PENDEKATAN
KONSELING EKSISTENSIAL DALAM TRADISI TAHLILAN
Oleh :
Rosidi, S.Psi
PENDAHULUAN
Manusia yang hidup dunia ini pasti akan
mengalami kematian. Tidak ada seorangpun yang bisa terlepas dari kematian. Kita
mencari kehidupan yang penuh namun disaat yang sama kita harus sadar akan mati.
Seseorang yang mengalami peristiwa
kematian anggota keluarganya maka akan mengalami kehilangan dan duka cita. Kehilangan
adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Potter
& Perry, 2005). Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh
setiap individu dalam rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami
kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang
berbeda.
Seseorang yang mengalami kehilangan biasanya
akan merasakan kesedihan dan kecemasan. Menurut May (dalam Olson, 2013) kecemasan merupakan pemahaman yang
dicerabut petunjuknya oleh ancaman terhadap sejumlah nilai yang dianggap
individu esensial bagi eksistensinya sebagai seorang diri. Ancaman ini bisa terhadap
kehidupan fisik seperti kematian, atau kehidupan psikologis seperti kebebasan,
atau bisa juga nilai yang diidentikkan seseorang dengan eksistensinya.
Ketika terjadi persitiwa kematian, Beberapa daerah di Jawa
melakukan tradisi yang disebut dengan Tradisi
tahlilan atau selamatan. Tradisi dalam
pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama
dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari
suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Tradisi
Tahlilan biasanya identik dengan suatu perkumpulan dalam rangka berdo’a, yang
di kemas dengan bacaan Al Qur’an, Dzikir, Tasbih, Tahmid, Tahlil, Shalawat, dan
bacaan lainnya, yang mana pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah
meninggal dunia.
Selamatan kematian atau tahlilan sering di jumpai di lingkungan
masyarakat, Selamatan ini biasanya dilakukan oleh keluarga dari orang yang
meninggal dunia yang mempunyai tujuan untuk mendo’akan orang yang
meninggal dunia agar supaya segala dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT dan
dilapangkan kuburnya. Ritual tahlilan atau selamatan kematian ini sudah
dilakukan secara turun-temurun.
Disamping ditujukan untuk mendoakan orang yang telah meninggal
dunia, tahlilan juga mempunyai fungsi solidaritas social, dimana orang yang
datang dalam acara tahlilan juga memberikan hiburan atau dukungan social atas
peristiwa yang menimpa orang yang terkena musibah.
Dengan berkembangnya waktu, pendekatan spiritual (kerohanian) dalam
konseling semakin diakui dan merupakan penangan yang penting yang dapat
mempengaruhi hubungan, proses atau hasil konseling (Harris et al, 2007).
Pendekatan spiritual dalam konseling mencakup konsep transenden, aktualisasi
diri, tujuan dan maksud, keutuhan, keseimbangan, kesakralan, altruism, dan
kesadaran akan kuasa yang lebih tinggi (standard, Sandhu, & Painther, dalam
Glading, 2015).
Dalam beberapa tahun belakangan ini muncul sejumlah besar leteratur
mengenai agama dan kerohanian dalam psikoterapi
(Ottens & Klein, 2005, p. 32 dalam Glading, 2015). Sebagai contoh, Ingersoll
(dalam Glading, 2015) mengembangkan peninjauan komprehensif tentang
spiritualitas, agama, dan konseling. Dia menunjukkan pentingnya mendefinisikan
spiritualitas dan mencatat dimensi yang menjelaskan tersebut.
Salah satu pendekatan konseling yang banyak menggali factor
spiritualitas dari manusia adalah Pendekatan
psikologi eksistensial humansitik
yang menekankan renungan-renungan filosofis tentang apa
artinya menjadi manusia yang utuh. Konseling eksistensial berfokus pada kondisi manusia, yaitu suatu
sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia yang digunakan untuk
mempengaruhi klien. Kesanggupan untuk
memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas di
dalam kerangka pembatasannya adalah suatu
aspek yang esensial
pada manusia. Kebebasan memilih
dan bertindak itu disertai
tanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
Penciptaan makna manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha
untuk menemukan tujuan hidup
dan menciptakan nilai-nilai yang
akan memberikan makna bagi kehidupan.
Menjadi manusia juga
berarti menghadapi
kesendirian: manusia lahir
ke dunia sendirian dan
mati sendirian pula. Sungguhpun pada
hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan
untuk berhubungan dengan
sesamanya dalam suatu cara yang
bermakna, sebab manusia
adalah mahkluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan
yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi, depersonalisasi, alineasi,
keterasingan, dan kesepian. Manusia
juga berusaha untuk
mengaktualkan diri yakni mengungkapkan potensi -potensi manusiawinya.
Untuk memberikan bantuan psikologis seseorang yang mengalami
musibah akibat kematian orang yang dicintai, disini penulis tertarik untuk membahas
pendekatan konseling eksistensial berbasis
tradisi tahlilan atau selamatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TEORI KONSELING EKSISTENSIAL HUMANISTIK
1.
