Sunday 21 August 2016

KONSELOR PEMULA



MENGATASI PERMASALAHAN KONSELOR PEMULA
 
BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang profesional, guru BK atau konselor di dalam menjalankan tugasnya terkadang akan menjumpai hambatan-hambatan dalam bekerja. Hambatan-hambatan tersebut ada yang biasa-biasa saja sampai hambatan yang serius. Jika hambatan-hambatan yang ada tidak teratasi dengan baik dapat menyebabkan proses konseling yang dilakukan kurang efektif. Terutama bagi konselor-konselor pemula.
Persepsi bahwa BK menjadi polisi sekolah, ember bocor, ataupun mata-mata masih belum terhapus dalam ingatan siswa. Dikalangan guru, keberadaan BK masih dipandang sebelah mata, karena dianggap tidak jelas pekerjaannya. Fenomena semacam ini banyak terjadi bukan hanya di sekolah negeri tapi juga di sekolah swasta. Ketidakefektifan kinerja BK di sekolah sepanjang yang saya cermati tidak lepas dari variabel-variabel yang terjadi berikut ini.  Persepsi bahwa guru BK itu hadir di sekolah hanya untuk siswa perlu diluruskan, karena umumnya para guru tidak menyadari bahwa cara mereka berinteraksi dengan siswa, mendisiplinkan siswa, dan menyelesaikan permasalahan siswa tidak sedikit yang menyakiti, merusak citra diri, mengikis kepercayaan diri, mematahkan kreativitas, bahkan menghilangkan cinta yang ada dalam diri anak didiknya.
Faktor lain adalah fungsi dan peran guru BK belum dipahami secara tepat baik oleh pejabat sekolah maupun guru BK itu sendiri. Di beberapa sekolah, banyak guru BK yang berfungsi ganda dengan memerankan beragam jabatan misalnya, disamping sebagai guru BK dia juga menjabat wali kelas dan atau guru piket harian. Akibatnya, dia terlibat dalam penegakan tata tertib sekolah, pemberian hukuman, dan atau tindakan razia yang merupakan tindakan yang dibenci oleh siswa. Efeknya, kepercayaan siswa terhadap netralitas yang diperankan guru BK menjadi menurun dan tidak sedikit siswa beranggapan bahwa sosok guru BK sama saja dengan guru yang lain serta bukan tempat yang nyaman buat para siswa. Fenomena lain yang terlihat adalah sekolah tidak menyediakan fasilitas ruang konseling yang memadai.  Ruang konseling dianggap sama dengan ruang kerja guru BK sehingga terwujud apa adanya. Padahal ruang konseling itu punya desain interior secara khusus dan tata letak furnitur yang diatur sesuai dengan orientasi teori konseling dan terapi yang diterapkan seorang konselor terhadap kliennya. Konsekuensinya, siswa menjadi enggan untuk melakukan konseling dengan sukarela.
Berdasarkan permasalahan-permasalahan BK di atas bagaimana upaya yang bisa dilakukan supaya guru BK atau konselor dapat menjadi sahabat bagi siswa sehingga mereka tidak enggan untuk datang kepada guru BK untuk melakukan konseling.

B.     TUJUAN PENULISAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui persepsi siswa terhadap layanan bimbingan dan konseling di sekolah
2.      Mengetahui pribadi atau karakter-karakter konselor yang efektif
3.      Solusi bagi keengganan siswa untuk memanfaatkan layanan BK di sekolah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Persepsi
Dalam buku perilaku dan manajemen organisasi ( John M. Ivancevich, dkk 2006: 116) persepsi didefinisikan sebagai proses kognitif dimana seseorang individu memilih, mengorganisasikan, dan memberikan arti kepada stimulus lingkungan. Melalui persepsi, individu berusaha untuk merasionalkan lingkungan dan objek, orang dan peristiwa di dalamnya.  Persepsi, menurut Jalaludin Rakhmat (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Bimo Walgito (2002: 87) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya, motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan sebagai penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar proses pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan pengamatan. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.
Dari definisi persepsi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalaman-pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan keseluruhan gambaran yang berarti.

3
 
  
Persepsi merupakan proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu sehingga merupakan sesuai yang berarti dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu karena merupakan aktivitas yang integrated maka seluruh pribadi, seluruh apa yang ada dalam diri individu ikut aktif berperan dalam persepsi itu.
Terjadinya perbedaan bagi tiap individu dengan persepsi suatu obyek tergantung pada pengalaman dan pengamatan individu itu sendiri terhadap obyek yang sama apabila antara mereka ada yang sebelumnya telah mempunyai pengalaman tentang obyek tersebut dan yang lainnya belum / tidak memiliki pengalaman obyek itu.

