MENGATASI PERMASALAHAN KONSELOR PEMULA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Sebagai
seorang profesional, guru BK atau konselor di dalam menjalankan tugasnya
terkadang akan menjumpai hambatan-hambatan dalam bekerja. Hambatan-hambatan
tersebut ada yang biasa-biasa saja sampai hambatan yang serius. Jika
hambatan-hambatan yang ada tidak teratasi dengan baik dapat menyebabkan proses
konseling yang dilakukan kurang efektif. Terutama
bagi konselor-konselor pemula.
Persepsi bahwa BK menjadi polisi
sekolah, ember bocor, ataupun mata-mata masih belum terhapus dalam ingatan
siswa. Dikalangan guru, keberadaan BK masih dipandang sebelah mata, karena
dianggap tidak jelas pekerjaannya. Fenomena semacam ini banyak terjadi bukan
hanya di sekolah negeri tapi juga di sekolah swasta. Ketidakefektifan kinerja BK
di sekolah sepanjang yang saya cermati tidak lepas dari variabel-variabel yang
terjadi berikut ini. Persepsi bahwa guru
BK itu hadir di sekolah hanya untuk siswa perlu diluruskan, karena umumnya para
guru tidak menyadari bahwa cara mereka berinteraksi dengan siswa,
mendisiplinkan siswa, dan menyelesaikan permasalahan siswa tidak sedikit yang
menyakiti, merusak citra diri, mengikis kepercayaan diri, mematahkan
kreativitas, bahkan menghilangkan cinta yang ada dalam diri anak didiknya.
Faktor
lain adalah fungsi dan peran guru BK belum dipahami secara tepat baik oleh
pejabat sekolah maupun guru BK itu sendiri. Di beberapa sekolah, banyak guru BK
yang berfungsi ganda dengan memerankan beragam jabatan misalnya, disamping
sebagai guru BK dia juga menjabat wali kelas dan atau guru piket harian.
Akibatnya, dia terlibat dalam penegakan tata tertib sekolah, pemberian hukuman,
dan atau tindakan razia yang merupakan tindakan yang dibenci oleh siswa.
Efeknya, kepercayaan siswa terhadap netralitas yang diperankan guru BK menjadi
menurun dan tidak sedikit siswa beranggapan bahwa sosok guru BK sama saja
dengan guru yang lain serta bukan tempat yang nyaman buat para siswa. Fenomena
lain yang terlihat adalah sekolah tidak menyediakan fasilitas ruang konseling
yang memadai. Ruang konseling dianggap
sama dengan ruang kerja guru BK sehingga terwujud apa adanya. Padahal ruang
konseling itu punya desain interior secara khusus dan tata letak furnitur yang
diatur sesuai dengan orientasi teori konseling dan terapi yang diterapkan
seorang konselor terhadap kliennya. Konsekuensinya, siswa menjadi enggan untuk
melakukan konseling dengan sukarela.
Berdasarkan
permasalahan-permasalahan BK di atas bagaimana upaya yang bisa dilakukan supaya
guru BK atau konselor dapat menjadi sahabat bagi siswa sehingga mereka tidak
enggan untuk datang kepada guru BK untuk melakukan konseling.
B.
TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui persepsi siswa terhadap
layanan bimbingan dan konseling di sekolah
2. Mengetahui pribadi atau karakter-karakter
konselor yang efektif
3. Solusi bagi keengganan siswa untuk
memanfaatkan layanan BK di sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Persepsi
Dalam buku
perilaku dan manajemen organisasi ( John M. Ivancevich, dkk 2006: 116) persepsi
didefinisikan sebagai proses kognitif dimana seseorang individu memilih,
mengorganisasikan, dan memberikan arti kepada stimulus lingkungan. Melalui
persepsi, individu berusaha untuk merasionalkan lingkungan dan objek, orang dan
peristiwa di dalamnya. Persepsi, menurut Jalaludin Rakhmat (1998: 51),
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Bimo
Walgito (2002: 87) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan proses aktif
yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga
individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya, motivasi serta
sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu dalam hubungannya
dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk dapat mengartikan
rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubungan
antara individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu terjadi, maka
diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan perhatian
merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan pengamatan.
Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan
membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.
Dari definisi persepsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi
merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan
menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalaman-pengalaman yang
ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang
berarti.
|
Persepsi merupakan proses pengorganisasian,
penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu sehingga
merupakan sesuai yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam
diri individu karena merupakan aktivitas yang integrated maka seluruh pribadi,
seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi
itu.