Hakekat Manusia
Hal penting dalam teori eksistensial adalah teori ini
bereaksi terhadap kecenderungan untuk mengenali terapi dengan sekumpulan teknik-teknik.
Teori ini bertujuan untuk menghormati manusia, mendalami aspek-aspek baru
perilaku manusia, dan metode pemahaman yang berbeda bagi masing-masing
individu. Teori eksistensial menggunakan banyak terapi dengan pendekatan
berdasarkan asumsi-asumsi tentang sifat manusia.
Dalam tradisi eksistensial mencari keseimbangan antara
mengakui batas dan dimensi keberadaan
manusia yaitu di satu sisi, kemungkinan dan peluang,
sedangkan di sisi lain adalah kehidupan manusia atau interaksi sosial. Fokus
dari pendekatan eksistensial adalah pada pengalaman hidup individu dan cara
menghadapi kekhawatiran diri atas rasa kesepian dalam pola hubungan sosial.
Pendekatan psikologi
eksistensial humansitik menekankan
renungan-renungan filosofis tentang apa artinya menjadi manusia
yang utuh. Psikologi
eksistensial berfokus pada
kondisi manusia, yaitu suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia
yang digunakan untuk mempengaruhi klien. Konsep-konsep utama
dari pendekatan eksistensial yang membentuk landasan
bagi praktek teraupetik.
Konsep-konsep
pendekatan seperti kesadaran diri bahwa manusia memiliki kesanggupan
untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata
memungkinkan manusia mampu berpikir dan
memutuskan. Semakin kuat kesadaran diri itu pada seseorang, maka
akan semakin besar pula kebebasan yang ada pada orang lain.
Kesanggupan untuk memilih alternatif-alternatif yakni
memutuskan secara bebas di dalam
kerangka pembatasannya
adalah suatu aspek
yang esensial pada manusia. Kebebasan memilih dan
bertindak itu disertai tanggung jawab
atas keberadaan dan nasibnya
Manusia bukanlah
bidak dari kekuatan-kekuatan yang
deterministik dari pengkondisian.
Kebebasan, tanggung jawab dan
kecemasan. Kesadaran atas
kebebasan dan tanggung jawab
bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi
atribut dasar pada manusia.
Kecemasan eksistensial juga
bisa diakibatkan oleh kesadaran
atas keterbatasannya dan
atas kemungkinan yang terhindarkan untuk
mati (non being). Kesadaran atas
kematian memilih arti penting bagi
kehidupan individu sekarang,
sebab kesadaran tersebut,
menghadapkan individu pada kenyataan
bahwa dia memiliki
waktu yang terbatas untuk
mengaktualkan potensi-potensinya. Dosa
eksistensial, yang juga merupakan bagian
dari kondisi manusia, adalah akibat dari kegagalan individu untuk benar-benar menjadi
sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
Penciptaan
makna manusia itu unik, dalam arti bahwa dia berusaha untuk menemukan tujuan
hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan
makna bagi kehidupan. Menjadi manusia
juga berarti menghadapi kesendirian:
manusia lahir ke dunia
sendirian dan mati
sendirian pula. Sungguhpun pada
hakikatnya sendirian, manusia memiliki kebutuhan
untuk berhubungan dengan
sesamanya dalam suatu cara yang
bermakna, sebab manusia
adalah mahkluk rasional. Kegagalan dalam menciptakan hubungan
yang bermakna bisa menimbulkan kondisi-kondisi isolasi, depersonalisasi, alineasi, keterasingan,
dan kesepian. Manusia juga berusaha
untuk mengaktualkan diri yakni
mengungkapkan potensi -potensi manusiawinya. Sampai taraf
tertentu, jika tidak mampu mengaktualkan diri, ia bisa menjadi “sakit”.
Patologi dipandang sebagai kegagalan
menggunakan kebebasan untuk mewujudkan potensi-potensi seseorang.
Dimensi dasar tentang keadaan manusia, sesuai dengan
pendekatan eksistensial, termasuk : (1) kapasitas untuk kesadaran diri; (2)
kebebasan dan tanggung jawab (3) menciptakan identitas seseorang dan membangun
hubungan yang berarti dengan orang lain; (4) mencari arti, tujuan, nilai-nilai,
dan tujuan-tujuan; (5) kecemasan sebagai makhluk hidup (6) kesadaran akan mati
dan non being.
2.
Konsep Dasar
1.
Being dan No-being
May
melihat bahwa being sebagai participle sebuah kata kerja dan menyiratkan bahwa
seseorang sedang dalam proses menjadi sesuatu.Ia mengatakan bahwa ketika
digunakan sebagai sebuah kata benda, being berarti potential, sumber potensi.
Salah satu analoginya adalah biji pohon berpotensi menjadi sebatang pohon.Untuk
manusia analogi ini hanya sebagian akurat karena manusia memilih being nya
sendiri. Manusia modern telah merepresi sense
of beingnya. Sence of being orang
mengacu pada seluruh pengalaman eksistensinya, baik sadar ataupun tidak sadar.