B.       Persepsi Siswa Terhadap Konselor atau Guru BK
Di sekolah sangat mungkin ditemukan siswa yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan perilaku yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin sekolah dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling. Penanganan siswa bermasalah melalui pemdekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku siswa. Kendati demikian, sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan yang kedua perlu digunakan, yaitu pendekatan melalui bimbingan dan konseling. Penanganan siswa bermasalah melalui bimbingan dan konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Masih banyak anggapan bahwa keberadaan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin dan keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan “Barangsiapa di antara siswa-siswi melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor”. Tidak jarang pula konselor sekolah diserahi tugas mengusut perkelahian ataupun pencurian. Konselor ditugaskan mencari siswa yang dan diberi wewenang untuk mengambil tindakan bagi siswa yang bersalah itu. Konselor didorong untuk mancari bukti-bukti atau berusaha agar siswa mengaku bahwa ia telah berbuat sesuatu yang tidak pada tempatnya atau kurang wajar, atau merugikan.
Jika yang dipahami oleh siswa bahwa guru BK bertugas sebagaimana yang tercantum diatas maka akan menimbulkan persepsi negatif siswa terhadap konselor atau guru BK. Sehingga wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib, ia mengalami ketidakberesan tertentu, ia tidak dapat berdiri sendiri, ia telah berbuat salah, atau predikat-predikat lainnya. Padahal, sebaliknya dari segenap anggapan yang merugikan itu, disekolah konselor haruslah menjadi teman dan kepercayaan siswa. Di samping petugas-petugas lainnya di sekolah, konselor hendaknya menjadi tempat pencurahan kepentingan siswa, pencurahan apa yang terasa di hati dan terpikirkan oleh siswa. Petugas bimbingan dan konseling bukanlah pengawas ataupun polisi yang selalu mencurigai dan akan menangkap siapa saja yang bersalah.
Sebagaimana hasil penelitian dari Dewati (2013) bahwa persepsi siswa mempengaruhi terhadap sikapnya di dalam memanfaatkan layanan konseling. Jika siswa berpersepsi positif terhadap konselor maka siswa akan merasa senang dan suka rela untuk memanfaatkan layanan konseling,  begitu pula sebaliknya jika siswa berpersepsi negative terhadap konselor maka siswa akan merasa enggan untuk memanfaatkan layanan konseling.