Terjadinya perbedaan bagi tiap individu dengan
persepsi suatu obyek tergantung pada pengalaman dan pengamatan individu itu
sendiri terhadap obyek yang sama apabila antara mereka ada yang sebelumnya
telah mempunyai pengalaman tentang obyek tersebut dan yang lainnya belum /
tidak memiliki pengalaman obyek itu.
B.
Persepsi
Siswa Terhadap Konselor atau Guru BK
Di sekolah
sangat mungkin ditemukan siswa yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai
gejala penyimpangan perilaku yang merentang dari kategori ringan sampai dengan
berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait
dengan pelanggaran disiplin sekolah dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1)
pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling. Penanganan
siswa bermasalah melalui pemdekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan
(tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu
komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya
memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai
penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, sekolah bukan “lembaga hukum”
yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan
perilaku.
Oleh
karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan, yaitu pendekatan
melalui bimbingan dan konseling. Penanganan siswa bermasalah melalui bimbingan
dan konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih
mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling
percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi
setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima lingkungannya, serta dapat
mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Masih
banyak anggapan bahwa keberadaan konselor di sekolah adalah sebagai polisi
sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan
keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan “Barangsiapa di antara siswa-siswi
melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor”.
Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun
pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang dan diberi wewenang untuk
mengambil tindakan bagi siswa yang bersalah itu. Konselor didorong untuk
mancari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengaku bahwa ia telah berbuat
sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang wajar, atau merugikan.
Jika yang
dipahami oleh siswa bahwa guru BK bertugas sebagaimana yang tercantum diatas
maka akan menimbulkan persepsi negatif siswa terhadap konselor atau guru BK.
Sehingga wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor karena menganggap
bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib, ia mengalami
ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri sendiri, ia telah berbuat
salah, atau predikat-predikat lainnya. Padahal, sebaliknya dari segenap
anggapan yang merugikan itu, disekolah konselor haruslah menjadi teman dan
kepercayaan siswa. Di samping petugas-petugas lainnya di sekolah, konselor
hendaknya menjadi tempat pencurahan kepentingan siswa, pencurahan apa yang
terasa di hati dan terpikirkan oleh siswa. Petugas bimbingan dan konseling
bukanlah pengawas ataupun polisi yang selalu mencurigai dan akan menangkap
siapa saja yang bersalah.
Sebagaimana
hasil penelitian dari Dewati (2013) bahwa persepsi siswa mempengaruhi terhadap
sikapnya di dalam memanfaatkan layanan konseling. Jika siswa berpersepsi
positif terhadap konselor maka siswa akan merasa senang dan suka rela untuk
memanfaatkan layanan konseling, begitu
pula sebaliknya jika siswa berpersepsi negative terhadap konselor maka siswa
akan merasa enggan untuk memanfaatkan layanan konseling.
C. Kualitas
Pribadi Konselor
Selain masalah peran yang dilakukan
konselor di sekolah yang bisa menimbulkan persepsi positif maupun negatif
terhadap konselor atau Guru BK, maka faktor yang tidak kalah penting yang bisa
menimbulkan persepsi yang positif terhadap konselor adalah kualitas
pribadi dan profesional seorang guru BK atau konselor. Okun dan Kantrowitz
(dalam Glading, 2015: 160) mencatat bahwa sangatlah sulit untuk memisahkan karakteristik
kepribadian si penolong dari tingkat dan gayanya dalam bekerja, karena keduanya
saling berhubungan. Kemudian mereka menyebutkan lima karakteristik yang harus
dimiliki penolong: mawas diri, jujur, selaras, mampu berkomunikasi, dan
berpengetahuan.
Guru BK atau Konselor yang terus-menerus
mengembangkan kemampuan mawas dirinya selalu bersentuhan dengan nilai-nilai,
pikiran, dan perasaannya. Dia mempunyai persepsi yang jernih tentang kebutuhan
klien dan diri sendiri, dan menilai keduanya secara akurat. Mawas diri semacam itu dapat membantu konselor
jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain. Konselor dapat lebih selaras dan
membangun rasa saling percaya secara berkelanjutan. Konselor yang mempunyai pengetahuan tersebut
lebih dapat berkomunikasi secara jelas dan akurat.
Tiga karakteristik lain yang membuat konselor di
awalnya menjadi lebih berpengaruh adalah keahlian, ketertarikan, dan dapat
dipercaya (Strong, dalam Glading, 2015: 160). Keahlian adalah tingkat dimana
seorang konselor digambarkan sebagai orang yang berpengetahuan dan melek
informasi mengenai spesialisasinya. Konselor yang mempertunjukkan bukti-bukti
kemampuannya, di dalam kantornya, seperti misalnya ijazah dan sertifikat,
biasanya dianggap Iebih kredibel daripada konselor yang tidak, dan akibatnya
dianggap lebih efektif (Lofssch, Siegal & Sell, (dalam Glading, 2015:
160)). Klien menginginkan konselor yang tampak mengetahui profesinya
dengan baik.
