapainya. Partisipan juga diberikan tugas membuat perencanaan “peta masa depanku” bertujuan untuk membantu peserta membuat target atau rencana yang ingin dicapai, yaitu membuat rencana jangka pendek yang ingin dilakukan dalam satu tahun dan rencana jangka panjang yaitu target yang ingin dicapai atau rencana yang ingin dilakukan hingga sepuluh tahun kedepan serta usaha yang akan dilakukan.
Dengan menciptakan tujuan bagi dirinya sendiri dan merencanakan tindakan-tindakan untuk merealisasikan masa depannya partisipan memotivasi dirinya sendiri dan menuntun tindakan-tindakannya dengan menggunakan pemikiranpemikiran tentang masa depan sehingga dalam diri partisipan akan terbentuk keyakinan mengenai apa yang dapat dilakukan. Keyakinan diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadinya. Semakin kuat keyakinan diri, maka semakin tinggi tujuan yang ditetapkan oleh partisipan maka akan semakin memperkuat komitmen partisipan terhadap tujuan tersebut.

Diharapkan setelah peserta mengikuti pelatihan ini mampu:
a.    Memahami konsep self efficacy diri
b.    Dapat memberikan pelatihan self efficacy terhadap peserta didik SMA



5.    Rencana Evaluasi
1.    Evaluasi proses yaitu mengevaluasi jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
2.    Evaluasi hasil dilakukan untuk memperoleh informasi keefektifan kegiatan pelatihan

5.     Aplikasi Teori Kepribadian Maslow Pada Santri Pondok Pesantren
a.    Contoh Permasalahan Santri di
Bahasa sebagai alat komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita dan orang-orang yang sebaya dengan kita. Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran untuk menyampaikan maksud seseorang, melahirkan perasaan dan memungkinkan setiap individu untuk menciptakan kerja sama dengan warga
Ekspresi diri manusia dalam berbahasa memiliki keterkaitan dengan teori Abraham Maslow yaitu aktualisasi diri. Dimana setiap individu memiliki karakteristik yang berbeda dalam berkomunikasi, hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh faktor internal (kepercayaan diri) dan eksternal (lingkungan). Dalam hal ini Abraham Maslow seorang pelopor aliran humanistik mengemukakan bahwa setiap individu memiliki beberapa kebutuhan yang digunakan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya
Pesantren merupakan sebuah tempat untuk dapat mengembangkan potensi diri seseorang. Pesantren adalah sebuah tempat dimana banyak para pelajar berkumpul untuk menuntut ilmu, mereka memiliki julukan khusus yaitu santri. Di tempat ini, santri dapat bersosialisasi, yaitu berkomunikasi antara santri satu dengan santri yang lainnya. Berkumpulnya banyak santri dalam suatu pesantren tentunya tidak lepas dari adanya suatu peraturan dan kegiatan. Kegiatan merupakan salah satu ajang bagi santri untuk dapat menunjukan potensinya, sehingga pesantren merupakan suatu tempat yang dapat dijadikan penelitian untuk mengetahui tingkat aktualisasi diri santri.
Namun sebagai ajang aktualisasi dalam berbahasa asing, ternyata para santri masih kurang maksimal dalam berbahasa asing. Berdasarkan hal tersebut diperlukan pelatihan untuk membangkitkan motivasi berpada santri. Para pengurus perlu di training tentang cara-cara memberikan motivasi ke santri. 

b.   Rancangan pelatihan Untuk Pengurus Pesantren
1.    Rencana Program
Program yang akan diselenggarakan adalah Training For Trainer (TOT). Pelatihan ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurus pesantren di dalam memotivasi santri dalam berbahasa asing.

2.    Rencana Penyelenggara (Pengorganisasian)
Penyelenggara Pelatihan ini adalah Yayasan Ponpes Al Hikmah Semarang dengan susunan sebagai berikut :
Penyelenggara                  : Yayasan Ponpes Al Hikmah
Penanggungjawab            : Ketua Yayasan
Instruktur                           : Trainer TOT
Peserta                              : Pengurus Pesantren
Anggaran                         : Keuangan Yayasan, sponsor.