C.      Kualitas Pribadi Konselor
Selain masalah peran yang dilakukan konselor di sekolah yang bisa menimbulkan persepsi positif maupun negatif terhadap konselor atau Guru BK, maka faktor yang tidak kalah penting yang bisa menimbulkan persepsi yang positif terhadap konselor adalah kualitas pribadi dan profesional seorang guru BK atau konselor. Okun dan Kantrowitz (dalam Glading, 2015: 160) mencatat bahwa sangatlah  sulit untuk memisahkan karakteristik kepribadian si penolong dari tingkat dan gayanya dalam bekerja, karena keduanya saling berhubungan. Kemudian mereka menyebutkan lima karakteristik yang harus dimiliki penolong: mawas diri, jujur, selaras, mampu berkomunikasi, dan berpengetahuan.
Guru BK atau Konselor yang terus-menerus mengembangkan kemampuan mawas dirinya selalu bersentuhan dengan nilai-nilai, pikiran, dan perasaannya. Dia mempunyai persepsi yang jernih tentang kebutuhan klien dan diri sendiri, dan menilai keduanya secara akurat.  Mawas diri semacam itu dapat membantu konselor jujur terhadap diri sendiri maupun orang lain. Konselor dapat lebih selaras dan membangun rasa saling percaya secara berkelanjutan.  Konselor yang mempunyai pengetahuan tersebut lebih dapat berkomunikasi secara jelas dan akurat.
Tiga karakteristik lain yang membuat konselor di awalnya menjadi lebih berpengaruh adalah keahlian, ketertarikan, dan dapat dipercaya (Strong, dalam Glading, 2015: 160). Keahlian adalah tingkat dimana seorang konselor digambarkan sebagai orang yang berpengetahuan dan melek informasi mengenai spesialisasinya. Konselor yang mempertunjukkan bukti-bukti kemampuannya, di dalam kantornya, seperti misalnya ijazah dan sertifikat, biasanya dianggap Iebih kredibel daripada konselor yang tidak, dan akibatnya dianggap lebih efektif (Lofssch, Siegal & Sell, (dalam Glading, 2015: 160)). Klien menginginkan konselor yang tampak mengetahui profesinya dengan  baik.
Ketertarikan adalah fungsi dari kesamaan yang terasakan antara klien dan konselor selain fitur fisik. Konselor dapat membuat dirinya menarik dengan berbicara dalam kalimat yang jelas, simpel, tanpa jargon, dan menawarkan pengungkapan diri yang tepat (Watkins & Schenider, (dalam Glading, 2015: 161)). Cara konselor menyambut klien dan tetap menjaga kontak mata juga dapat menaikkan tingkat ketertarikan. Konselor yang menggunakan petunjuk nonverbal dalam menanggapi kliennya, seperti anggukan kepala dan kontak mata misalnya, dianggap Iebih menarik daripada yang tidak (Claiborn, 1979; LaCross, (dalam Glading, 2015: 161)). Gaya busana konselor juga dapat membuat perbedaan (Hunblle & Gelso, (dalam Glading, 2015: 161)). Busana yang dikenakan haruslah rapi, bersih, dan tampak professional namun jangan sampai mencolok.
Sifat dapat dipercaya dihubungkan dengan ketulusan dan konsistensi konselor. Konselor harus memiliki kepedulian yang tulus dan menunjukkannya terus-menerus dengan cara menjalin hubungan yang erat. ”Tidak ada keakraban atau kepercayaan yang instan" (Patterson, (dalam Glading, 2015: 161)). Keduanya dihasilkan dari pola-pola tingkah laku yang menunjukkan perhatian dan kepedulian.
Rogers (1957) menyatakan terdapat tiga kualitas pribadi konselor yang mencakup (a) kongruen (keaslian, atau realitas); (b) penghargaan positif tak bersyarat (penerimaan dan peduli); dan (c) pemahaman empatik yang akurat (kemampuan untuk sangat memahami dunia subjektif dari orang lain). Sedangkan Corey (2009) menyebutkan karakteristik konselor yang efektif adalah: (a) konselor efektif memiliki identitas; (b) konselor yang efektif menghormati dan menghargai diri mereka sendiri; (c) konselor yang efektif terbuka terhadap perubahan; (d) konselor yang efektif membuat pilihan yang berorientasi pada kehidupan; (e) konselor yang efektif adalah otentik, tulus, dan jujur; (f) konselor yang efektif memiliki selera humor; (g) konselor yang efektif bersedia mengakui kesalahan mereka; (h) konselor yang efektif mempunyai orientasi hidup di saat sekarang; (i) konselor yang efektif menghargai perbedaan budaya; (j) konselor yang efektif memiliki minat yang tulus dalam membantu pencapaian kesejahteraan orang lain; (k) konselor yang efektif memiliki keterampilan interpersonal yang efektif; (l) konselor yang efektif sangat terlibat dalam pekerjaan mereka dan memperoleh makna dari hal itu; (m) konselor yang efektif semangat; dan (n) konselor yang efektif mampu mempertahankan batas-batas yang sehat.
Jika pribadi - pribadi yang efektif di atas melekat pada diri guru BK atau konselor maka hal tersebut akan menimbulkan persepsi yang positif terhadap konselor sehingga akan menghilangkan keengganan siswa untuk memanfaatkan layanan konseling.
 di samping juga ada upaya dari lembaga pendidikan atau sekolah untuk dapat menempatkan guru BK sebagaimana fungsinya.
Pejabat sekolah dalam hal ini kepala sekolah mempunyai peranan yang sangat penting di dalam menciptakan persepsi yang positif terhadap konselor. Menurut Direktorat Jendral PMTK (Mahanggi, 2014)  bahwa tugas dari kepala sekolah adalah : (1) menyediakan sarana dan prasarana, tenaga dan berbagai fasilitas lainnya untuk kemudahan bagi terlaksananya layanan bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien,(2) melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian dan upaya tindak lanjut pelayanan dan bimbingan dan konseling; (3) mempertanggungjawabkan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di sekolah kepada pihak-pihak terkait, terutama dinas pendidikan yang menjadi atasannya; (4) menyediakan fasilitas, kesempatan dan dukungan dalam kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh pengawas sekolah bidang bimbingan konseling.  
Jika kepala sekolah menerapkan manajemen BK yang dapat menempatkan guru BK tidak berperan selayaknya polisi sekolah, Guru BK tidak dilibatkan langsung di dalam penegakan tata tertib sekolah, melakukan razia, memotong rambut siswa, serta kegiatan-kegiatan lain yang dapat menimbulkan persepsi negatif terhadap guru BK serta memberikan sarana yang layak untuk melakukan proses konseling seperti ruangan konseling yang sesuai dengan standar maka persepsi positif terhadap konselor akan tertanam pada siswa dan komponen-komponen lain di sekolah sebagaimana hasil penelitian dari Mahanggi dkk (2014) bahwa kepala sekolah mempunyai peranan yang penting di dalam mengubah persepsi negatif siswa terhadap konselor atau guru BK.
Jika seorang guru BK atau konselor telah memiliki pribadi yang efektif dengan didukung oleh sistem sekolah yang dapat menempatkan guru BK sesuai dengan perannya maka siswa akan tidak enggan lagi untuk menjadikan guru BK sebagai sahabat serta menjadikan tempat untuk mencari solusi terhadap permasalahan-permasahan hidupnya baik masalah pribadi, belajar, social maupun karir di masa depan.


BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan   
Salah satu masalah yang dihadapi oleh seorang guru BK atau  konselor adalah masih adanya persepsi negatif siswa terhadap konselor yang menyebabkan keengganan siswa memanfaatkan layanan konseling. Faktor yang menyebabkan siswa enggan terhadap guru BK karena selama ini guru BK masih dipersepsikan sebagai polisi sekolah, ember bocor, bahkan mata-mata sekolah.
Untuk mengatasi problematika tersebut maka diperlukan sosok guru BK atau konselor yang mempunyai karakteristik yang efektif meliputi: (a) konselor efektif memiliki identitas; (b) konselor yang efektif menghormati dan menghargai diri mereka sendiri; (c) konselor yang efektif terbuka terhadap perubahan; (d) konselor yang efektif membuat pilihan yang berorientasi pada kehidupan; (e) konselor yang efektif adalah otentik, tulus, dan jujur; (f) konselor yang efektif memiliki selera humor; (g) konselor yang efektif bersedia mengakui kesalahan mereka; (h) konselor yang efektif mempunyai orientasi hidup di saat sekarang; (i) konselor yang efektif menghargai perbedaan budaya; (j) konselor yang efektif memiliki minat yang tulus dalam membantu pencapaian kesejahteraan orang lain; (k) konselor yang efektif memiliki keterampilan interpersonal yang efektif; (l) konselor yang efektif sangat terlibat dalam pekerjaan mereka dan memperoleh makna dari hal itu; (m) konselor yang efektif semangat; dan (n) konselor yang efektif mampu mempertahankan batas-batas yang sehat.
Disamping kualitas pribadi konselor di atas maka efektifitas layanan bimbingan konseling di atas harus didukung oleh pejabat sekolah dalam hal ini kepala sekolah di dalam menciptakan sistem yang dapat menempatkan guru BK pada peran yang semestinya.



10
 
 
B.       Saran
Berdasarkan uraian di atas maka ada beberapa hal yang dapat kami sarankan kepada pembaca :
1.      Kepala sekolah sebagai pejabat di sekolah hendaknya dapat menerapkan manajemen Bimbingan Konseling di sekolah sesuai dengan  permendikbud no. 111 tahun 2014.
2.      Konselor atau guru BK harus selalu meningkatkan kompetensi pribadinya maupun kemampuan-kemampuan lain di dalam bimbingan konseling baik itu teknik konseling maupun kemampuan pemahaman terhadap siswa.









DAFTAR PUSTAKA

Bimo Walgito.2002.Pengantar Psikologi Umum.Yogyakarta.Andi Offset
Corey, M.S 2007. Becoming a Helper, USA : Thomson Brooks/Cole

Dinka Rizky A Mahanggi dkk, 2014. Kebijakan Kepala Sekolah Terhadap Pelayanan Bimbingan Konseling di SMA Se-Kab. Purbalingga. Jurnal Universitas Negeri Semarang.  

Nicholson, J.A. & Golsan, G. 1983.  The Creative Counselor.   USA: McGraw-Hill, Inc.

Ratih Dewati. 2013. Persepsi Terhadap Kinerja Konselor dan Sikap dalam Memanfaatkan Layanan Konseling Perorangan. Jurnal Universitas Negeri Semarang.  

Samuel T Gladding. 2015. Konseling (profesi yang menyeluruh). Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta : PT. Indeks

Vhaten. 2012. http://vhateen.blogspot.com/Hambatan-dan-Masalah-Konselor, Online. Diakses tanggal 29 September 2015



12
 
 

No comments:

Post a Comment