Kebalikan
dari being adalah non being atau nothingness. Eksistensi menyatakan
kemungkinan itu tidak ada.Kematian adalah bentuk nyata dari being. Bagaimanapun
ada sejumlah ancaman lain untuk being dalam bentuk kehilangan secara potensial
untuk menyelesaikan keinginan, kesesuaian dan menyelesaikan kekurangan
kesadaran diri yang nyata. Orang yang mampu melawan non being dapat muncul
dengan mempertinggi kepekaan termasuk kesadaran yang kuat bukan hanya
menyangkut diri, tetapi terhadap yang lain dan lingkungan sekitar.
2.
Tiga bentuk Being in the word
Terapi
eksistensial membedakan tiga moda dunia yang menjadi ciri eksistensial orang
sebagai being in the word. Pertama ada Umwelt, “word around” (dunia sekitar).
Unwelt merepresentasikan dunia alam, hokum alam dan lingkungan. Umwelt mencakup
kebutuhan, dorongan dan insting biologis. Kedua ada Mitwelt, “with word”
(dengan dunia).Inilah dunia social, yaitu berhubungan dengan sesama manusia
maupun dalam kelompok-kelompok yang saling memengaruhi struktur makna yang
berkembang.Seberapa banyak orang menempatkan dirinya ke dalam kelompok dan mempengaruhi
makna kelompok itu baginya. Ketiga ada Eigentwelt atau own word (dunianya
sendiri). Eigenwelt hadir secara unik dalam diri manusia dan melibatkan self
consciousness dan self awarenees.Selain itu Eigenwelt melibatkan menangkap
makna personal atau seseorang membutuhkan hubungan dengan beberapa benda dan
orang.Ketiga moda being itu saling berkaitan satu sama lain. Sebagai contoh
cinta melibatkan lebih dari dorongan biologis Umwelt dan melibatkan lebih dari
sekedar hubungan social dan interpersonal Mitwelt serta membutuhkan Eigenwelt dalam
arti bahwa ketika berhubungan dengan orang lain, orang perlu mencukupi dirinya.
3.
Kecemasan Normal dan Kecemasan Neurotik
May
mendefinisikan kecemasan sebagai ancaman eksistensi kita atau terhadap
nilai-nilai pada siapa kita mengidentifikasikan eksistensi kita.Reaksi
kecemasan normal memiliki tiga karakteristik, pertama reaksi itu proporsional
dengan ancaman objektif yang dihadapi.Kedua reaksi tersebut tidak melibatkan
represi.Ketiga, reaksi tersebut dapat digunakan secara kreatif untuk
mengidentifikasi dan menghadapi kondisi yang mewujudkannya.Kecemasan neurotik adalah
reaksi yang tidak proporsional dengan ancaman objektifnya, melibatkan represi,
dan bersifat destruktif bukan konstruktif.
4.
Rasa Bersalah Normal, Neurotik dan Eksistensial
Rasa
bersalah adalah bagian dari eksistensi manusia.Sebuah perbedaan dapat ditarik
antara rasa bersalah normal dan neurotik. Rasa bersalah neurotic berada dari
transgresi yang dibayangkan terhadap orang lain, injungsi orang tua dan
konvensi masyarakat. Rasa bersalah normal adalah panggilan kesadaran dan
menyentisisasi orang akan aspek-aspek etis perilakunya.
Rasa
bersalah eksistensial terbagi menajdi tiga bentuk.Pertama, yang
berkorespondensi dengan Eigenwelt adalah kegagalan untuk mewujudkan potensi.
Bentuk kedua yang berkorespondensi dengan Mitwelt berhubunagn dengan
mendistorsi realitas sesame manusia. Bentuk ketiga, rasa bersalah eksistensial
yang melibatkan Umwelt maupun kedua modes
of being lainnya adalah rasa bersalah karena terpisah.Rasa bersalah pada
eksistensial bersifat universal yang berakar kesadaran diri dan tidak timbul
dari pelanggaran terhadap perintah orang tua, namun timbul dari fakta bahwa
saya dapat melihat diri saya sebagai orang yang dapat memilih atau tidak
memilih.
5.
Transendensi
Transendensi
diambil dari kata latin transcendere
yang berarti memanjat ke atas. Kemampuan untuk mentransendensikan situasi
segera adalah bagian dari sifat ontologis manusia. Exiting melibatkan manusia dalam proses kemunculan berkelanjutan
dalam arti bahwa mereka mentransendensikan masa lalu dan masa kini untuk
menciptakan masa depannya. Kecuali jika sakit serius atau terhambat oleh
kecemasan atau keputusasaan, semua manusia terlibat dalam proses ini.
6.
Keprihatinan Utama Eksistensial
Yalom
telah mengidentifikasi empat ketakutan mendasar kematian, kebebasan, isolasi,
dan ketanpamaknaan dengan relevansi yang cukup besar untuk konseling dan
terapi.Masing-masing melahirkan konflik esensial yang berbeda.
a.
