Friday 1 July 2016

PENDEKATAN KONSELING EKSISTENSIAL DALAM TRADISI TAHLILAN












PENDEKATAN KONSELING EKSISTENSIAL DALAM TRADISI TAHLILAN




Oleh :

Rosidi, S.Psi









BAB I
PENDAHULUAN



Manusia yang hidup dunia ini pasti akan mengalami kematian. Tidak ada seorangpun yang bisa terlepas dari kematian. Kita mencari kehidupan yang penuh namun disaat yang sama kita harus sadar akan mati.  Seseorang yang mengalami peristiwa kematian anggota keluarganya maka akan mengalami kehilangan dan duka cita. Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Potter & Perry, 2005). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.

Seseorang yang mengalami kehilangan biasanya akan merasakan kesedihan dan kecemasan. Menurut May (dalam Olson, 2013) kecemasan merupakan pemahaman yang dicerabut petunjuknya oleh ancaman terhadap sejumlah nilai yang dianggap individu esensial bagi eksistensinya sebagai seorang diri. Ancaman ini bisa terhadap kehidupan fisik seperti kematian, atau kehidupan psikologis seperti kebebasan, atau bisa juga nilai yang diidentikkan seseorang dengan eksistensinya.

Ketika terjadi persitiwa kematian, Beberapa daerah di Jawa melakukan tradisi yang disebut dengan  Tradisi  tahlilan atau selamatan. Tradisi dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.

Tradisi Tahlilan biasanya identik dengan suatu perkumpulan dalam rangka berdo’a, yang di kemas dengan bacaan Al Qur’an, Dzikir, Tasbih, Tahmid, Tahlil, Shalawat, dan bacaan lainnya, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia.

Selamatan kematian atau tahlilan sering di jumpai di lingkungan masyarakat, Selamatan ini biasanya dilakukan oleh keluarga dari orang yang meninggal dunia  yang mempunyai tujuan untuk mendo’akan orang yang meninggal dunia agar supaya segala dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT dan dilapangkan kuburnya. Ritual tahlilan atau selamatan kematian ini sudah dilakukan secara turun-temurun.

Disamping ditujukan untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia, tahlilan juga mempunyai fungsi solidaritas social, dimana orang yang datang dalam acara tahlilan juga memberikan hiburan atau dukungan social atas peristiwa yang menimpa orang yang terkena musibah.

Dengan berkembangnya waktu, pendekatan spiritual (kerohanian) dalam konseling semakin diakui dan merupakan penangan yang penting yang dapat mempengaruhi hubungan, proses atau hasil konseling (Harris et al, 2007). Pendekatan spiritual dalam konseling mencakup konsep transenden, aktualisasi diri, tujuan dan maksud, keutuhan, keseimbangan, kesakralan, altruism, dan kesadaran akan kuasa yang lebih tinggi (standard, Sandhu, & Painther, dalam Glading, 2015).

Dalam beberapa tahun belakangan ini muncul sejumlah besar leteratur mengenai agama dan kerohanian dalam psikoterapi  (Ottens & Klein, 2005, p. 32 dalam Glading, 2015). Sebagai contoh, Ingersoll (dalam Glading, 2015) mengembangkan peninjauan komprehensif tentang spiritualitas, agama, dan konseling. Dia menunjukkan pentingnya mendefinisikan spiritualitas dan mencatat dimensi yang menjelaskan tersebut.

Salah satu pendekatan konseling yang banyak menggali factor spiritualitas dari manusia adalah Pendekatan  psikologi  eksistensial humansitik yang  menekankan  renungan-renungan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia yang  utuh.  Konseling eksistensial  berfokus pada kondisi manusia, yaitu suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia yang digunakan untuk mempengaruhi klien.  Kesanggupan  untuk  memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas  di  dalam  kerangka  pembatasannya adalah  suatu  aspek  yang  esensial  pada manusia. Kebebasan memilih  dan  bertindak  itu disertai  tanggung  jawab  atas keberadaan dan  nasibnya.

Penciptaan makna manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan  tujuan  hidup  dan  menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan.  Menjadi  manusia  juga  berarti menghadapi  kesendirian:  manusia  lahir  ke dunia  sendirian  dan  mati  sendirian  pula. Sungguhpun  pada  hakikatnya  sendirian,  manusia memiliki  kebutuhan  untuk  berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang  bermakna,  sebab  manusia  adalah mahkluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan  hubungan  yang  bermakna  bisa menimbulkan kondisi-kondisi  isolasi, depersonalisasi, alineasi, keterasingan, dan kesepian. Manusia  juga  berusaha  untuk  mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi -potensi manusiawinya.