Ketertarikan adalah fungsi dari kesamaan yang
terasakan antara klien dan konselor selain fitur fisik. Konselor dapat membuat
dirinya menarik dengan berbicara dalam kalimat yang jelas, simpel, tanpa
jargon, dan menawarkan pengungkapan diri yang tepat (Watkins & Schenider,
(dalam Glading, 2015: 161)). Cara konselor menyambut klien dan tetap menjaga
kontak mata juga dapat menaikkan tingkat ketertarikan. Konselor yang menggunakan
petunjuk nonverbal dalam menanggapi kliennya, seperti anggukan kepala dan
kontak mata misalnya, dianggap Iebih menarik daripada yang tidak (Claiborn,
1979; LaCross, (dalam Glading, 2015: 161)). Gaya busana konselor juga dapat membuat
perbedaan (Hunblle & Gelso, (dalam Glading, 2015: 161)). Busana yang
dikenakan haruslah rapi, bersih, dan tampak professional namun jangan sampai
mencolok.
Sifat dapat dipercaya dihubungkan dengan ketulusan
dan konsistensi konselor. Konselor harus memiliki kepedulian yang tulus dan
menunjukkannya terus-menerus dengan cara menjalin hubungan yang erat. ”Tidak
ada keakraban atau kepercayaan yang instan" (Patterson, (dalam Glading,
2015: 161)). Keduanya dihasilkan dari pola-pola tingkah laku yang menunjukkan
perhatian dan kepedulian.
Rogers (1957) menyatakan terdapat tiga kualitas
pribadi konselor yang mencakup (a) kongruen (keaslian, atau realitas); (b)
penghargaan positif tak bersyarat (penerimaan dan peduli); dan (c) pemahaman
empatik yang akurat (kemampuan untuk sangat memahami dunia subjektif dari orang
lain). Sedangkan Corey (2009) menyebutkan karakteristik konselor yang efektif
adalah: (a) konselor efektif memiliki identitas; (b) konselor yang efektif
menghormati dan menghargai diri mereka sendiri; (c) konselor yang efektif
terbuka terhadap perubahan; (d) konselor yang efektif membuat pilihan yang
berorientasi pada kehidupan; (e) konselor yang efektif adalah otentik, tulus,
dan jujur; (f) konselor yang efektif memiliki selera humor; (g) konselor yang
efektif bersedia mengakui kesalahan mereka; (h) konselor yang efektif mempunyai
orientasi hidup di saat sekarang; (i) konselor yang efektif menghargai
perbedaan budaya; (j) konselor yang efektif memiliki minat yang tulus dalam
membantu pencapaian kesejahteraan orang lain; (k) konselor yang efektif
memiliki keterampilan interpersonal yang efektif; (l) konselor yang efektif
sangat terlibat dalam pekerjaan mereka dan memperoleh makna dari hal itu; (m)
konselor yang efektif semangat; dan (n) konselor yang efektif mampu
mempertahankan batas-batas yang sehat.
Jika pribadi - pribadi yang efektif di atas melekat
pada diri guru BK atau konselor maka hal tersebut akan menimbulkan persepsi
yang positif terhadap konselor sehingga akan menghilangkan keengganan siswa untuk
memanfaatkan layanan konseling.
di samping
juga ada upaya dari lembaga pendidikan atau sekolah untuk dapat menempatkan
guru BK sebagaimana fungsinya.
Pejabat sekolah dalam hal ini kepala sekolah mempunyai
peranan yang sangat penting di dalam menciptakan persepsi yang positif terhadap
konselor. Menurut Direktorat Jendral PMTK (Mahanggi, 2014) bahwa tugas dari kepala sekolah adalah : (1)
menyediakan sarana dan prasarana, tenaga dan berbagai fasilitas lainnya untuk
kemudahan bagi terlaksananya layanan bimbingan dan konseling yang efektif dan
efisien,(2) melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan
pelaksanaan program, penilaian dan upaya tindak lanjut pelayanan dan bimbingan
dan konseling; (3) mempertanggungjawabkan pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah kepada pihak-pihak terkait, terutama dinas pendidikan yang
menjadi atasannya; (4) menyediakan fasilitas, kesempatan dan dukungan dalam
kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh pengawas sekolah bidang bimbingan
konseling.