Kematian:
konflik eksistensial antara kesadaran tentang kematian yang tak terhindarkan
dan keinginan untuk hidup terus, konflik antara ketakutan non being dan wishing to be.
Hidup dan mati, being dan non being, saling tergantung, tidak bebarengan.
b.
Kebebasan,
konflik eksistensial yang kedua adalah konfrontasi manusia dengan
ketidakberdayaan dan kebebasan dan keinginan akan pijaan dan struktur. Manusia harus
bertanggungjawab, bukan hanya bertanggungjawab untuk mengilhamu dunia dengan
signifikansi, tetapi bertanggungjawab sepenuhnya atas hidupnya, untuk
tindakannya dan untuk tidak bertindak.
c.
Isolasi,
ada tiga bentuk yaitu : pertama, isolasi interpersonal yang dialami sebagai
kesepian, yang berarti bahwa orang dengan tingkat yang bervariasi menjauhkan
diri dari orang lain. Kedua adalah isolasi intrapersonal yang berarti bahwa
orang terblokir dari kesadarannya atau terisolasi dari bagian-bagian dirinya.
Yang ketiga adalah isolasi eksistensial berakar pada kondisi manusia dalam arti
bahwa setiap orang memasuki hidup di dalamnya dan meninggalkan dunia seorang
diri. Yalom melihat bahwa isolasi eksistensial mengacu pada bentuk isolasi yang
bahkan lebih fundamental yaitu keterpisahan dari dunia.
d.
Ketanpamaknaan
Banyak faktor dalam budaya yang berkontribusi pada orang-orang yang
perasaan tentang makna hidupnya menghilang.Pertama alih-alih makna yang
diberikan oleh agama sekarang orang kebanyakan tidak percaya pada agama.Kedua
menyebarluasnya urbanisasi dan industrialisasi telah memberikan kontribusi pada
orang-orang yang kehilangan perasaan tentang maknanya melalui kontak mereka
dengan alam.Ketiga, kebanyakan manusia kontemporer tidak lagi memiliki peran
dalam masyarakat pedesaan tetapi mereka sering hidup di tengah masyarakat
perkotaan yang relatif impersonal.Keempat, banyak manusia kontemporer terasing
dari dunianya dan berfikir bahwa mereka terlibat dalam tugas-tugas mekanis dan
rutin dengan sedikit minat intrinsik.Kelima, manusia kontempor kurang banyak
didesak oleh kebutuhan dasar untuk menjaga kelangsungan hidup, seperti makanan,
tempat tinggal dan air.
Menurut Gerald Corey, konsep utama Eksistensial humanistik adalah freedom
(kebebasan) dan responsibility (tanggung jawab). Manusia disamping
ada keunikan diri sendiri, ia “manusia” tidak lepas dari keberadaan orang lain.
Gejala alienasi (penyimpangan) merupakan gejala keterasingan dengan diri
sendiri, dengan lingkungannya, atau dengan Tuhannya, sehingga individu yang
bersangkutan kehilangan eksistensi diri.Eksistensial Humanistik diperlukan bagi
individu yang mengalami kekosongan batin, tingkah lakunya merupakan refleksi
dari apa yang diharapkan orang lain pada dirinya; misalnya, dengan terpaksa,
terlanjur. Dosa eksistensial dalam bentuk memilih tidak memililh dalam situasi
memilih dengan pilihan semakin banyak/kesadaran makin luas, tidak pernah
memilih/kesadaran sempit.
Pendekatan
eksistensial humanistik mengembalikan pribadi kepada focus sentral, memberikan
gambaran tentang manusia pada tarafnya
yang tertinggi. Ia menunjukkan bahwa manusia selalu ada dalam proses
pemenjadian dan bahwa manusia secara sinambung mengaktualkan dan memenuhi
potensinya. Pendekatan eksistensial humanistik secara tajam berfokus pada fakta-fakta utama keberadaan manusia, kesadaran diri,
dan kebebasan yang konsisten.
3. Pandangan tentang Sifat Manusia
1. Kesadaran diri
Manusia memiliki
kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan
nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan.Semakin besar
kesadaran dirinya, maka semakin besar pula kebebasannya untuk memilih
altrnatif-alternatif. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai dengan
tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
2.
Kebebasan, tanggung jawab dan kecemasan
Kesadaran akan
kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut
dasar pada manusia. Kecemasan juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas
keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (Nonbeing)
3.
Penciptaan Makna
Manusia berusaha untuk
menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna
bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti
menghadapi kesendirian. Manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan
dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna.Manusia juga berusaha untuk
mengaktualisasikan diri, yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya.
Apabila gagal mengaktualisasikan dirinya, maka ia bisa menjadi “sakit”.
4.
Asumsi Pribadi Bermasalah/Patologi dan Pribadi Sehat
a.
Pribadi sehat
Pribadi yang sehat menurut pandangan eksistensial-Humanistik yaitu mampu
memfungsikan dimensi-dimensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga kesadaran
bisa berfungsi secara penuh.Kehidupan
yang sehat adalah
kehi dupan yang penuh
makna. Hanya dengan
makna yang baik orang akan
menjadi insan yang berguna
tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.
b.