Untuk memberikan bantuan psikologis seseorang yang mengalami musibah akibat kematian orang yang dicintai, disini penulis tertarik untuk membahas  pendekatan konseling eksistensial berbasis tradisi tahlilan atau selamatan.






BAB II

PEMBAHASAN





A.    TEORI KONSELING EKSISTENSIAL HUMANISTIK

1.      Hakekat Manusia

Hal penting dalam teori eksistensial adalah teori ini bereaksi terhadap kecenderungan untuk mengenali terapi dengan sekumpulan teknik-teknik. Teori ini bertujuan untuk menghormati manusia, mendalami aspek-aspek baru perilaku manusia, dan metode pemahaman yang berbeda bagi masing-masing individu. Teori eksistensial menggunakan banyak terapi dengan pendekatan berdasarkan asumsi-asumsi tentang sifat manusia.

Dalam tradisi eksistensial mencari keseimbangan antara mengakui batas dan dimensi keberadaan manusia yaitu di satu sisi, kemungkinan dan peluang, sedangkan di sisi lain adalah kehidupan manusia atau interaksi sosial. Fokus dari pendekatan eksistensial adalah pada pengalaman hidup individu dan cara menghadapi kekhawatiran diri atas rasa kesepian dalam pola hubungan sosial.

Pendekatan  psikologi  eksistensial humansitik menekankan  renungan-renungan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia yang  utuh.  Psikologi  eksistensial  berfokus pada kondisi manusia, yaitu suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Konsep-konsep  utama  dari  pendekatan eksistensial  yang membentuk  landasan  bagi praktek  teraupetik. 

Konsep-konsep pendekatan seperti kesadaran diri bahwa manusia memiliki  kesanggupan  untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan  nyata  memungkinkan  manusia  mampu berpikir  dan  memutuskan.  Semakin  kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang  lain.  Kesanggupan  untuk  memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas  di  dalam  kerangka  pembatasannya adalah  suatu  aspek  yang  esensial  pada manusia. Kebebasan memilih  dan  bertindak itu disertai  tanggung  jawab  atas keberadaan dan  nasibnya

Manusia  bukanlah  bidak  dari kekuatan-kekuatan  yang  deterministik  dari pengkondisian. Kebebasan, tanggung jawab dan  kecemasan.  Kesadaran  atas  kebebasan dan  tanggung  jawab  bisa  menimbulkan kecemasan  yang menjadi  atribut  dasar  pada manusia.  Kecemasan  eksistensial  juga  bisa diakibatkan  oleh  kesadaran  atas  keterbatasannya  dan  atas  kemungkinan  yang terhindarkan  untuk  mati  (non being).  Kesadaran atas kematian memilih arti penting bagi  kehidupan  individu  sekarang,  sebab kesadaran  tersebut, menghadapkan  individu pada  kenyataan  bahwa  dia  memiliki  waktu yang  terbatas untuk mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa  eksistensial,  yang  juga merupakan  bagian  dari  kondisi  manusia, adalah akibat dari kegagalan  individu untuk benar-benar  menjadi  sesuatu  sesuai  dengan kemampuannya. 

Penciptaan makna manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan  tujuan  hidup  dan  menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan.  Menjadi  manusia  juga  berarti menghadapi  kesendirian:  manusia  lahir  ke dunia  sendirian  dan  mati  sendirian  pula. Sungguhpun  pada  hakikatnya  sendirian,  manusia memiliki  kebutuhan  untuk  berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang  bermakna,  sebab  manusia  adalah mahkluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan  hubungan  yang  bermakna  bisa menimbulkan kondisi-kondisi  isolasi, depersonalisasi, alineasi, keterasingan, dan kesepian. Manusia  juga  berusaha  untuk  mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi -potensi manusiawinya. Sampai  taraf  tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menjadi “sakit”. Patologi dipandang sebagai kegagalan  menggunakan  kebebasan  untuk mewujudkan potensi-potensi seseorang.

Dimensi dasar tentang keadaan manusia, sesuai dengan pendekatan eksistensial, termasuk : (1) kapasitas untuk kesadaran diri; (2) kebebasan dan tanggung jawab (3) menciptakan identitas seseorang dan membangun hubungan yang berarti dengan orang lain; (4) mencari arti, tujuan, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan; (5) kecemasan sebagai makhluk hidup (6) kesadaran akan mati dan non being.