Jika kepala sekolah menerapkan manajemen BK yang
dapat menempatkan guru BK tidak berperan selayaknya polisi sekolah, Guru BK
tidak dilibatkan langsung di dalam penegakan tata tertib sekolah, melakukan
razia, memotong rambut siswa, serta kegiatan-kegiatan lain yang dapat
menimbulkan persepsi negatif terhadap guru BK serta memberikan sarana yang
layak untuk melakukan proses konseling seperti ruangan konseling yang sesuai
dengan standar maka persepsi positif terhadap konselor akan tertanam pada siswa
dan komponen-komponen lain di sekolah sebagaimana hasil penelitian dari Mahanggi
dkk (2014) bahwa kepala sekolah mempunyai peranan yang penting di dalam
mengubah persepsi negatif siswa terhadap konselor atau guru BK.
Jika seorang guru BK atau konselor telah memiliki
pribadi yang efektif dengan didukung oleh sistem sekolah yang dapat menempatkan
guru BK sesuai dengan perannya maka siswa akan tidak enggan lagi untuk
menjadikan guru BK sebagai sahabat serta menjadikan tempat untuk mencari solusi
terhadap permasalahan-permasahan hidupnya baik masalah pribadi, belajar, social
maupun karir di masa depan.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Salah satu masalah yang dihadapi oleh seorang guru BK
atau konselor adalah masih adanya
persepsi negatif siswa terhadap konselor yang menyebabkan keengganan siswa memanfaatkan
layanan konseling. Faktor yang menyebabkan siswa enggan terhadap guru BK karena
selama ini guru BK masih dipersepsikan sebagai polisi sekolah, ember bocor,
bahkan mata-mata sekolah.
Untuk mengatasi problematika tersebut maka diperlukan
sosok guru BK atau konselor yang mempunyai karakteristik yang efektif meliputi:
(a) konselor efektif memiliki identitas; (b) konselor yang efektif menghormati
dan menghargai diri mereka sendiri; (c) konselor yang efektif terbuka terhadap
perubahan; (d) konselor yang efektif membuat pilihan yang berorientasi pada
kehidupan; (e) konselor yang efektif adalah otentik, tulus, dan jujur; (f)
konselor yang efektif memiliki selera humor; (g) konselor yang efektif bersedia
mengakui kesalahan mereka; (h) konselor yang efektif mempunyai orientasi hidup
di saat sekarang; (i) konselor yang efektif menghargai perbedaan budaya; (j)
konselor yang efektif memiliki minat yang tulus dalam membantu pencapaian
kesejahteraan orang lain; (k) konselor yang efektif memiliki keterampilan
interpersonal yang efektif; (l) konselor yang efektif sangat terlibat dalam
pekerjaan mereka dan memperoleh makna dari hal itu; (m) konselor yang efektif
semangat; dan (n) konselor yang efektif mampu mempertahankan batas-batas yang
sehat.
Disamping kualitas pribadi konselor di atas maka
efektifitas layanan bimbingan konseling di atas harus didukung oleh pejabat
sekolah dalam hal ini kepala sekolah di dalam menciptakan sistem yang dapat
menempatkan guru BK pada peran yang semestinya.
|
B. Saran
Berdasarkan uraian di
atas maka ada beberapa hal yang dapat kami sarankan kepada pembaca :
1. Kepala sekolah sebagai pejabat di sekolah hendaknya dapat menerapkan
manajemen Bimbingan Konseling di sekolah sesuai dengan permendikbud no. 111 tahun 2014.
2. Konselor atau guru BK harus selalu meningkatkan kompetensi pribadinya
maupun kemampuan-kemampuan lain di dalam bimbingan konseling baik itu teknik
konseling maupun kemampuan pemahaman terhadap siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Bimo Walgito.2002.Pengantar
Psikologi Umum.Yogyakarta.Andi Offset
Corey, M.S 2007. Becoming a Helper, USA : Thomson Brooks/Cole
Dinka Rizky A Mahanggi dkk, 2014. Kebijakan
Kepala Sekolah Terhadap Pelayanan Bimbingan Konseling di SMA Se-Kab.
Purbalingga. Jurnal Universitas Negeri Semarang.
Nicholson, J.A. & Golsan, G. 1983. The Creative Counselor. USA: McGraw-Hill, Inc.
Ratih Dewati. 2013. Persepsi Terhadap Kinerja
Konselor dan Sikap dalam Memanfaatkan Layanan Konseling Perorangan. Jurnal
Universitas Negeri Semarang.
Samuel T
Gladding. 2015. Konseling (profesi yang
menyeluruh). Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Indeks
Vhaten. 2012. http://vhateen.blogspot.com/Hambatan-dan-Masalah-Konselor, Online. Diakses tanggal 29 September 2015
|
No comments:
Post a Comment