Pribadi bermasalah
Pribadi yang bermasalah menurut pandangan eksistensial-Humanistik yaitu
tidak mampu memfungsikan dimensi-dimensi dasar yang dimiliki manusia, sehingga
kesadaran tidak berfungsi secara penuh. Diantaranya ; inkongruen, negatif,
tidak dapat dipercaya, tidak dapat memahami diri sendiri, bermusuhan dan kurang
produktif.
5.
Tujuan Konseling
Konseling eksistensial bertujuan supaya konseli mengalami
eksistensinya secara otentik, dengan menjadi sadar akan keberadaan dan
potensinya sendiri dan dengan menjadi sadar akan cara bagaimana dia harus
mengungkap potensinya serta bertindak selaras dengan potensinya tersebut.
Bugental menganggap keotentikan sebagai pusat perhatian dalam konseling dan
juga sebagai nilai eksistensial yang utama. Ada tiga ciri dari keberadaan
otentik yaitu
a.
Kesadaran
yang penuh tentang saat kini (present moment)
b.
Memilih
cara hidup pada saat ini
c.
Mengambil
tanggungjawab tentang keputusan pilihan yang telah dibuatnya.
Konseli neurotik ialah orang yang telah kehilangan rasa
keberadaannya (sense of being). Konseling bermaksud untuk mengembalikan
keberadaan manusiawinya yang hilang itu.
Jadi tujuan konseling eksistensial sebenarnya ialah memperluas
kesadaran diri konseli dan dengan demikian meningkatkan kemampuan konseli untuk
melakukan pilihan dalam arti membantu konseli untuk menjadi bebas dan lebih
bertanggungjawab mengenai arah hidup yang dipilihnya. Konseling eksistensial
bertujuan pula untuk membantu konseli
menghadapi kecemasan sebagai akibat dari pilihannya dan menerima kenyataan
bahwa dia sebenarnya bukan semata-mata korban dari kekuatan deterministik di
luar dirinya sendiri.
Menurut Nelson, Terapi eksistensial juga memiliki tujuan utama
yaitu klien menghadapi eksistensinya sebagai sesuatu yang riil. Asumsi yang
mendasarinya adalah proses neurotic dasarnya adalah penekanan perasaan ontologis
sehingga melibatkan hilangnya sense of being dan berkurangnya kesadaran dan
potensi. Oleh karena itu terapi utama menyangkut membantu klien mengalami
eksistensinya maka semua kesembuhan simtomatik adalah tujuan sekunder.Terapi
eksistensial berusaha menghindari pendekatan teknis dan mekanis terhadap klien
yang dapat menghasilkan kesembuhan simtomatik yang harus dibayar dengan
mengonstriksi eksistensinya.Penekanan yang besar diberikan pada melihat klien
sebagai manusia dan bukan dalam kaitannya dengan perilaku dan pada hubungan
terapis-klien.
Secara spesifik, terapi eksistensial membantu klien dengan tujuan:
a.
Memahami
konflik tidak sadar
b.
Mengidentifikasi
mekanisme-mekanisme pertahanan maladaptifnya
c.
Menemukan
pengaruh destruktifnya
d.
Mengurangi
kecemasan sekunder dengan mengoreksi moda-moda restriktif dalam mengahadapi
dirinya dan orang lain
e.
Mengembangkan
cara-cara lain untuk mengatasi kecemasan.
B.
TRADISI TAHLILAN/SELAMATAN
1.
Pengertian Tahlilan/Selamatan
Tahlilan adalah
ritual/upacara selamatan yang dilakukan sebagian umat Islam, kebanyakan di Indonesia dan kemungkinan di
Malaysia, untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang
biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga
hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun
pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada
hari ke-1000.
Kata
"Tahlil" sendiri secara harfiah berarti berizikir dengan mengucap
kalimat tauhid "Laa ilaaha illallah" (tiada yang patut disembah
kecuali Allah).