2.      Konsep Dasar

1.   Being dan No-being

May melihat bahwa being sebagai participle sebuah kata kerja dan menyiratkan bahwa seseorang sedang dalam proses menjadi sesuatu.Ia mengatakan bahwa ketika digunakan sebagai sebuah kata benda, being berarti potential, sumber potensi. Salah satu analoginya adalah biji pohon berpotensi menjadi sebatang pohon.Untuk manusia analogi ini hanya sebagian akurat karena manusia memilih being nya sendiri. Manusia modern telah merepresi sense of beingnya. Sence of being orang mengacu pada seluruh pengalaman eksistensinya, baik sadar ataupun tidak sadar.

Kebalikan dari being adalah non being atau nothingness. Eksistensi menyatakan kemungkinan itu tidak ada.Kematian adalah bentuk nyata dari being. Bagaimanapun ada sejumlah ancaman lain untuk being dalam bentuk kehilangan secara potensial untuk menyelesaikan keinginan, kesesuaian dan menyelesaikan kekurangan kesadaran diri yang nyata. Orang yang mampu melawan non being dapat muncul dengan mempertinggi kepekaan termasuk kesadaran yang kuat bukan hanya menyangkut diri, tetapi terhadap yang lain dan lingkungan sekitar.

2.   Tiga bentuk Being in the word

Terapi eksistensial membedakan tiga moda dunia yang menjadi ciri eksistensial orang sebagai being in the word. Pertama ada Umwelt, “word around” (dunia sekitar). Unwelt merepresentasikan dunia alam, hokum alam dan lingkungan. Umwelt mencakup kebutuhan, dorongan dan insting biologis. Kedua ada Mitwelt, “with word” (dengan dunia).Inilah dunia social, yaitu berhubungan dengan sesama manusia maupun dalam kelompok-kelompok yang saling memengaruhi struktur makna yang berkembang.Seberapa banyak orang menempatkan dirinya ke dalam kelompok dan mempengaruhi makna kelompok itu baginya. Ketiga ada Eigentwelt atau own word (dunianya sendiri). Eigenwelt hadir secara unik dalam diri manusia dan melibatkan self consciousness dan self awarenees.Selain itu Eigenwelt melibatkan menangkap makna personal atau seseorang membutuhkan hubungan dengan beberapa benda dan orang.Ketiga moda being itu saling berkaitan satu sama lain. Sebagai contoh cinta melibatkan lebih dari dorongan biologis Umwelt dan melibatkan lebih dari sekedar hubungan social dan interpersonal Mitwelt serta membutuhkan Eigenwelt dalam arti bahwa ketika berhubungan dengan orang lain, orang perlu mencukupi dirinya.

3.   Kecemasan Normal dan Kecemasan Neurotik

May mendefinisikan kecemasan sebagai ancaman eksistensi kita atau terhadap nilai-nilai pada siapa kita mengidentifikasikan eksistensi kita.Reaksi kecemasan normal memiliki tiga karakteristik, pertama reaksi itu proporsional dengan ancaman objektif yang dihadapi.Kedua reaksi tersebut tidak melibatkan represi.Ketiga, reaksi tersebut dapat digunakan secara kreatif untuk mengidentifikasi dan menghadapi kondisi yang mewujudkannya.Kecemasan neurotik adalah reaksi yang tidak proporsional dengan ancaman objektifnya, melibatkan represi, dan bersifat destruktif bukan konstruktif.

4.   Rasa Bersalah Normal, Neurotik dan Eksistensial

Rasa bersalah adalah bagian dari eksistensi manusia.Sebuah perbedaan dapat ditarik antara rasa bersalah normal dan neurotik. Rasa bersalah neurotic berada dari transgresi yang dibayangkan terhadap orang lain, injungsi orang tua dan konvensi masyarakat. Rasa bersalah normal adalah panggilan kesadaran dan menyentisisasi orang akan aspek-aspek etis perilakunya.

Rasa bersalah eksistensial terbagi menajdi tiga bentuk.Pertama, yang berkorespondensi dengan Eigenwelt adalah kegagalan untuk mewujudkan potensi. Bentuk kedua yang berkorespondensi dengan Mitwelt berhubunagn dengan mendistorsi realitas sesame manusia. Bentuk ketiga, rasa bersalah eksistensial yang melibatkan Umwelt maupun kedua modes of being lainnya adalah rasa bersalah karena terpisah.Rasa bersalah pada eksistensial bersifat universal yang berakar kesadaran diri dan tidak timbul dari pelanggaran terhadap perintah orang tua, namun timbul dari fakta bahwa saya dapat melihat diri saya sebagai orang yang dapat memilih atau tidak memilih.

5.   Transendensi

Transendensi diambil dari kata latin transcendere yang berarti memanjat ke atas. Kemampuan untuk mentransendensikan situasi segera adalah bagian dari sifat ontologis manusia. Exiting melibatkan manusia dalam proses kemunculan berkelanjutan dalam arti bahwa mereka mentransendensikan masa lalu dan masa kini untuk menciptakan masa depannya. Kecuali jika sakit serius atau terhambat oleh kecemasan atau keputusasaan, semua manusia terlibat dalam proses ini.