6.    Rencana Pelaksanaan
Pelatihan akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal              : Jum’at – Sabtu/5- 6 Agustus 2016
Pukul                         : 08.00 – 16.30 WIB
Tempat                      : Aula Pesantren
Metode  Kegiatan :
Class presentation, inter-active discussion, real case study analysis, dan video presentation
SASARAN :
Peserta mampu merencanakan dan menyusun program pelatihan yang efektif, dengan:
·       Mampu menganalisis kebutuhan pelatihan.
·       Terampil dalam menggunakan berbagai metode pelatihan
·       Terampil dalam menyampaikan materi pelatihan dalam suasana interaktif, menyenangkan dan sesuai kebutuhan pelatihan
 TOPIK YANG DIBAHAS :
Sikap Positif , Rahasia Trainer yang Sukses
·         Sikap yang Tepat/Perubahan Mindset
·         Kunci Sukses Keberhasilan seorang Trainer.
·         Prinsip fundamental membangun sikap dan berpikir positif
·         Memahami hambatan menjadi trainer dan cara mengatasinya
·         Motivasi seorang trainer
·         Latihan: Membangun sikap positif terhadap diri sendiri, peserta pelatihan
Ketrampilan komunikasi & Presentasi & Terampil Menggunakan Alat Bantu
·         Penggunaan bahasa tubuh, vocal, intonasi, ekspresi
·         Listening skills
·         Cara Mengatasi Rasa Gugup ketika membuka sesi dan selama pelatihan
·         Tehnik Bertanya untuk merangsang proses berpikir dan membangun partisipasi
·         Memahami penggunaan Audio-Visual Aids secara efektif.
·         Mengenal alat peraga atau aktivitas games dan role-play dengan baik.
·         Latihan: Praktek Penggunaan Alat Bantu Pelatihan
Mengembangkan Energizer
·         Mengenal Difinisi Dan Tujuan Ice Breaking
·         Pentingya Energizer di kelas
·         Mempelajari Teknik-teknik Energizer: Ice breakers, Humor, Story Telling, Games Competition, Role-Play, Memfasilitasi Diskusi, Presentasi dan penetapan Ground Rules.
·         Role-Play: Praktek Berlatih untuk Energizing Kelas
·         Mengembangkan kreatifitas
Menghadapi bawahan/Peserta dan Situasi yang Sulit
·         Menghadapi bawahan dan situasi sulit.
·         Strategi dalam menghadapi bawahan dan situasi sulit.
·         Case study dan Role-Play
·         Menghadapi bawahan :”tidak nyambung”, pemonopoli, argumentatif,pengeluh, pendiam, bosan
·         Analisa karakter bawahan
·         Contoh Pertanyaan Terbuka,Tertutup, Konvergen,Divergen dan Evaluatif
Mendisain Materi Pelatihan
·         Menetapkan Tujuan Pelatihan
·         Mengembangkan Outline Pelatihan
·         Menetapkan Tipe-Tipe Pembelajaran
·         Analisis kebutuhan pelatihan
·         Latihan: Membuat Tujuan dan Outline Pelatihan
·         Mengembangkan Outline Pelatihan
Memilih Metoda Pelatihan yang Tepat
·         Mengenal Prinsip Adult-Learning & Accelerated Learning
·         Menentukan Metode Pelatihan dengan Mengenal Cara Orang Belajar
·         Menetapkan Tipe-Tipe Pembelajaran
·         Latihan: Mengaplikasikan prinsip Adult and Accelerated Learning dalam Materi Pelatihan
Training Delivery Contest and Feedback
for Improvement
·         Praktek dalam membawakan materi pelatihan untuk setiap peserta @ 5 menit.
·         Setelah membawakan materi  peserta akan memperoleh masukan dari Master Trainer dan peserta lainnya
·         Evaluasi pelatihan
·         Dalam sesi awal juga akan dilakukan latihan presentasi, agar peserta dapat membandingkan sebelum dan sesudah training

Pada workshop ini akan kami sediakan Handycam untuk merekam setiap latihan dari para peserta, dan hasilnya akan dibagikan kepada masing-masing peserta sebagai bahan masukan dan perbaikan.
Diharapkan setelah peserta mengikuti pelatihan ini mampu:
c.    Memahami konsep self efficacy diri
d.   Dapat memberikan pelatihan self efficacy terhadap peserta didik SMA

7.    Rencana Evaluasi
1.    Evaluasi proses yaitu mengevaluasi jalannya kegiatan pelatihan dan penguasaan peserta terhadap materi pelatihan.
2.    Evaluasi hasil dilakukan untuk memperoleh informasi keefektifan kegiatan pelatihan


BAB III
                                                         SIMPULAN       

            Teori  kepribadian mempunyai arti yang sangat penting pada perkembangan hidup manusia. Banyak aplikasi yang dapat diperoleh dari teori-teori kepribadian yang ada.Dunia pendidikan sebagai tempat berkembangnya potensi-potensi manusia, sangat merasakan arti pentingnya teori-teori kepribadian yang telah dikembangkan oleh tokoh-tokohnya.
Guru untuk menjalankan tugasnya memerlukan pemahaman terhadap teori-teori kepribadian terutama guru bimbingan konseling, supaya dalam menjalankan tugasnya dapat memahami siswa dengan seutuhnya.
Pelatihan-pelatihan diperlukan untuk meningkatkan kompetensi dari para pendidik kita supaya mereka memiliki bekal yang yang cukup di dalam melakukan proses pembelajaran karena saat ini perkembangan teknologi sudah sangat pesat dan permasalahan-permasalahan siswa juga semakin komplek sehingga diperlukan ketrampilan yang lebih lengkap bagi para pendidik.




DAFTAR PUSTAKA