Upacara
tahlilan ditengarai merupakan praktik pada abad-abad transisi yang dilakukan
oleh masyarakat yang baru memeluk Islam, tetapi tidak dapat meninggalkan
kebiasaan mereka yang lama. Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit bukan hanya
terjadi pada masyarakat pra Islam di Indonesia saja, tetapi di berbagai belahan
dunia, termasuk di jazirah Arab. Oleh
para da'i(yang dikenal wali songo) pada waktu itu, ritual yang lama diubah
menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia, tahlilan masih membudaya,
sehingga istilah "Tahlilan" dikonotasikan memperingati dan mendo'akan
orang yang sudah meninggal. tahlilan dilakukan bukan sekadar kumpul-kumpul
karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan
sempat untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul seperti itu. jika pun
tahlilan masih diselenggarakan sampai sekarang, itu karena setiap anak pasti
menginginkan orangtuanya yang meninggal masuk sorga. Sebagaimana diketahui oleh semua kaum muslim,
bahwa anak saleh yang berdoa untuk orangtuanya adalah impian semua orang, oleh
karena itu setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan
mendoakan mereka. dari sinilah, keluarga mendoakan mayit, dan beberapa keluarga
merasa lebih senang jika mendoakan orangtua mereka yang meninggal dilakukan
oleh lebih banyak orang(berjama'ah). maka diundanglah orang-orang untuk itu,
dan menyuguhkan(sodaqoh) sekadar suguhan kecil bukanlah hal yang aneh, apalagi
tabu, apalagi haram. suguhan(sodaqoh) itu hanya berkaitan dengan menghargai
tamu yang mereka undang sendiri. maka, jika ada anak yang tidak ingin atau
tidak senang mendoakan orangtuanya, maka dia (atau keluarganya) tidak akan
melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum syareat. tidak makruh juga tidak
haram. anak seperti ini pasti juga orang yang yang tidak ingin didoakan jika
dia telah mati kelak.
2.
Pelaksanaan
Prosesi Ritual Selamatan Kematian
Pelaksanaan
tahlilan (selamatan kematian), menurut Moh. Choiri diawali oleh pihak keluarga
di mayat dengan mengundang tetangga dan sanak familinya secara lisan untuk
menghadiri acara itu yang akan diselenggarakan di rumah duka. Acara tahlilan
baru dimulai apabila para undangan sudah banyak yang datang dan dianggap cukup.
Yang perlu untuk diketahui adalah bahwa kadang-kadang orang yang tidak
diundangpun turut menghadiri acara tahlilan, sebagai ekspresi penyampaian rasa
ikut berduka. Acara tahlilan, sebagaimana acara-acara lain, dimulai dengan
pembukaan dan diakhiri dengan pembagian makanan kepada para hadirin. Kaitannya
dengan masalah makanan dalam acara tersebut, kadang-kadang pihak keluarga si
mayat ada yang menyajikannya sampai dua kali, yaitu untuk disantap bersama di
rumah tempat mereka berkumpul dan untuk dibawa pulang ke rumah masing- masing,
yang disebut dengan istilah “berkat” (berasal dari bahasa Arab) barakah. Proses
berjalannya acara yang sudah menjadi adat kebiasaan, dipimpin oleh seorang
tokoh masyarakat, kalau bukan seorang ulama atau ustad yang sengaja disiapkan
oleh tuan rumah. Dalam acara selamatan kematian masyarakat Paseseh pada umumnya
melakukan pembacaan tahlil dan Al- Qur’an serta pembacaan do’a-do’a bersama
yang khusus ditujukan pada orang yang meninggal sesuai dengan hari waktu dan
meninggal. Tidak hanya itu, karena ritual tahlilan ini juga diisi dengan
tawasul-tawasul kepada Nabi, sahabat dan para wali serta juga keluarganya yang
telah meninggal. Biasanya ritual yang dilakukan dimulai dengan pembacaan surat
Yasin, pembacaan tahlil dan ditutup dengan pembacaan do’a.
3.
Nilai-Nilai
yang Terkandung dalam Selamatan Kematian
Kegiatan
tradisi merupakan pewarisan serangkaian kebiasaan dan nilai- nilai yang
diwariskan dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Nilai- nilai yang
diwariskan berupa nilai-nilai yang oleh masyarakat pendukungnya masih dianggap
baik dan relevan dengan kebutuhan kelompok. Dalam selamatan kematian
(tahlilan) ini dapat dipakai untuk mengukuhkan nilai-nilai dan keyakinan yang
berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu selamatan kematian merupakan salah
satu upacara keagamaan yang sangat diperhatikan dalam rangka mendoakan arwah
yang telah mendahului mereka serta melestarikan tradisi yang turun-temurun ini.
Disamping
tahlilan sebagai upaya mendo’akan orang yang telah meninggal dunia, Tahlilan
juga mempunyai fungsi terapeutik bagi orang yang ditinggalkan. Menurut Hidayat
(2011) manfaat ritual tahlilan adalah: (1) pembacaan ayat-ayat al-Qur’an
bisa menentramkan hati dan menghibur anggota keluarga.), (2) ketika ritual tahlil diselenggarakan, sanak
saudara berdatangan untuk ikut serta dalam tahlilan. Mereka yang rumahnya jauh (di
luar kota) menginap, maka rumah yang semula sepi, terasa ramai kembali dengan
kehadiran sanaksaudara. Di sini, tahlilan memberi nilai positif bagi keluarga
yang ditinggal orang yang dicintai. Mereka merasa masih ada orang-orang yang
peduli dengan kehidupannya. Mereka merasa bermakna, (3) mauidhoh hasanah.