6.   Keprihatinan Utama Eksistensial

Yalom telah mengidentifikasi empat ketakutan mendasar kematian, kebebasan, isolasi, dan ketanpamaknaan dengan relevansi yang cukup besar untuk konseling dan terapi.Masing-masing melahirkan konflik esensial yang berbeda.

a.    Kematian: konflik eksistensial antara kesadaran tentang kematian yang tak terhindarkan dan keinginan untuk hidup terus, konflik antara ketakutan non being dan wishing to be. Hidup dan mati, being dan non being, saling tergantung, tidak bebarengan.

b.    Kebebasan, konflik eksistensial yang kedua adalah konfrontasi manusia dengan ketidakberdayaan dan kebebasan dan keinginan akan pijaan dan struktur. Manusia harus bertanggungjawab, bukan hanya bertanggungjawab untuk mengilhamu dunia dengan signifikansi, tetapi bertanggungjawab sepenuhnya atas hidupnya, untuk tindakannya dan untuk tidak bertindak.

c.    Isolasi, ada tiga bentuk yaitu : pertama, isolasi interpersonal yang dialami sebagai kesepian, yang berarti bahwa orang dengan tingkat yang bervariasi menjauhkan diri dari orang lain. Kedua adalah isolasi intrapersonal yang berarti bahwa orang terblokir dari kesadarannya atau terisolasi dari bagian-bagian dirinya. Yang ketiga adalah isolasi eksistensial berakar pada kondisi manusia dalam arti bahwa setiap orang memasuki hidup di dalamnya dan meninggalkan dunia seorang diri. Yalom melihat bahwa isolasi eksistensial mengacu pada bentuk isolasi yang bahkan lebih fundamental yaitu keterpisahan dari dunia.

d.   Ketanpamaknaan

       Banyak faktor dalam budaya yang berkontribusi pada orang-orang yang perasaan tentang makna hidupnya menghilang.Pertama alih-alih makna yang diberikan oleh agama sekarang orang kebanyakan tidak percaya pada agama.Kedua menyebarluasnya urbanisasi dan industrialisasi telah memberikan kontribusi pada orang-orang yang kehilangan perasaan tentang maknanya melalui kontak mereka dengan alam.Ketiga, kebanyakan manusia kontemporer tidak lagi memiliki peran dalam masyarakat pedesaan tetapi mereka sering hidup di tengah masyarakat perkotaan yang relatif impersonal.Keempat, banyak manusia kontemporer terasing dari dunianya dan berfikir bahwa mereka terlibat dalam tugas-tugas mekanis dan rutin dengan sedikit minat intrinsik.Kelima, manusia kontempor kurang banyak didesak oleh kebutuhan dasar untuk menjaga kelangsungan hidup, seperti makanan, tempat tinggal dan air.

Menurut Gerald Corey, konsep utama Eksistensial humanistik adalah freedom (kebebasan) dan responsibility (tanggung jawab). Manusia disamping ada keunikan diri sendiri, ia “manusia” tidak lepas dari keberadaan orang lain. Gejala alienasi (penyimpangan) merupakan gejala keterasingan dengan diri sendiri, dengan lingkungannya, atau dengan Tuhannya, sehingga individu yang bersangkutan kehilangan eksistensi diri.Eksistensial Humanistik diperlukan bagi individu yang mengalami kekosongan batin, tingkah lakunya merupakan refleksi dari apa yang diharapkan orang lain pada dirinya; misalnya, dengan terpaksa, terlanjur. Dosa eksistensial dalam bentuk memilih tidak memililh dalam situasi memilih dengan pilihan semakin banyak/kesadaran makin luas, tidak pernah memilih/kesadaran sempit.

Pendekatan eksistensial humanistik mengembalikan pribadi kepada focus sentral, memberikan gambaran tentang manusia pada tarafnya  yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi potensinya. Pendekatan eksistensial humanistik secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia, kesadaran diri, dan kebebasan yang konsisten.



3.    Pandangan tentang Sifat Manusia

1.    Kesadaran diri

Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan.Semakin besar kesadaran dirinya, maka semakin besar pula kebebasannya untuk memilih altrnatif-alternatif. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai dengan tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.

2.    Kebebasan, tanggung jawab dan kecemasan

Kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (Nonbeing)

3.    Penciptaan Makna

Manusia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti  menghadapi kesendirian. Manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna.Manusia juga berusaha untuk mengaktualisasikan diri, yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Apabila gagal mengaktualisasikan dirinya, maka ia bisa menjadi “sakit”.



4.    Asumsi Pribadi Bermasalah/Patologi dan Pribadi Sehat

a.    Pribadi sehat

Pribadi yang sehat menurut pandangan eksistensial-Humanistik yaitu mampu memfungsikan dimensi-dimensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga kesadaran bisa berfungsi secara penuh.Kehidupan  yang  sehat  adalah  kehi dupan  yang  penuh  makna.  Hanya  dengan  makna yang baik orang  akan menjadi  insan  yang berguna  tidak hanya untuk diri  sendiri  tetapi juga untuk orang lain.

b.    Pribadi bermasalah

Pribadi yang bermasalah menurut pandangan eksistensial-Humanistik yaitu tidak mampu memfungsikan dimensi-dimensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga kesadaran tidak berfungsi secara penuh. Diantaranya ; inkongruen, negatif, tidak dapat dipercaya, tidak dapat memahami diri sendiri, bermusuhan dan kurang produktif.



5.    Tujuan Konseling

Konseling eksistensial bertujuan supaya konseli mengalami eksistensinya secara otentik, dengan menjadi sadar akan keberadaan dan potensinya sendiri dan dengan menjadi sadar akan cara bagaimana dia harus mengungkap potensinya serta bertindak selaras dengan potensinya tersebut. Bugental menganggap keotentikan sebagai pusat perhatian dalam konseling dan juga sebagai nilai eksistensial yang utama. Ada tiga ciri dari keberadaan otentik yaitu

a.    Kesadaran yang penuh tentang saat kini (present moment)

b.    Memilih cara hidup pada saat ini

c.    Mengambil tanggungjawab tentang keputusan pilihan yang telah dibuatnya.

Konseli neurotik ialah orang yang telah kehilangan rasa keberadaannya (sense of being). Konseling bermaksud untuk mengembalikan keberadaan manusiawinya yang hilang itu.

Jadi tujuan konseling eksistensial sebenarnya ialah memperluas kesadaran diri konseli dan dengan demikian meningkatkan kemampuan konseli untuk melakukan pilihan dalam arti membantu konseli untuk menjadi bebas dan lebih bertanggungjawab mengenai arah hidup yang dipilihnya. Konseling eksistensial bertujuan pula  untuk membantu konseli menghadapi kecemasan sebagai akibat dari pilihannya dan menerima kenyataan bahwa dia sebenarnya bukan semata-mata korban dari kekuatan deterministik di luar dirinya sendiri.

Menurut Nelson, Terapi eksistensial juga memiliki tujuan utama yaitu klien menghadapi eksistensinya sebagai sesuatu yang riil. Asumsi yang mendasarinya adalah proses neurotic dasarnya adalah penekanan perasaan ontologis sehingga melibatkan hilangnya sense of being dan berkurangnya kesadaran dan potensi. Oleh karena itu terapi utama menyangkut membantu klien mengalami eksistensinya maka semua kesembuhan simtomatik adalah tujuan sekunder.Terapi eksistensial berusaha menghindari pendekatan teknis dan mekanis terhadap klien yang dapat menghasilkan kesembuhan simtomatik yang harus dibayar dengan mengonstriksi eksistensinya.Penekanan yang besar diberikan pada melihat klien sebagai manusia dan bukan dalam kaitannya dengan perilaku dan pada hubungan terapis-klien.

Secara spesifik, terapi eksistensial membantu klien dengan tujuan:

a.    Memahami konflik tidak sadar

b.    Mengidentifikasi mekanisme-mekanisme pertahanan maladaptifnya

c.    Menemukan pengaruh destruktifnya

d.   Mengurangi kecemasan sekunder dengan mengoreksi moda-moda restriktif dalam mengahadapi dirinya dan orang lain

e.    Mengembangkan cara-cara lain untuk mengatasi kecemasan.



B.  TRADISI TAHLILAN/SELAMATAN

1.      Pengertian Tahlilan/Selamatan

Tahlilan adalah ritual/upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.

Kata "Tahlil" sendiri secara harfiah berarti berizikir dengan mengucap kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah kecuali Allah).