Setelah pembacaan yasin dan tahlil, biasanya berhenti sebentar untuk menikmati
hidangan minuman dan makanan kecil. Kira-kira 5 menit kemudian (atau ketika
terasa cukup), acara dilanjutkan dengan mauidhoh, hasanah yang
disampaikan oleh kiai. Pada forum inilah, saat yang baik bagi kiai menyampaikan
nasihat. Misalnya, menasihatkan kepada para ahli waris yang ditinggalkan agar
mengikhlaskan kepergian orang yang dicintai. Dengan mengikhlaskan kepergiannya,
justru membuat almarhum tenang dan bahagia di alam kubur. Kiai menyarankan
perbanyak doa untuk mereka yang telah meninggal. Kepada para tamu undangan,
kiai juga bisa berpesan bahwa hidup di dunia hanya sementara. Bagi mereka yang
cerdas, akan senantiasa menyiapkan amal yang bisa dijadikan bekal untuk
kehidupan setelah kematian.
C.
PENDEKATAN KONSELING EKSISTENSIAL BERBASIS TRADISI TAHLILAN
Dalam
konsep dasar teori eksistensial bahwa keberadaan manusia di dunia ini tidak
bisa terlepas dari Umwelt atau lingkungan di sekitar
kita, Minwelt
atau hubungan kita dengan orang lain, dan Eigenwelt atau hubungan kita dengan
diri sendiri. Dalam tradisi tahlilan ketiga unsur dari being terdapat
didalamnya. Sebagai mahluk individu seseorang yang hidup pada lingkungan social
tertentu pasti berinteraksi dengan orang disekitarnya. Salah satu bentuk dari interaksi adalah
ketika salah satu dari bagian lingkungan social tersebut tertimpa musibah maka
orang-orang yang ada dilingkungan itu akan ikut memberikan dukungan baik secara
moril maupun materiil. Efek dari interaksi yang dilakukan itu akan menimbulkan
rasa kebermaknaan (eigenwelt) bagi individu yang mengalami musibah.
Ketika
seseorang telah memiliki kesadaran yang kuat karena unsur being yang berkembang
dengan baik, maka individu akan mempunyai kekuatan untuk melawan unsure
nonbeing atau nothingness. Bentuk nyata dari ketiadaan (nonbeingness) adalah
kematian.
Kematian bukan hanya jalan bagi ketidak mengadaan namun
juga jalan yang paling jelas. Hidup Menjadi lebih vital, lebih bermakna
saat kita mengonfrontasikan kemungkinan dari kematian kita. Rasa takut pada
kematian atau ketidakadaan sering kali mendorong kita untuk hidup secara
defensif dan menerima sedikit dari kehidupan ketimbang jika kita
mengonfrontasikan diri dengan masalah ketidak mengadaan kita. Kita mungkin berusaha
menghindari ketidakadaan yang sangat menakutkan dengan memadamkan kesadaran
diri dan dengan menyangkali individualitas kita namun, pilihan-pilihan seperti
itu hanya akan menyisakan rasa putus asa dan kehampaan. Kalau begitu, kita
sering melarikan diri dan ketakutan akan ketidakadaan dengan mengorbankan
ekstensi kita yang terbatas. Altematif yang lebih sehat adalah menghadapi
ketakterelakkannya kematian dan yang menyadari bahwa ketidakadaan merupakan
bagian tak terpisahkan dari keberadaan.
Dengan tradisi tahlilan yang
tidak hanya merupakan bentuk mendo’akan orang yang telah meninggal dunia namun
juga mempunyai nilai-nilai seperti (1) pembacaan ayat-ayat al-Qur’an bisa
menentramkan hati dan menghibur anggota keluarga.), (2) ketika ritual tahlil diselenggarakan, sanak
saudara berdatangan untuk ikut serta dalam tahlilan. Mereka yang rumahnya jauh (di
luar kota) menginap, maka rumah yang semula sepi, terasa ramai kembali dengan
kehadiran sanaksaudara. Di sini, tahlilan memberi nilai positif bagi keluarga
yang ditinggal orang yang dicintai. Mereka merasa masih ada orang-orang yang
peduli dengan kehidupannya. Mereka merasa bermakna, (3) mauidhoh hasanah yang
disampaikan oleh kiai. Pada forum inilah, saat yang baik bagi kiai menyampaikan
nasihat. Misalnya, menasihatkan kepada para ahli waris yang ditinggalkan agar
mengikhlaskan kepergian orang yang dicintai. Dengan mengikhlaskan kepergiannya,
justru membuat almarhum tenang dan bahagia di alam kubur. Kiai menyarankan
perbanyak doa untuk mereka yang telah meninggal. Kepada para tamu undangan,
kiai juga bisa berpesan bahwa hidup di dunia hanya sementara.
Dengan
nilai-nilai yang ada dalam tahlilan ini akan menguatkan unsur being
(keberadaan) pada individu sehingga dapat menerima kematian yang menimpa
seseorang sebagai suatu keniscayaan yang tidak perlu untuk dihindari.