Upacara tahlilan ditengarai merupakan praktik pada abad-abad transisi yang dilakukan oleh masyarakat yang baru memeluk Islam, tetapi tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang lama. Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit bukan hanya terjadi pada masyarakat pra Islam di Indonesia saja, tetapi di berbagai belahan dunia, termasuk di jazirah Arab.  Oleh para da'i(yang dikenal wali songo) pada waktu itu, ritual yang lama diubah menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia, tahlilan masih membudaya, sehingga istilah "Tahlilan" dikonotasikan memperingati dan mendo'akan orang yang sudah meninggal. tahlilan dilakukan bukan sekadar kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul seperti itu. jika pun tahlilan masih diselenggarakan sampai sekarang, itu karena setiap anak pasti menginginkan orangtuanya yang meninggal masuk sorga.  Sebagaimana diketahui oleh semua kaum muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk orangtuanya adalah impian semua orang, oleh karena itu setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka. dari sinilah, keluarga mendoakan mayit, dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan orangtua mereka yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak orang(berjama'ah). maka diundanglah orang-orang untuk itu, dan menyuguhkan(sodaqoh) sekadar suguhan kecil bukanlah hal yang aneh, apalagi tabu, apalagi haram. suguhan(sodaqoh) itu hanya berkaitan dengan menghargai tamu yang mereka undang sendiri. maka, jika ada anak yang tidak ingin atau tidak senang mendoakan orangtuanya, maka dia (atau keluarganya) tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum syareat. tidak makruh juga tidak haram. anak seperti ini pasti juga orang yang yang tidak ingin didoakan jika dia telah mati kelak.



2.      Pelaksanaan Prosesi Ritual Selamatan Kematian

Pelaksanaan tahlilan (selamatan kematian), menurut Moh. Choiri diawali oleh pihak keluarga di mayat dengan mengundang tetangga dan sanak familinya secara lisan untuk menghadiri acara itu yang akan diselenggarakan di rumah duka. Acara tahlilan baru dimulai apabila para undangan sudah banyak yang datang dan dianggap cukup. Yang perlu untuk diketahui adalah bahwa kadang-kadang orang yang tidak diundangpun turut menghadiri acara tahlilan, sebagai ekspresi penyampaian rasa ikut berduka. Acara tahlilan, sebagaimana acara-acara lain, dimulai dengan pembukaan dan diakhiri dengan pembagian makanan kepada para hadirin. Kaitannya dengan masalah makanan dalam acara tersebut, kadang-kadang pihak keluarga si mayat ada yang menyajikannya sampai dua kali, yaitu untuk disantap bersama di rumah tempat mereka berkumpul dan untuk dibawa pulang ke rumah masing- masing, yang disebut dengan istilah “berkat” (berasal dari bahasa Arab) barakah. Proses berjalannya acara yang sudah menjadi adat kebiasaan, dipimpin oleh seorang tokoh masyarakat, kalau bukan seorang ulama atau ustad yang sengaja disiapkan oleh tuan rumah. Dalam acara selamatan kematian masyarakat Paseseh pada umumnya melakukan pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama yang khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan meninggal. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya yang telah meninggal. Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan pembacaan surat Yasin, pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan do’a.



3.      Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Selamatan Kematian

Kegiatan tradisi merupakan pewarisan serangkaian kebiasaan dan nilai- nilai yang diwariskan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Nilai- nilai yang diwariskan berupa nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya masih dianggap baik dan relevan dengan kebutuhan  kelompok. Dalam selamatan kematian (tahlilan) ini dapat dipakai untuk mengukuhkan nilai-nilai dan keyakinan yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu selamatan kematian merupakan salah satu upacara keagamaan yang sangat diperhatikan dalam rangka mendoakan arwah yang telah mendahului mereka serta melestarikan tradisi yang turun-temurun ini.

Disamping tahlilan sebagai upaya mendo’akan orang yang telah meninggal dunia, Tahlilan juga mempunyai fungsi terapeutik bagi orang yang ditinggalkan. Menurut Hidayat (2011) manfaat ritual tahlilan adalah: (1) pembacaan ayat-ayat al-Qur’an bisa menentramkan hati dan menghibur anggota keluarga.), (2)  ketika ritual tahlil diselenggarakan, sanak saudara berdatangan untuk ikut serta dalam tahlilan. Mereka yang rumahnya jauh (di luar kota) menginap, maka rumah yang semula sepi, terasa ramai kembali dengan kehadiran sanaksaudara. Di sini, tahlilan memberi nilai positif bagi keluarga yang ditinggal orang yang dicintai. Mereka merasa masih ada orang-orang yang peduli dengan kehidupannya. Mereka merasa bermakna, (3) mauidhoh hasanah. Setelah pembacaan yasin dan tahlil, biasanya berhenti sebentar untuk menikmati hidangan minuman dan makanan kecil. Kira-kira 5 menit kemudian (atau ketika terasa cukup), acara dilanjutkan dengan mauidhoh, hasanah yang disampaikan oleh kiai. Pada forum inilah, saat yang baik bagi kiai menyampaikan nasihat. Misalnya, menasihatkan kepada para ahli waris yang ditinggalkan agar mengikhlaskan kepergian orang yang dicintai. Dengan mengikhlaskan kepergiannya, justru membuat almarhum tenang dan bahagia di alam kubur. Kiai menyarankan perbanyak doa untuk mereka yang telah meninggal. Kepada para tamu undangan, kiai juga bisa berpesan bahwa hidup di dunia hanya sementara. Bagi mereka yang cerdas, akan senantiasa menyiapkan amal yang bisa dijadikan bekal untuk kehidupan setelah kematian.



C.  PENDEKATAN KONSELING EKSISTENSIAL BERBASIS TRADISI TAHLILAN

Dalam konsep dasar teori eksistensial bahwa keberadaan manusia di dunia ini tidak bisa terlepas dari Umwelt atau lingkungan di sekitar kita, Minwelt atau hubungan kita dengan orang lain, dan Eigenwelt atau hubungan kita dengan diri sendiri. Dalam tradisi tahlilan ketiga unsur dari being terdapat didalamnya. Sebagai mahluk individu seseorang yang hidup pada lingkungan social tertentu pasti berinteraksi dengan orang disekitarnya.  Salah satu bentuk dari interaksi adalah ketika salah satu dari bagian lingkungan social tersebut tertimpa musibah maka orang-orang yang ada dilingkungan itu akan ikut memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil. Efek dari interaksi yang dilakukan itu akan menimbulkan rasa kebermaknaan (eigenwelt) bagi individu yang mengalami musibah.

Ketika seseorang telah memiliki kesadaran yang kuat karena unsur being yang berkembang dengan baik, maka individu akan mempunyai kekuatan untuk melawan unsure nonbeing atau nothingness. Bentuk nyata dari ketiadaan (nonbeingness) adalah kematian.

Kematian bukan  hanya jalan bagi ketidak mengadaan namun  juga jalan yang paling jelas. Hidup Menjadi lebih vital,  lebih bermakna saat kita mengonfrontasikan kemungkinan dari kematian kita. Rasa takut pada kematian atau  ketidakadaan sering kali mendorong kita untuk hidup secara defensif dan menerima sedikit dari kehidupan ketimbang jika kita mengonfrontasikan diri dengan masalah ketidak mengadaan kita. Kita mungkin berusaha menghindari ketidakadaan yang sangat menakutkan dengan memadamkan kesadaran diri dan dengan menyangkali individualitas kita namun, pilihan-pilihan seperti itu hanya akan menyisakan rasa putus asa dan kehampaan. Kalau begitu, kita sering  melarikan diri dan ketakutan akan ketidakadaan dengan mengorbankan ekstensi kita yang terbatas. Altematif  yang lebih sehat adalah menghadapi ketakterelakkannya kematian dan yang menyadari bahwa ketidakadaan merupakan bagian tak terpisahkan dari keberadaan.  

Dengan tradisi tahlilan  yang tidak hanya merupakan bentuk mendo’akan orang yang telah meninggal dunia namun juga mempunyai nilai-nilai seperti (1) pembacaan ayat-ayat al-Qur’an bisa menentramkan hati dan menghibur anggota keluarga.), (2)  ketika ritual tahlil diselenggarakan, sanak saudara berdatangan untuk ikut serta dalam tahlilan. Mereka yang rumahnya jauh (di luar kota) menginap, maka rumah yang semula sepi, terasa ramai kembali dengan kehadiran sanaksaudara. Di sini, tahlilan memberi nilai positif bagi keluarga yang ditinggal orang yang dicintai. Mereka merasa masih ada orang-orang yang peduli dengan kehidupannya. Mereka merasa bermakna,               (3) mauidhoh hasanah yang disampaikan oleh kiai. Pada forum inilah, saat yang baik bagi kiai menyampaikan nasihat. Misalnya, menasihatkan kepada para ahli waris yang ditinggalkan agar mengikhlaskan kepergian orang yang dicintai. Dengan mengikhlaskan kepergiannya, justru membuat almarhum tenang dan bahagia di alam kubur. Kiai menyarankan perbanyak doa untuk mereka yang telah meninggal. Kepada para tamu undangan, kiai juga bisa berpesan bahwa hidup di dunia hanya sementara.

Dengan nilai-nilai yang ada dalam tahlilan ini akan menguatkan unsur being (keberadaan) pada individu sehingga dapat menerima kematian yang menimpa seseorang sebagai suatu keniscayaan yang tidak perlu untuk dihindari.