Kecemasan yang
muncul akibat ditinggal meninggal dunia orang yang dicintai juga akan dapat
direduksi dengan tradisi tahlilan ini. Dukungan orang yang ada dilingkungannya
akan memberikan rasa kebermaknaan pada individu bahwa dia tidak hidup
sendirian. Kekhawatiran akan ketidakjelasan masa depan terkurangi dengan
dukungan kerabat dan saudara. Maudhoh hasanah yang diberikan oleh kyai pada
acara tahlilan juga bisa memberikan pemahaman tentang makna hidup ini.
Terkadang orang yang ditinggal mati oleh keluarganya masih
menyisakan rasa bersalah pada dirinya. Rasa bersalah pada
eksistensial bersifat universal yang berakar kesadaran diri dan tidak timbul
dari pelanggaran terhadap perintah orang tua, namun timbul dari fakta bahwa saya dapat
melihat diri saya sebagai orang yang dapat memilih atau tidak memilih. Realitas bahwa kematian
bukan sesuatu yang tidak dapat pilih dan merupakan keniscayaan yang akan
menimpa setiap orang. Denggan tradisi tahlilan ini seseorang diajarkan untuk menggantungkan
segala sesuatunya terhadap kekuasaan diluar diri manusia yaitu Allah SWT. Dengan kesadaran
transendensial ini masa depan tidak akan
menjadi sumber kecemasan dalam hidup ini.
Dengan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi tahlilan ini dapat
melahirkan kesadaran diri pada manusia bahwa setiap manusia yang hidup pasti
akan mati, dan kematian bukan sesuatu yang harus dicemaskan atau dihindari.
Sebelum manusia menemui kematian dia diberikan kebebasan untuk berbuat sesuai
dengan kehendaknya. Namun kebebasan tersebut akan disertai dengan tanggung
jawab terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Tujuan
dari Konseling eksistensial adalah supaya konseli mengalami eksistensinya
secara otentik, dengan menjadi sadar akan keberadaan dan potensinya sendiri dan
dengan menjadi sadar akan cara bagaimana dia harus mengungkap potensinya serta
bertindak selaras dengan potensinya tersebut. Ada tiga ciri dari keberadaan
otentik manusia yaitu
1. Kesadaran
yang penuh tentang saat kini (present moment)
2.
Memilih cara
hidup pada saat ini
3.
Mengambil
tanggungjawab tentang keputusan pilihan yang telah dibuatnya.
Dengan melihat nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi
tahlilan/selamatan maka pendekatan konseling eksistensial yang berbais nilai-nilai
tahlilan atau selamatan dapat dijadikan sebagai salah satu alternative
pendekatan didalam proses konseling bagi konseli yang mengalami permasalahan
akibat dari ditinggal meninggal dunia oleh keluarganya.
BAB III
PENUTUP
Konseling
Eksistensial adalah salah satu
pendekatan konseling yang menjadikan factor spiritual atau rohani sebagai salah
satu landasannya. Pendekatan ini berfokus pada kondisi manusia, yaitu suatu
sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia yang digunakan untuk
mempengaruhi klien. Kesanggupan untuk
memilih alternatif-alternatif yakni memutuskan secara bebas di
dalam kerangka pembatasannya adalah suatu
aspek yang esensial
pada manusia. Kebebasan memilih
dan bertindak itu disertai
tanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.
Pendekatan
konseling eksistensial berbasis tahlilan atau selamatan dapat dijadikan sebagai
salah satu alternative di dalam membantu konseli yang mengalami persitiwa
seperti ditinggal meninggal dunia oleh
orang yang dicintainya. Karena di dalam
tradisi tahlilan terdapat nilai-nilai teraupitik yang apabila kita kaji selaras
dengan konsep-konsep dasar yang di dalam pendekatan konseling eksistensial.
Dengan
tradisi tahlilan seseorang akan bisa mencapai kesadaran sebagai manusia bahwa
pada hakekatnya setiap orang akan menemui kematian, dan kematian bukan
peristiwa yang harus dihindari
namun, sebelum manusia menemui kematian
dia diberikan kebebasan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. Namun
kebebasan tersebut akan disertai dengan tanggung jawab terhadap
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Kesadaran yang dimiliki oleh individu akan dapat menghilangkan
kecemasan-kecemasn yang ada padanya sebagai akibat dari peristiwa kematian.
DAFTAR PUSTAKA
Corey,G,. 2013. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th
edition). California: Brooks/Cole.
Diana
Rahmasari. 2012. Peran Filsafat Eksistensialisme Terhadap Terapi
Eksistensial Humanistik untuk Mengatasi
Frustasi Eksistensial. Jurnal Psikologi: Teori & Terapan, Vol. 2, No.
2, Pebruari 2012 142
Hidayat, Komarudin, 2011. Psikologi Kematian. Bandung :
Hikmah
Madchan Anies, HM, 2009. Tradisi dan Kenduri : Tradisi
Santri dan Kiai. Yogyakarta : Pustaka
Pesantren.
Misiak,
henryk.2005. Psikologi Fenomenologi, Eksistensial dan Humanistic.
Bandung: PT rafika aditama
Potter &
Perry. 2005. Fundamental Keperawatan volume 1.
Jakarta: EGC
No comments:
Post a Comment