Kecemasan yang muncul akibat ditinggal meninggal dunia orang yang dicintai juga akan dapat direduksi dengan tradisi tahlilan ini. Dukungan orang yang ada dilingkungannya akan memberikan rasa kebermaknaan pada individu bahwa dia tidak hidup sendirian. Kekhawatiran akan ketidakjelasan masa depan terkurangi dengan dukungan kerabat dan saudara. Maudhoh hasanah yang diberikan oleh kyai pada acara tahlilan juga bisa memberikan pemahaman tentang makna hidup ini.

Terkadang orang yang ditinggal mati oleh keluarganya masih menyisakan rasa bersalah pada dirinya. Rasa bersalah pada eksistensial bersifat universal yang berakar kesadaran diri dan tidak timbul dari pelanggaran terhadap perintah orang tua,  namun timbul dari fakta bahwa saya dapat melihat diri saya sebagai orang yang dapat memilih atau tidak memilih.  Realitas bahwa kematian bukan sesuatu yang tidak dapat pilih dan merupakan keniscayaan yang akan menimpa setiap orang. Denggan tradisi tahlilan ini  seseorang diajarkan untuk menggantungkan segala sesuatunya terhadap kekuasaan diluar diri manusia  yaitu Allah SWT. Dengan kesadaran transendensial  ini masa depan tidak akan menjadi sumber kecemasan dalam hidup ini.

Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tahlilan ini dapat melahirkan kesadaran diri pada manusia bahwa setiap manusia yang hidup pasti akan mati, dan kematian bukan sesuatu yang harus dicemaskan atau dihindari. Sebelum manusia menemui kematian dia diberikan kebebasan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. Namun kebebasan tersebut akan disertai dengan tanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. 

Tujuan dari Konseling eksistensial adalah supaya konseli mengalami eksistensinya secara otentik, dengan menjadi sadar akan keberadaan dan potensinya sendiri dan dengan menjadi sadar akan cara bagaimana dia harus mengungkap potensinya serta bertindak selaras dengan potensinya tersebut. Ada tiga ciri dari keberadaan otentik manusia yaitu

1.      Kesadaran yang penuh tentang saat kini (present moment)

2.      Memilih cara hidup pada saat ini

3.      Mengambil tanggungjawab tentang keputusan pilihan yang telah dibuatnya.

Dengan melihat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tahlilan/selamatan maka pendekatan konseling eksistensial yang berbais nilai-nilai tahlilan atau selamatan dapat dijadikan sebagai salah satu alternative pendekatan didalam proses konseling bagi konseli yang mengalami permasalahan akibat dari ditinggal meninggal dunia oleh keluarganya.








BAB III

PENUTUP

Konseling Eksistensial  adalah salah satu pendekatan konseling yang menjadikan factor spiritual atau rohani sebagai salah satu landasannya. Pendekatan ini berfokus pada kondisi manusia, yaitu suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia yang digunakan untuk mempengaruhi klien.  Kesanggupan  untuk  memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas  di  dalam  kerangka  pembatasannya adalah  suatu  aspek  yang  esensial  pada manusia. Kebebasan memilih  dan  bertindak  itu disertai  tanggung  jawab  atas keberadaan dan  nasibnya.

Pendekatan konseling eksistensial berbasis tahlilan atau selamatan dapat dijadikan sebagai salah satu alternative di dalam membantu konseli yang mengalami persitiwa seperti ditinggal meninggal dunia  oleh orang yang  dicintainya. Karena di dalam tradisi tahlilan terdapat nilai-nilai teraupitik yang apabila kita kaji selaras dengan konsep-konsep dasar yang di dalam pendekatan konseling eksistensial.

Dengan tradisi tahlilan seseorang akan bisa mencapai kesadaran sebagai manusia bahwa pada hakekatnya setiap orang akan menemui kematian, dan kematian bukan peristiwa  yang harus dihindari namun,  sebelum manusia menemui kematian dia diberikan kebebasan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. Namun kebebasan tersebut akan disertai dengan tanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.  Kesadaran yang dimiliki oleh individu akan dapat menghilangkan kecemasan-kecemasn yang ada padanya sebagai akibat dari peristiwa kematian.




DAFTAR PUSTAKA



Corey,G,. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th edition). California: Brooks/Cole.

Diana Rahmasari. 2012. Peran Filsafat Eksistensialisme Terhadap Terapi Eksistensial Humanistik untuk  Mengatasi Frustasi Eksistensial. Jurnal Psikologi: Teori & Terapan, Vol. 2, No. 2, Pebruari 2012 142

Hidayat, Komarudin, 2011. Psikologi Kematian. Bandung : Hikmah

Madchan Anies, HM, 2009. Tradisi dan Kenduri : Tradisi Santri dan Kiai.  Yogyakarta : Pustaka Pesantren.

Misiak, henryk.2005. Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistic. Bandung: PT rafika aditama

Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC

No comments:

Post a Comment